Moratorium Izin Hutan Lanjut, Apa Rencana Pemerintah buat Tata Kelola Lahan?

 

 

Pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan memastikan kebijakan tunda sementara (moratorium) izin hutan primer dan lahan gambut yang sudah rilis sejak Mei 2011 bakal lanjut dua tahun kedepan. Kelanjutan ini guna mempersiapkan langkah lanjutkan tata kelola lahan di wilayah moratorium yang ternyata banyak tak berhutan atau menjadi hutan tanaman.

Kini, pemerintah menyiapkan beragam aturan untuk melancarkan tata kelola lahan itu lewat Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tentang Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut Pada Areal Penundaan Pemberian Izin Baru.

Lahan-lahan yang terlindungi moratorium ternyata sudah jadi beragam fungsi alias tak berhutan lagi atau jadi kebun tanaman ini, kemungkinan buat tanah untuk rakyat (Tora), perhutanan sosial, atau bahkan penegakan hukum.

Yuyu Rahayu, Sekretaris Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan sekaligus Plt Dirjen Planalogi dan Tata Lingkungan, KLHK, mengatakan, perpanjangan moratorium dilakukan karena dalam Instruksi Presiden itu selain soal peta indikatif penundaan pemberian izin baru (PIPPIB), juga tata kelola lahan. Selama enam tahun ini, baru PIPPIB yang berjalan, tata kelola lahan dalam proses persiapan beragam aturan.

“Ada hal yang belum diselesaikan adalah bagaimana atur tata kelola yang di PIPPIB tadi ad aktivitas. Apakah masuk Tora, perhutanan  sosial atau penegakan hukum,” katanya.

Dalam pemberian kelola lahanpun tak sama. Ada yang mau tetap kawasan hutan asal aktivitas mereka tak diganggu, ada yang meminta bentuk lain.

“Nanti ada kita atur bagaimana ini. Kalau ada sawah, kebun bagaimana?  Kalau kasarnya itu kan ilegal, harus diatur. Pemberian akses atau penegakan hukum. Itu yang belum selesai diatur maka akan ada perpanjangan,” katanya di Jakarta, Rabu (10/5/17).

Pada rilis revisi PIPPIB X, KLHK memaparkan di area moratorium ternyata ada 13 jutaan hektar yang sudah tak berhutan lagi. Ia berubah menjadi beragam hal, dari pemukiman, perkebunan, pertambangan, pertanian, pertambangan, perkantoran dan lain-lain.

Baca juga: Belasan Jutan Hektar Kawasan Moratorium Ternyata Tak Berhutan Lagi

Lahan-lahan inilah, kata Yuyu, yang sedang dibuat aturannya agar dalam pengalokasian ada payung hukum. “ Itu yang diurus, kalau jalan begitu saja, nanti salah susah juga. Masukan-masukan perlu,” katanya.

 

Peta ini menjabarkan kawasan moratorium (di kawasan hutan maupun APL) yang sudah bukan hutan lagi karena menjadi beragam manfaat, dari kebun, pertanian, pertambangan, pemukiman dan lain-lain. Meskipun dalam peta ini belum terlihat kejadian itu di daerah mana saja. Peta ini juga memperlihatkan, hutan-hutan bagus yang belum terlindungi kuat, yang rencana menjadi hutan lindung. Sumber: Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

 

 

Belum ada penguatan

Khalisah Khalid dari Walhi Nasionl mengatakan, ingat betul bagaimana Walhi mendesak pada 2015 agar moratorium hutan diperkuat melalui kaji izin dan perlindungan kawasan esensial seperti gambut dalam dan hutan primer serta penegakan hukum.

Hingga kini, Walhi tak melihat kebijakan ini memiliki kekuatan hukum, bahkan tak bersifat wajib bagi kementerian (lembaga) negara lain, seperti pemerintah daerah.

”Ada kesempatan dilewatkan Jokowi (Presiden Joko Widodo), sehingga tiga bulan setelah (moratorium) terjadi kebakaran hutan dan lahan gambut besar-besaran,” kata Alin, panggilan akrabnya.

Tak hanya, di konsesi perusahaan, banyak di area PIPBIB. Walhi juga menggarisbawahi kebijakan penting terkait penyelamatan hutan alam dan ekosistem gambut tidak bisa dibatasi waktu dan perpanjangan dua tahun.

”Kami menilai itu tak efektif. Agar terukur pemulihan dan capaian, perlu 25 tahun. Itu harus dibarengi tindakan jelas dan terukur seperti review perizinan, penegakan hukum, pengakuan hak kelola rakyat dan pemulihan kawasan esensial baik industri perkebunan, tanaman industri maupun tambang,” katanya.

Dia bilang, degradasi dan deforestasi di hutan primer dan gambut cukup masif, hingga pemulihan memerlukan waktu panjang. Hal ini juga dipengaruhi dinamika sosial politik, baik global maupun dalam negeri. Dia contohkan, moratorium sawit tak kunjung jalan sejak janji Presiden April 2016.

Begitu juga, dinamika politik dan ekonomi para pengusaha sawit yang kini ‘main’ ke parlemen, melalui UU Perkelapasawitan.

 

Sumber: KLHK

 

Pembangkangan daerah

Menurut Alin Inpres moratorium ini masih tak jadi rujukan hukum atas RTRW pemerintah daerah. Bahkan, jadi celah mengeluarkan wilayah itu menjadi PIPPIB, missal merusak lahan jadi terdegradasi.

”Kita ini darurat ruang, tumpang tindih izin. Ada status hutan lindung, ada masyarakat, izin korporasi ada. Ini amburadul,” kata Kisworo Dwi Cahyono, Direktur Eksekutif Walhi Kalimantan Selatan.

Dia bilang, bagaimana rujukan moratorium jadi membumi hingga daerah, kementerian dan lembaga lain.”

Ada pembangkangan dari pemerintah daerah terhadap aturan pusat,” timpal Alin.

Dia contohkan, Kalimantan Barat melalui Surat Gurbernur Nomor 523/1345/Dishut-II/2017, pada 25 April 2017, meminta kepada Presiden agar ketelanjuran izin HTI diselesaikan sampai izin selesai. Bukan hanya satu daur penanaman. Dalam surat itu meminta keringanan bagi delapan dari 43 perusahaan dengan luasan mencapai 364.671 hektar di lahan gambut.

Surat itu keluar, katanya, membuktikan selama ini tak ada kepemimpian kuat dan seakan tak punya kekuatan menyasar pemerintah daerah.

“Ada potensi penyelamatan hutan hingga 80 juta hektar, jika moratorium selama 25 tahun dibarengi penguatan.”

Angka itu didapatkan dari analisa spasial Walhi terhadap data arahan rencana kehutanan tingkat nasional (RKTN 2011-2030) dan PIPPIB 2011.

Fathur Roziqin, Direktur Eksekutif Walhi Kalimantan Timur menyebutkan, ada 50% konsesi HTI dan HPH tidak beroperasi lagi, luasan mencapai 7 juta hektar. Adapun, land banking ini menyebabkan illegal logging, konflik tenurial dan lain-lain.

Dia menyebutkan, ada sinyal baik dari Dinas Kehutanan. ”Mereka mau review perizinan bersama, dan ada kesepakatan 30 Mei nanti,” katanya.

Hal serupa terjadi di Kalimantan Selatan. Sebanyak 50% Kalsel jadi  pertambangan batubara dan perkebunan sawit. Dari 3,75 juta hektar wilayah Kalsel, 1,2 juta hektar (33%) jadi pertambangan batubara dan 618.000 hektar (17%) perkebunan sawit skala besar. ”Kemudian untuk rakyat dimana?” kata Kisworo.

Dia bilang, banyak pembangkangan izin terjadi. ” Agustus lalu di daerah PIPPIB ada izin, ini jelas terjadi pembangkangan. Aturan aja dilanggar, apalagi terkait lingkungan sosial, budaya akan dilindungi dan dimaksimalkan.”

 

Sumber: KLHK

 

 

Pertanyakan pengecualian

Dalam kebijakan moratorium ada pasal pengecualian pada Inpres Nomor 8/2015 dalam kontek komoditas padi dan tebu serta infrastruktur, yang dianggap kebijakan strategis nasional.

Pengecualian ini, katanya, jadi celah dan sasaran lahan bisnis perkebunan tebu dan padi skala besar, kecuali perkebunan sawit. Contoh, deforestasi dampak komoditas ini terjadi di Papua, ada izin persetujuan prinsip perkebunan seluas 130.324 hektar (2015) dan 29.886 (2016).

”Mereka mengatasnamakan kedaulatan energi dan pangan, pemerintah memberikan kelonggaran atau pengecualian bagi industri,” katanya.

Penyelesaian alih fungsi lahan pangan menjadi sawit dan industi ekstraktif, serta terkait ketahanan pangan itu menggunakan hasil audit atas tanah terlantar hingga tak memerlukan izin baru.

Selain itu, banyak lahan terlantar dan produktivitas minim di Indonesia. ”Kita melihat kritis, kalau tak ditata akan hancur jika hutan dilepas begitu saja. Pelepasan hutan tak sebanding dengan perekonomian yang kembali untuk negara dan masyarakat,” ucap Kisworo.

 

Sumber: KLHK

 

 

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , , , , , ,