Penelitian Ungkap Tambang Batubara Berpotensi Lenyapkan 7,7 Juta Ton Beras Pertahun

 

 

Batubara masih jadi andalan. Luasan tambang batubarapun gila-gilaan. Tak hanya merusak lingkungan dan ciptakan masalah sosial, ekonomi sampai kesehatan, ketahanan pangan negeripun terancam.

Penelitian Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) bersama Waterkeeper Alliance,  berjudul Hungry Coal: Coal Mining and Food Security in Indonesia mengungkapkan, potensi kehilangan produksi beras sekitar 7,7 juta ton pertahun gara-gara batubara.

Betapa tidak, konsesi batubara menguasai 19% dari 44 juta hektar lahan pertanian padi Indonesia. Dari luas tanah itu terdampak konsesi batubara, 1,6 juta hektar berada konsesi tambang batubara operasi dan 6,5 juta hektar.

Paul Wynn, peneliti Waterkeeper Alliance mengatakan, 1,7 juta ton beras per tahun hilang akibat operasi tambang batubara.

”Jika pertambangan masih eksplorasi itu lahan cocok tanam produktif, kita akan kehilangan 7,7 juta ton beras pertahun,” katanya.

Jutaan lahan ini tersebar di Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Sumatera Selatan, Jambi, Papua, sedikit Sulawesi dan Jawa.

Penelitian ini juga memperkirakan, ada 18,75 juta hektar lahan luar Jawa yang berpotensi buat bercocok tanam, baik berupa hutan primer, gambut, kawasan lindung sampai garapan.

Beras sekitar 7,7 juta ton itu, katanya, merupakan enam kali lipat dari impor beras Indonesia.

Tantangan lain dalam produksi beras menghadapi perubahan iklim beriringan dengan populasi Indonesia terus meningkat.

El-Nino menjadi faktor beberapa lahan produksi padi mengalami keterlambatan penanaman. Kalau, melihat analisa dampak perubahan iklim terhadap produksi beras, katanya, panen beras akan turun hingga 20,3-27,1% tahun 2050. Masa itu, ada peningkatan pendukduk hampir 30%.

”Produksi  beras meningkat seiring penduduk, tetapi tak seimbang. Ini akan terus terjadi ditambah alih fungsi sawah.”

 

Pencemaran Air sampai pangan

Merah Johansyah, Koordinator Jatam Nasional, mengatakan, irigasi pertanian di sekitar tambang pun dari lubang tambang. Hal ini terjadi, katanya, karena air tanah dan tangkapan air permukaan tanah tergerus hingga mau tak mau air lubang tambang jadi pilihan.

”Petani pakai air lubang tambang bercerita produksi beras berkurang 50%, produksi ikan turun hingga 80%,” ucap Paul.

Pada 2015 -2016, ada 17 sampel air di delapan situs tambang batubara di Kalimantan Timur beserta jalur air di sekelilingnya.

Sampel ini mampu merepresentasikan dampak kualitas air pada tambang batubara secara nasional karena Kalimantan Timur mengalami dampak luar biasa, dibandingkan Jambi, Sumatera Selatan, Papua dan lain-lain.

“Hasilnya, 15 dari 17 sampel air mengandung konsentrasi aluminium, besi, mangan dan tingkat PH tinggi yang menyebabkan pertanian dan peternakan ikan rusak,” ucap Paul.

Pada PH normal di angka lima, sampel kisaran 4,1-9,2, aluminium (0,5 ppm), kisaran 0,7-16,1 ppm, besi akan beracun diatas satu ppm, penelitian memperlihatkan 1,05-119 ppm. Sedagkan, mangan standar dua ppm, penelitian 2,38-8,85 ppm.

Mirisnya, Pemerintah Indonesia tak memiliki batas maksimum logam berat dalam air yang boleh untuk pertanian dan akuakultur. Aturan kualitas air tercantum dalam PP Nomor 82/2001 tak mengatur itu.

Begitu juga, Permen Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 7/2014– turunan Peraturan Pemerintah Nomor 78/2010 tentang Reklamasi Pasca Pertambangan dan UU Minerba memberikan peluang makin memperburuk kondisi.

”Permen itu memberi peluang masyarakat dapat pakai konsumsi rumah tangga, irigasi pertanian, budidaya perikanan dan tempat wisata. Ini fatal. Bekas tambang untuk irigasi pertanian,” kata Merah.

Dia mengatakan, perlu ada regulasi tentang standar-standar kuaitas air pascatambang bagi sistem irigasi. Pencemaran air makin parah, katanya, batubara Indonesia kebanyakan tambang terbuka hingga kala hujan datang limbah terbawa arus begitu saja.

 

Sumber: Jatam/penelitian

 

Dampak kesehatan

Budi Haryanto, Kepala Peneliti Departemen Kesehatan Lingkungan Pusat Penelitian Perubahan Iklim Universitas Indonesia mengatakan, polusi batubara masuk melalui makanan dan udara. ”Udara paling intens dan dosis cukup tinggi,” katanya.

Saat batubara dibuka akan menimbulkan debu, dan ada pemanasan. “Masa ini lebih berbahaya.”

Setelah itu, ada pengangkutan melalui truk terbuka menyebabkan debu terbawa merata selama perjalanan. Begitu juga saat pembakaran dan jadi briket.

”Saluran pernapasan paling intens jangka pendek, paling cepat sesak nafas dan asma dan baru jangka panjang seperti silent killer, misal stroke, kanker, paru-paru dan lain-lain.”

 

Lubang terus terbuka

Perusahaan batubara pun tak patuh pada aturan untuk merehabilitasi dan reklamasi pasca tambang. Di Kalimantan Timur, ada 2.800 lubang bekas tambang dari izin konsesi 1.400. Masing-masing meninggalkan lebih satu lubang tambang.

”Luas lubang tak aktif sampai 1.300 atau sebesar bandara Soekarno Hatta.”

Tidak ada sanksi hukum tegas membuktikan sabotase pangan dilakukan pemerintah ataupun korporasi. Untuk itu, katanya, perlu ada revolusi tata guna lahan karena alokasi tambang dan eksplorasi batubara sudah sampai 17,5 juta hektar.

Sebagian besar reklamasi, katanya, bukan lagi penutupan lubang tambang, beralih kegiatan membangun sarana dan prasarana bersama dengan pejabat desa dan masyarakat setempat.

”Membangun toilet-toilet. Jika dibandingkan, itu tak sampai Rp1 miliar, dana yag dicairkan bisa sampai Rp6 miliar.” Potensi korupsipun ‘tercium’ cukup besar disini.

 

Rekomendasi

Dari hasil penelitian tersebu ini, mereka merekomendasikan, pertama,  ada perbaikan standar kualitas atas peraturan di Indonesia. Terutama, soal air batubara untuk kebutuhan manusia. Kedua, sanksi hukum berat bagi perusahaan yang tak reklamasi dan rehabilitasi pascatambang. Rehabilitasi ini, katanya,  guna menopang produksi pangan.

”Perlu cabut izin konsesi eksplorasi batubara bagi perusahaan yang ancam produktivitas pangan Indonesia,” ucap Paul.

Merah mendesak ,pemerintah mengevaluasi 44 juta hektar lahan pertanian yang terancam tambang batubara. Kemudian, memanggil, kementerian dan lembaga terkait, tak hanya ESDM, juga Kementerian Pertanian, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Kesehatan dan lain-lain.

”Ini darurat, kalau tidak kita tak memiliki keselamatan pangan. Kedaulatan masih jauh.”

 

Batubara ancam pangan Indonesia

 

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, ,