Seni Bawah Laut Teguh Ostenrik untuk Terumbu Karang Indonesia

 

 

Teguh Ostenrik, seniman yang satu ini terkenal dengan karya patung dan instalasi. Beberapa tahun terakhir, Teguh lebih banyak disibukkan dengan karya instalasi besi yang ditanamkan di bawah laut, sebagai rumahnya terumbu karang. Dengan teknologi biorock, dia berharap tidak hanya menyelamatkan kehidupan terumbu karang di Indonesia tetapi juga membuatnya tumbuh lebih cepat.

Pada Oktober 2017 mendatang, Teguh berencana kembali menanam instalasinya yang diberi nama Domus Piramidis Dugong di Pulau Bangka, Sulawesi Utara. Instalasi ini menyerupai piramida, dengan ornamen berbentuk dugong atau ikan duyung.

Domus Piramidis Dugong ini proyek keenam Teguh bersama Yayasan Terumbu Rupa (YTR). Sebelumnya, dia menanam instalasi terumbu karang Domus Sepiae di Gili Eco Trust, Senggigi Lombok. Ia juga menanam Domus Lungus di Wakatobi pada 2015.

Baru-baru ini, bekerja sama dengan pengelola Taman Nasional Kepulauan Seribu, Domus Piramidis Antennarius dan Domus Piramidis Selaroides ditancapkan di perairan Kepulauan Seribu, tepatnya  di Pulau Sepa. Di Pulau Sepa juga sebelumnya juga sudah ditancapkan Domus Musculi dengan  menggalang 400 adopter terumbu karang yang ikut peduli.

Apa yang membuat Teguh dan YTR bersusah payah merangkai besi-besi yang berat lalu diseret dan ditenggelamkan ke laut? Rupanya, ini tak lepas dari keprihatinan seniman kelahiran Jakarta, 1950. Pria yang suka keindahan laut ini memang suka menyelam.

Pada 1984, pertama kali ia pergi ke Lombok, ia berniat menyelam di Senggigi yang dikenal sebagai gudangnya lobster dan cumi-cumi. Kembali lagi ke sana pada 2013 bersama anaknya, ia mendapati karang di kawasan itu sudah mati. “Kelihatan seperti gurun sahara, pasir semua. Pasirnya pun terkena abrasi,” tuturnya, baru-baru ini.

Prihatin terhadap kerusakan itu, Teguh berpikir untuk berbuat sesuatu dengan instalasi  bawah laut. Tujuannya, menumbuhkan terumbu karang. Ia berniat melakukan sesuatu  untuk negaranya yang indah. Ide itu tercetus ketika dia dan seniman lain sedang residensi di Hotel Qunci Villas Mangsit. Hotel ini mengundang seniman untuk memperindah villa. Teguh mempunyai ide membangun instalasi seni bawah laut yang disebut ARTificial Reef, dengan menonjolkan tiga huruf pertama yang ingin memfokuskan pada seni. Ia pun mengusulkan karya tidak sebagai hiasan villa tapi dibenamkan di laut.

Idenya bersambut, pemilik Qunci Villas, Scott Coffey tertarik dan mendukung sepenuhnya proyek ARTificial Reef yang pertama. Dia juga dibantu asosiasi hotel di kawasan itu pun bersedia mendanai dan bekerja sama dengan lembaga swadaya setempat, Gili Eco Trust yang dipimpin Delphine Robbe.

 

Instalasi Domus Piramidis Selaroides yang ditanamkan di bawah laut di Pulau Sepa, Kepulauan Seribu. Foto: Facebook Yayasan Terumbu Rupa

 

Teknologi

Seni karya Teguh dipadukan dengan teknologi Biorock dan kebutuhan listrik disokong oleh Perusahaan Contained Energi yang menyumbang panel surya. Pada 2014 itu, Teguh mulai membuat instalasinya dan berkonsultasi dengan koordinator lembaga swadaya Gilli Eco Trust. Ini untuk menyesuaikan karya Teguh dengan teknologi dan lingkungan.

Teknologi Biorock ini dipilih karena dinilai cocok. Teknologi ini merupakan teknologi yang ditemukan oleh ahli maritim Wolf Hilbert pada 1974. Dengan teknologi ini bisa mempercepat pertumbuhan karang 3-8 kali dari waktu normal, memanfaatkan besi yang dialiri listrik tegangan rendah.

Teguh menjelaskan, instalasi Domus ini sebagai konduktor katoda dan listrik yang mengalir sebagai anoda. Listrik yang berasal dari panel surya di permukaan laut itu akan akan memecah kandungan air laut menjadi hidrogen dan oksigen. Di permukaan besi akan terbentuk karang solid yang tersusun dari kalsium karbonat dan magnesium hidrosida. Kedua zat ini yang akan mempercepat pertumbuhan terumbu karang. Setelah instalasi yang dilas itu dipasang, di beberapa bagian instalasi dicangkokkan pula beberapa potong koral atau terumbu.

Sebagai negara kepulauan dengan lebih 17 ribu pulau, luas terumbu karang kita mencapai 75 ribu kilometer persegi atau 14 persen  dari total terumbu karang di dunia. “Tapi kini tinggal enam persen saja,” ujar Teguh. Apalagi jika melihat kerusakan yang terjadi, untuk menumbuhkan terumbu karang butuh puluhan tahun. Dalam setahun terumbu karang hanya tumbuh 2-3 sentimeter saja.

 

Pengerjaan instalasi terumbu karang di TN Kepulauan Seribu yang dilakukan Teguh Ostenrik bersama timnya dari Yayasan Terumbu Rupa. Foto: Yayasan Terumbu Rupa

 

Teguh menginginkan karyanya ini tak hanya berguna bagi terumbu karang semata. Tapi juga sebagai rumah ikan dan biota laut, serta mampu mendatangkan kesejahteraan dan pintu nafkah bagi masyarakat sekitar. “Masyarakat setempat, generasi mendatang juga bisa menikmati kehidupan. Ini semua untuk ibu bumi,” ujarnya.

Pada 2015, Teguh mendirikan Yayasan Terumbu Rupa. Banyak anak muda pencinta laut dan lingkungan bergabung di yayasan ini. Mereka adalah kumpulan anak-anak muda kreatif yang berasal dari berbagai profesi.

Teguh menempuh pendidikan seni rupanya di Jerman. Pada 1970, ia berangkat ke Eropa untuk mewuudkan keinginannya menjadi seniman besar. Ia menempuh pendidikan di Akademi Grafis Lette Schule, Berlin Barat, Jerman Barat pada 1972. Lalu melanjutkan ke jurusan seni rupa murni di Hochschule der Kunste. Pada 1988 ia kembali ke Indonesia dan membangun galeri C-Line dan Teguh Gallery.

Ia tertarik pada persoalan visual wajah, yang diperoleh dari pengalaman melihat banyak wajah yang menyimpan misteri saat bepergian dengan kereta bawah tanah di Jerman. Mengolah wajah dengan tanah liat, kayu, perunggu dan belakangan ini dengan besi. Berkibar sebagai salah satu seniman ternama di Indonesia, karyanya tak hanya ada di dalam negeri tapi juga tersebar di luar negeri, terutama Asia.

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , ,