Kusamba, Gairah Kehidupan Warga Pesisir Klungkung

Ada petani garam laut, kampung nelayan, pelabuhan kapal laut, dan sentra pemindangan ikan terbesar di Bali ada di Kusamba. Ada gairah, semangat, juga potensi yang hampir punah.

Berjarak sekitar 40 km dari pusat Kota Denpasar ke arah Timur Bali, Kusamba adalah desa di Kabupaten Klungkung yang lengkap dengan potensi dan pengembangan masyarakat pesisirnya. Berhadapan dengan Kepulauan Nusa Penida, warga dua kawasan pesisir Klungkung ini menggantungkan kehidupan pada laut.

 

 

Petani Garam Laut

Sebuah plang bertuliskan Sea Salt Farmer adalah penanda yang dibuat untuk kebutuhan pelancong. Agar tak kelewat. Pertanian garam tradisional yang disuka sekaligus hampir punah.

“Tidak ada tenaga dan tak menghasilkan,” ujar Ni Nyoman Sintreg, mantan petani garam yang sudah alih profesi jadi pedagang beberapa tahun ini. Seluruh peralatan pembuatan garam seperi Palungan, batang kelapa yang dilubangi dan menjadi wadah menjemur air laut dijualnya. Peralatan alami dan sederhana inilah yang banyak menarik wisatawan mancanegara datang.

Namun uang tips dari guide atau penjualan garam tak bisa terus-menerus diandalkan usaha garam rakyat ini. “Bikin garam perlu orang banyak dan tenaga besar,” tambah Sintreg. “Dipotret saja tapi tidak bisa beli makan untuk apa?” ujar Sintreg. Perempuan ini pernah merasakan hal yang sama dan kini memilih berjualan snack dan minuman di kawasan parkir Goa Lawah.

I Nengah Satria, pemilik dan petani garam tradisional di dekat Goa Lawah yang sering dikunjungi wisatawan ini mengatakan berharap bisa bertahan beberapa tahun lagi sampai ia tak lagi bisa bekerja. Cara pembuatan garam tradisional ala Kusamba ini juga unik, berbeda dengan petani garam laut di Amed dan Tejakula, dua sentra garam tradisional lain di Bali yang bertahan walau makin sedikit petaninya ini.

Sayangnya kawasan pembuatan garam ini agak kumuh. Sisa sesajen dan sampah plastik banyak di sana sini. Padahal kawasan ini menarik karena kerap menjadi lokasi melasti dan ritual penyucian lain. Ribuan umat Hindu dengan pakaian adat kerap terlihat melakukan pemujaan di pura Goa Lawah dan pesisirnya.

 

Pembuatan garam di Pantai Kusamba Klungkung, Bali, yang makin berkurang. Foto : Anton Muhajir

 

Kampung Nelayan

Hamparan pasir legam berpadu dengan perahu-perahu nelayan warna-warni. Tiap hari, para nelayan berkumpul usai melaut dengan merawat mesin tempel, bercengkrama, dan mencari celah tambahan pemasukan selain dari tangkapan ikan.

Salah satunya yang membuat mereka bergairah adalah makin banyaknya penghobi mancing menyewa perahu. “Mancing mania?” tanya mereka pada pengunjung yang menghampiri. Mereka menawarkan sewa. Tengah hari, satu demi satu pemancing tiba dari tengah laut. Para nelayan menurunkan hasil pancingan.

Ada pemancing yang mendapat dua kakap merah dengan berat sekitar 5 kg per ekor. “Itu sudah bagus hasilnya,” komentar melihat rekannya menyeret dua ikan yang mulai dipancing dini hari itu. Harga sewa perahu rata-rata Rp600 ribu. Dikurangi biaya bahan bakar sepertiganya, hasil sewa perahu ini mengembirakan bagi nelayan. Apalagi saat paceklik ikan atau musim buruk.

Nelayan juga terbantu dengan pesanan pengiriman logistik ke kepulauan Nusa Penida seperti Lembongan, Ceningan, dan Nusa Penida yang bisa diseberangi sekitar 15-30 menit dari Kusamba. Tapi makin mudahnya akses kapal barang ke Nusa Penida, kebutuhan menggunakan perahu kecil menurun. Dengan kapal laut besar, barang-barang disebut lebih aman dari kerusakan karena langsung mendarat dengan kendaraan. Tak perlu diangkut susah payah dari perahu yang kemungkinan kena cipratan air laut.

Sore hari, aktivitas di kampung nelayan makin ramai dengan anak-anak yang menerbangkan layangan atau mandi di pantai. Ombak cenderung lebih besar karena tak ada pemecah gelombang seperti pesisir Sanur.

Aliran air Loloan membelah pantai seperti sungai kecil. Anak-anak kecil yang diajak bermain di pantai oleh orang tuanya menggunakannya sebagai kolam kecil. Mencipakkan kakinya di air. Ada yang piknik dan bersembahyang. Loloan memang salah satu daerah yang sakral, jadi pusat ritual. Umat Hindu menyucikan kawasan hulu dan hilir atau Nyegara Gunung.

 

Nelayan di Kusamba membawa ikan hasil memancing di Selat Badung, Bali. Foto : Anton Muhajir

 

Sentra Pemindangan Ikan

Melangkah beberapa meter dari pantai, keriuhan perempuan menimbang ikan, mengangkut dengan gerobak, dan memasaknya terlihat di sentra pemindangan ikan terbesar di Bali ini. Sebelum tahun 2000, sebagian warga di Desa Dawan, Kusamba memindang ikan di rumah masing-masing. Kemudian, dibuatkan pusat produksi ikan pindang bersama yang dihidupi lebih dari 100 perempuan ini.

Perempuan melakukan rantai pekerjaan nyaris dari A-Z, misal mengurus ikan di TPI, mengangkut, mengolah jadi ikan pindang, sampai menjual ke pasar-pasar tradisional. Sayangnya beberapa warung di sekitar sentra yang juga pedagangnya perempuan tak menyediakan hasil olahan pindang ini sebagai menu makanan.

Ketut Suri adalah salah satu buruh di salah satu kios pemindangan di sentra. Ia mengaku nyaris tak pernah libur, kecuali Nyepi. “Pokoknya setiap ada ikan, memindang jalan terus,” seru perempuan tengah baya yang menerima upah Rp500 per keranjang ikan pindang yang dibuatnya ini.

Dimulai dari mencuci ikan, mengaturnya per baris ikan dalam keranjang, menabur garam, mengatur baris baru lagi, dan seterusnya sampai keranjang hampir penuh. Rekan lain, menyiapkan api dari kayu bakar agar membesar, memasukkan keranjang-keranjang bambu ke dalam panci raksasa, dan menambahkan daun salam agar gurih. Sedikitnya ada 70 kios berderet di sentra ini. Mulai ada yang membuat sate dan pepes ikan  karena permintaan pengunjung.

Ironisnya, ketika pesisir Kusamba menghasilkan garam dan garam sangat dibutuhkan oleh industri pemindangan ini, para petaninya makin banyak gulung tikar. Pembuat ikan pindang menyebut garam yang ditaburkan dari Jawa karena harganya lebih murah.

Dari data yang dipajang di kantor sentra pemindangan ini, terlihat selama 3 bulan pertama 2017 ini sudah sekitar 1200 ton ikan yang masuk TPI Kusamba. Didominasi tongkol, cekalang, sutra, selengsing, teri. Persediaan ikan ini untuk bahan baku pemindangan rata-rata 400 ton per bulannya. Jadi per hari ikan pindang yang dihasilnya belasan ton per hari.

Sementara ketika memindang di rumah, warga bisa merebus maksimal 40 kg di rumah. Selain itu sentra ini dinilai menyerap tenaga kerja terutama perempuan, efisiensi biaya produksi, cari ikan lebih cepat, dan mempercepat komunikasi.

Para nelayan dari Karangasem, Klungkung, Badung, Jembrana, sampai Jawa membawa hasil tangkapannya ke sini. Cold storage mampu menampung cadangan ikan.

 

Kusamba merupakan pusat pemindangan ikan terbesar di Bali. Foto : Anton Muhajir

 

Menjelang siang dan petang, para supir dan kendaraannya siap mendistribusikan ke pasar-pasar di sejumlah kabupaten. Dari pasar lalu dibeli pedagang eceran di warung-warung. Selain dipepes, bisa digoreng berteman sambal matah atau sambal tomat. Sepotong kecil saja dan sepiring nasi hangat sudah cukup untuk memulai hari.

Ada dua cara pengolahan ikan di tempat ini yakni, diasapi dan dipindang. Mayoritas ikan dipindang. Inilah yang akrab dikenal dengan be pindang di Bali. Lauk yang sangat populer di pelosok desa dan perkotaan. Berukuran sekitar 200-500 gram per ekor.

“Pernah kebingungan karena garam mahal,” seru Pasek, salah satu pekerja. Walau Klungkung salah satu daerah terkenal dengan produksi garam rakyat, tak bisa memasok sesuai kebutuhan dan harga. Garam sangat penting karena mengawetkan.

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,