Moratorium Hutan dan Tunda Izin Sawit Bisa Saling Melengkapi

 

Moratorium izin hutan primer dan lahan gambut sejak 2011, sudah dua kali perpanjangan, memasuki kali ketiga pada Mei ini. Meskipun sudah berjalan enam tahun tetapi dinilai belum mampu memperbaiki tata kelola. Koalisi Organisasi Masyarakat Sipil menyerukan penguatan moratorium izin hutan dan segera keluarkan aturan tunda sementara izin perkebunan sawit hingga kedua kebijakan bisa saling melengkapi.

Nur Hidayati, Direktur Eksekutif Walhi Nasional mengatakan, bila moratorium hutan primer diikuti sawit, perlindungan hutan akan kukuh. Keduanya,  harus sejalan beriringan dan mendapatkan manfaat dari momentum perpanjangan moratorium yang disebutkan sedang dalam kajian.

Adapun peta ndikatif penundaan pemberian izin baru (PIPPIB), instrumen moratorium hutan tak mampu mencegah alih fungsi lahan, baik melalui revisi tata ruang maupun praktik pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan sawit. Sisi lain, produktivitas dan penanaman kebun sawit masih rendah.

Baca juga: 6 Tahun Moratorium Hutan Belum Terlihat Perbaikan Tata Kelola, Berikut Masukan Koalisi

Berdasarkan evaluasi Koalisi Organisasi Masyarakat Sipil Indonesia, antara lan Walhi, Sawit Watch, TuK Indonesia, Auriga dan Kemitraan, luas hutan primer dimoratorium cencdrung menurun, 69,14 juta hektar jadi 66,44 juta hektar, dari Juni 2011 hingga November 2016. Meski, dalam dua tahun terakhir luas dimoratorium anak 2,42 juta hektar.

”Adanya penurunan PIPPIB proses pengeluaran hutan karena tata ruang, ini jadi modus. Pelepasan hutan parsial dengan ada perkebunan sawit,” katanya.

Walhi melihat, pelepasan kawasan hutan bermodus tata ruang ini dengan melakukan penghancuran hutan primer atau penyangga wilayah PIPPIB. Dengan begitu, wilayah ini tak lagi representasi hutan primer, hingga berubah membentuk cluster dan kebun sawit.

Pelepasan kawasan hutan melalui mekanisme tata ruang, sempat mengalami peningkatan selama masa moratorium, secara berurutan 159.300 hektar (2011), 1,8 juta hektar (2012) dan 2,4 juta hektar (2013). ”Puncaknya 2014, mencapai 3,2 juta hektar.”

Selama masa moratorium, pemerintah melepaskan hutan parsial untuk perkebunan sawit seluas 1.677.217 hektar. Rinciannya, 944.071 (2011-2013) dan 645.005 hektar (2013-2015), 88.140 hektar (2015-2017).

Kini, berdasarkan data Kementerian Pertanian, luas kebun sawit per 2016 sebanyak 11,7 juta hektar.

Koalisi menyebutkan, perpanjangan moratorium hutan perlu disambut dengan penguatan lintas kementerian dan lembaga.  “Kinerja kementerian terkait sumber daya alam, masih ada yang tak optimal,” katanya seraya menyebutkan seperti, Kementerian ATR, Kementan dan Energi dan Sumber Daya Mineral, perlu ditingkatkan kinerja.

Presiden Jokowi, perlu memiliki komitmen sebagai pemimpin untuk memperhatikan kinerja atas aturan yang dikeluarkan dalam perbaikan tata kelola.

Dalam kesempatan berbeda, Teguh Surya, Direktur Eksekutif  Madani Berkelanjutan mengatakan, moratorium hutan dan lahan harus lebih kuat agar bisa mewujudkan niatan Presiden menurunkan kebakaran hutan dan lahan, mengurangi kesenjangan penguasaan lahan antara korporasi dan warga dengan memberikan akses kelola masyarakat (tanah untuk rakyat/Tora).

Dengan begitu, penundaan pemberian izin di hutan primer dan lahan gambut sangat penting guna memberikan kesempatan pada pemerintah untuk memperbaiki tata kelola.

Meskipun selama perjalanan enam tahun moratorium belum menunjukkan perbaikan tata kelola signifikan, katanya, tetapi kebijakan menyetop izin hutan dan lahan itu penting.

Untuk itu, katanya, pemerintah perlu menguatkan moratorium hutan ini dengan melakukan beberapa hal yang telah direkomendasikan kalangan organisasi masyarakat sipil.

Dia menyebutkan, ada enam poin rekomendasi. Pertama, menyusun peta jalan Indonesia menuju bebas deforestasi 2020. Kedua, membuat rencana aksi Indonesia menuju bebas deforestasi 2020. Ketiga, memantau implementasi dari rencana aksi Indonesia bebas deforestasi.

Keempat, kata Teguh, mempercepat terbitnya kebijakan satu peta. Kelima, evaluasi perizinan terintegrasi dan keenam, penegakan hukum dan penyelesaian sengketa alternatif.

Kala keenam rekomendasi ini jalan, katanya, pemerintahan Jokowi akan lebih jelas dalam merealisasikan rencana dan mengukur kinerja.

Dia mendorong KLHK, lebih berani dan menepati janji. “Janji penguatan (moratorium) sudah sejak 13 Mei 2015 disampaikan dan tak terjadi,” katanya seraya bilang, KLHK juga harus berpikir lebih strategis, seperti berkolaborasi dengan para pihak dalam menjalankan strategi dan langkah penguatan moratorium tadi.

Teguh juga menyoroti, koordinasi antara kementerian dan lembaga sampai pemerintah di daerah kurang solid. Kondisi ini, katanya, terlihat, dari niatan atau rencana Presiden lambat terealisasi antara lain kebijakan satu peta.  Presiden sampai bikin Peraturan Presiden buat mempercepat kebijakan satu peta, tetapi tetap bak jalan di tempat juga.

 

Tata kelola sawit

Syahrul Fitra dari Auriga memaparkan data sawit untuk memperlihatkan betapa urgen perbaikan tata kelola sektor ini, salah satu dengan moratorium sawit terlebih dahulu.

Dia mengawali dengan mempertanyakan luasan perkebunan sawityang sangat berpengaruh pada pengambilan kebijakan. ”Apakah data BPS itu 11,7 juta hektar diambil dari realisasi tanam, luasan IUP atau ber-HGU?” katanya.

Kala Auriga ambil bagian bersama KPK dalam membedah industri sawit luasan 15 juta hektar, penggabungan data antara Kementerian ATR dan Pertanian dan overlay dengan KPK. Rincannya, 10,7 juta hektar perusahaan swasta, 4,4 juta hektar adalah perkebunan rakyat dan 493.776 milik BUMN.

”Angka perkebunan rakyat bisa dikatakan perkebunan plasma, masih melekat dengan perusahaan. Karena pekebun plasma, pasti ada intinya.”

Berbicara realisasi, Auriga menganalisa, data luasan IUP perkebunan sawit di empat provinsi, Riau, Jambi, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah mencapai 11.265.374 hektar izin usaha perkebunan. ”Yang ber-HGU itu 3,13 juta hektar dan realisasi tanam 3,67 juta hektar atau sekitar 32,59%”

Auriga menekankan, perizinan baru untuk sektor perkebunan sawit tak lagi perlu. Data saja masih belum jelas dan realisasi sangatlah minim. Dia contohkan, Riau, sudah ber-HGU 929.000 hektar, realisasi tanam 719.000 hektar, IUP 2,1 juta hektar. ”Kita tahu Riau sudah lama menanam sawit, tak masuk akal jika ada penambahan luasan sawit lagi,” katanya.

Ahmad Surambo, Deputi Direktur Sawit Watch menyebutkan, produktivitas sawit masih rendah, sekitar 2,79 ton minyak sawit mentah perhektar pertahun. Untuk kebun rakyat sekitar 2,33 ton, kebun negara 3,05 ton, kebun swasta 3,07 ton. Pemerintah mencanangkan produktivitas kebun sawit Indonesia bisa 9 ton CPO perhektar pertahun.

Moratorium sawit inilah, katanya, kunci tata kelola perkebunan sawit dan hutan, begitu juga pemerataan ekonomi untuk mengurangi kekurangan.

Sawit Watch menggarisbawahi ada ketimpangan penguasaan dan realisasi penanaman tak sesuai rencana.

Begitu juga TuK Indonesia menganalisa dari 5,07 juta hektar kebun sawit dikuasai 25 grup perusahan besar, realisasi baru 3,07 juta hektar. ”Realisasi yang dikerjakan baru 60%,” kata Edi Sutrisno dari Perkumpulan Transformasi untuk Keadlilan.

Monica Tanuhandaru, Direktur Eksekutif Kemitraan mengatakan, harus ada moratorium sawit guna memperbaiki tata kelola. Dia mendesak, perlu tim independen audit kepatuhan pada industri yang berbasis lahan dengan indikator jelas dengan pengawasan KPK.

Kala ada pelanggaran, katanya, ada sanksi hukum. ”Ini harus transparan kepada publik.”

Soal perlu penegakan hukum kuat juga disuarakan Didik Suharjito, Ketua Presidium Dewan Kehutanan Nasional dalam rapat kerja DKN di Jakarta, pekan lalu.

Dia bilang, hutan tersisa harus dipertahankan dan terjaga dari gerusan perambahan hutan, illegal logging, sampai industri ekstraktif dari berbagai kepentingan.

Dia menilai, selama ini tata kelola hutan dan lahan masih lemah baik penegakan hukum maupun ketaatan pada regulasi. Yang terjadi di lapanganpun deforestasi, degradasi hutan sampai kesejahteraan masyarakat sekitar hutan jauh dari kata sejahtera.

Didik menilai,  masih banyak terjadi tumpang tindih lahan, baik pusat maupun daerah. ”Ini perlu diselesaikan dengan penegakan hukum dan ketaatan pada tata ruang.”

 

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , , , , ,