Desa Multikultur: Belajar Memaknai Lingkungan ala Orang Tanah Pilih

Desa itu bernama Tanah Pilih, terletak nun jauh di pedalaman Sumatera Selatan (Sumsel), tepatnya wilayah Kabupaten Banyuasin yang berbatasan langsung dengan Jambi. Perjalanan dengan speed boat dari Palembang dibutuhkan sekitar 5 jam, lewat darat teramat sulit. Jaringan telepon seluler, jangan berharap ada di sini.

Saat penulis mengunjungi tempat ini, deretan perahu getek, pompong dan speed boat kecil tampak parkir rapi di pinggiran Sungai Benuh yang berwarna kehitam-hitaman. Desa multikultur, mungkin itulah yang cocok untuk menggambarkan karakteristik masyarakat di wilayah ini.

Sepintas, melihat aktifitas di pinggiran sungai dan posisi geografis yang langsung berhubungan dengan Selat Bangka, yakinlah kita bahwa ini adalah desa nelayan. Demikian pula perahu penangkap ikan yang berjejer, sudah jadi indikasi utama bahwa ini adalah perkampungan nelayan.

Tetapi, mereka ternyata bukanlah nelayan semata. Melaut memang usaha andalan masyarakat, dan jika masuk lebih dalam lagi ke desa, tampak bahwa bertani dan usaha burung walet, adalah sisi lain ekonomi masyarakat.

Bisa dikatakan, dua tradisi berbeda dalam berjuang mempertahankan kehidupan dilakukan warga, ke laut mencari ikan dan ke darat membuat kebun serta berharap air liur burung walet.

Itulah inti dari sistim multikultur warga Tanah Pilih, menggantungkan kehidupan tidak hanya pada satu sisi saja. Apapun yang bisa dilakukan, selagi mampu memaknai kekhasan alam ini, patut dan harus dikerjakan. Maka sulitlah untuk memberikan satu identitas pada kelompok masyarakat yang bermukim di sekitar Taman Nasional Berbak Sembilang (TNBS) ini.

Mereka bisa dikatakan sebagai nelayan, bisa pula sebagai petani, dan tak salah pula jika disebut pengusaha sarang burung walet.

Pintu air sederhana ala Desa Tanah Pilih yang digunakan untuk mengatur air pasang surut di parit. Foto: Yenrizal

 

Keturunan Etnis Bugis

Komunitas warga Tanah Pilih hampir semuanya keturunan etnis Bugis, Sulawesi Selatan. Sejarahnya bermula sekitar tahun 1970, saat datanglah 8 warga ke lokasi ini. Mereka minta izin ke Pesirah Marga Sungsang, yang saat itu memiliki otoritas terhadap lokasi ini. Izin diberikan, mereka dipersilakan menempati wilayah sekitar Sungai Benuh, tepatnya di daerah Sungai Terusan Dalam, pesisir Selat Bangka. Mulailah para pria ini membuka kawasan, mengolah lahan menjadi sawah dan sesekali menangkap ikan.

Haji Bawang dengan teman-temannya harus bekerja keras kala itu. Hanya dengan peralatan seadanya, teknologi yang masih minim, daerah yang jauh ke pelosok, serta ancaman binatang buas yang merasa terganggu menjadi rongrongan setiap saat.

Usaha keras tanpa kenal lelah akhirnya lambat laun membuahkan hasil. Padi mulai berbuah, panen terlaksana, dan kebun kelapa mulai memunculkan butir-butir hijaunya. Saat itulah, secara berangsur-angsur anggota masyarakat lain mulai berdatangan, suasana desapun mulai tampak.

Mereka meyakini, di daerah yang banyak tumbuh pohon nibung (Oncosperma tigillarium syn), maka disitulah kelapa bisa tumbuh. Terbukti, pesisir pantai timur ini adalah surganya pohon nibung, dan kelapapun tumbuh subur.

Demikian pula, bagi H. Bawang dan rekan-rekannya memahami kondisi alam merupakan hal mutlak untuk diperhatikan.

Langkah pertama adalah memahami daerah ini merupakan daerah pasang surut. Sore hingga pagi hari, dipastikan debit air akan meningkat. Luapan air laut melalui Sungai Benuh dan Sungai Terusan Dalam akan sampai ke pemukiman, menggenangi wilayah hingga mencapai ratusan meter ke daratan. Informasi dari alam ini dipahami sebagai sesuatu yang tak bisa dihindari dan tak bisa dilawan.

Untuk itu mereka membangun rumah dengan model panggung. Selanjutnya mereka membangun parit-parit berukuran sedang dengan lebar sekitar 1-2 meter berkedalaman 1 meter. Dipangkal masing-masing parit dibuat semacam pintu air yang bisa dibuka dan ditutup, cukup untuk menahan dan menyalurkan air di kala pasang dan surut.

Parit ini berfungi untuk menjaga agar luapan air laut tidak langsung masuk ke lahan sawah pasang surut, tapi masuk ke parit. Total terdapat 21 parit dengan mencapai panjang 5 kilometer.

 

Kelapa, komoditas yang menjadi andalan masyarakat untuk memperoleh panghasilan. Foto: Yenrizal

 

Jatuh Bangun Warga Tanah Pilih

Akhir 1980-an, kira-kira tahun 1988, petaka melanda sebagian besar lahan warga. Hama wereng dan kemarau yang panjang, menyurutkan produksi padi. Sawah yang mulanya begitu mempesona, mulai ditinggalkan.

Tanaman kelapa yang sebenarnya bisa jadi andalan, tidak pula mencukupi. Alhasil, ke laut menjadi nelayan adalah pilihan terakhir. Sebagai etnis Bugis, berlayar di laut dan mencari ikan, bukan pekerjaan baru. Akhirnya, ramai-ramailah warga Tanah Pilih beralih profesi menjadi nelayan.

Untung pula, laut cukup memberikan berkah. Tangkapan ikan dan udang lumayan besar, hingga pendapatan dapat mencapai Rp500 ribu per hari. Saudagar dan tauke ikan pun siap menampung hasil nelayan.

Pasang surut air laut ternyata ternyata membuat tanah cocok untuk ditanami beberapa komoditas perkebunan. Kebun kelapa kembali dibersihkan, dan warga mencoba beberapa tanaman seperti nanas, pisang, pinang, dan kemiri.

Sekitar tahun 2003, kawasan di sekitar mereka ditetapkan pula oleh pemerintah sebagai TN Berbak Sembilang. Kekhawatiran itu mulai menghampiri. Daerah yang selama ini bebas dikelola tanpa zona-zona larangan, sekarang mulai terbatasi. Kendati belum ada kepastian, setidaknya daerah didiami sudah diakui sebagai zona penyangga yang membolehkan aktifitas manusia.

Semakin terbatas opsi ekstensifikasi lahan, itu pula yang mendorong warga sejak pertengahan tahun 2000, mencoba peruntungan lain lewat rumah sarang walet (Collocalia vestita). Ratusan sarang walet sekarang berdiri di desa ini. Tingginya harga liur walet ternyata mampu menopang kesejahteraan warga Tanah Pilih.

Kebakaran lahan gambut yang terjadi pada musim kemarau 2015 menjadi pelajaran berharga bagi masyarakat. Tidak jelas darimana datangnya api, warga desa harus berjibaku untuk memadamkan kebakaran. Hikmah yang dapat diambil menurut warga, adalah jangan biarkan lahan terlantar, karena itu akan menjadi sumber api. Peliharalah parit, karena itu sumber air penetral panas.

Kepala Desa Tanah Pilih, Zainal Abidin, sejak tahun 2015 lewat perencanaan desa mencanangkan pengembangan persawahan. Targetnya kembali mengolah sekitar 2.000 hektar sawah yang dulu pernah dibuka dua generasi sebelum saat ini. Jika ini berhasil, maka Tanah Pilih akan menjadi daerah salah satu lumbung pangan di Banyuasin.

Saat ini, warga Tanah Pilih yang sebelumnya eksodus keluar dari Sungai Terusan Dalam, sudah kembali untuk membangun ekonomi mereka. Dengan berbagai peluang tumpuan pada aspek multikultur menjadikan masyarakat memiliki banyak opsi untuk bekerja.

Tak bisa ke laut karena gelombang tinggi, ke darat cangkul di ayun. Saat padi belum dipanen, buah kelapa yang akan dipetik. Andai kelapa belum lagi masak, bertandan-tandan pisang sudah bisa diambil. Menjelang lebaran, ribuan biji nanas sudah pula siap disalurkan. Sementara sembari menunggu beduk buka di bulan Ramadhan, atau sambil menunggu perahu pulang melaut, air liur walet bisa pula dikumpulkan.

Memang, perjalanan hidup tak selalu mulus. Warga Tanah Pilih pun sudah merasakan itu. Namun berbagai rintangan bukan alasan untuk berhenti.

 

* Dr. Yenrizal Tamrizi, MSi. Staf pengajar bidang Komunikasi Lingkungan, UIN Raden Fatah, Palembang.  Email: [email protected]

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh