Pasca Rilis Resolusi Uni Eropa Tentang Sawit. Bagaimana Tanggapan Daerah?

 

Resolusi Parleman Uni Eropa tentang minyak sawit dan deforestrasi hutan yang dikeluarkan bulan lalu, tak urung membuat kalangan pengusaha dan pemerintah daerah (Pemda) gerah. Sebaliknya, kalangan pegiat lingkungan menyebut momen ini dapat menjadi kesempatan untuk melakukan perbaikan menyeluruh berbagai kebijakan perkebunan kelapa sawit di Indonesia.

Dalam resolusi yang menyebut Indonesia secara khusus tersebut, dikatakan bahwa perkebunan sawit menyebabkan masalah deforestasi, menimbulkan persoalan hak asasi manusia, mengeksploitasi pekerja anak dan menimbulkan korupsi. Juga, pembukaan lahan untuk industri perkebunan sawit disebutnya akan menciptakan kantong-kantong kemiskinan di daerah.

 

Baca juga: Ketika Parlemen Eropa Keluarkan Resolusi Soal Sawit

 

“Tidak perlu sewot. Sikap reaktif hanya akan menunjukkan adanya kesalahan yang coba ditutupi dengan upaya menyalahkan pihak lain,” jelas Agus Sutomo, Direktur Link-AR Borneo Kalimantan Barat awal Mei ini.

Menurutnya, resolusi ini kesempatan untuk mengevaluasi keberadaan perkebunan sawit di daerah, termasuk di Kalimantan Barat (Kalbar), sehingga pemerintah mendapat perbandingan yang obyektif. Temuan di tingkat tapak oleh organisasi masyarakat sipil sudah banyak menyoroti berbagai penyimpangan tata kelola perkebunan yang tidak berwawasan lingkungan serta melanggar ketentuan.

“Termasuk pencemaran lingkungan, kesehatan, bencana alam, perubahan tata guna lahan dan hilangnya habitat satwa adalah masalah yang lain,” lanjut Agus.

Sebelumnya, Wakil Gubernur Kalbar, Christiandy Sandjaya, menyebut bahwa resolusi parlemen Uni Eropa terkait komoditas sawit Indonesia lebih bermuatan bisnis belaka.

“Resolusi ini tidak terlepas dari urusan persaingan bisnis. Jadi bukan masalah lingkungan dan sebagainya,” jawabnya, usai membuka Rapat Koordinasi dan Konsultasi Pembangunan Perkebunan Provinsi Kalbar, di Pontianak (18/04).

Menurutnya, resolusi Parlemen Uni Eropa muncul dari ketakutan terhadap produk minyak sawit asal Indonesia yang membanjiri Eropa. Ia menyebut Uni Eropa tidak ingin masyarakat dunia beralih dari minyak bunga matahari dan minyak jagung, dua produk yang dihasilkan oleh mereka kepada minyak sawit.

Menurut Christiandy, sebagai salah satu provinsi penghasil CPO terbesar di Indonesia, Kalbar sebutnya telah memenuhi komitmen untuk menciptakan industri perkebunan sawit yang berkelanjutan, lewat tiga landasan pembangunan hijau (Green Growth), yaitu memperkuat Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH), pengendalian penggunaan ruang, dan tata kelola izin.

Dia menyebut pembangunan perkebunan telah sesuai dalam koridor pembangunan hijau ramah lingkungan dan turut mendukung komitmen kontribusi Pemerintah Indonesia dalam menurunkan emisi gas rumah kaca dan deforestasi. Lewat kemitraan dengan swasta, rantai pasok komoditas dilakukani secara berkelanjutan dan ramah lingkungan, dan melibatkan masyarakat adat dan petani kecil secara aktif.

“Bahkan pencanangannya sebelum Parlemen Uni Eropa mengeluarkan resolusi,” katanya.

Sejalan dengan pemda, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) pun menyebut resolusi parlemen Eropa bersifat subyektif dan diskriminatif. “Kalau Eropa embargo produk makanan dan kosmetik yang mengandung sawit masuk ke pasar mereka, kita lawan saja,” kata sekretaris GAPKI Kalbar, Idwar Hanis.

 

Perkebunan kelapa sawit di provinsi Riau yang dilihat dari udara. Foto: Rhett A Butler

 

Pembenahan Harusnya Dillakukan Sejak Temuan Korsup KPK di Kalbar

Dalam skala perkebunan besar, sawit merupakan produksi terbesar dari Kalimantan Barat. Jumlah total  areal perkebunan kelapa sawit Kalbar sekitar 1,3 juta hektar, atau sepertiga dari luas wilayah provinsi ini. Kabupaten Sanggau, Ketapang dan Sekadang merupakan tiga besar area penanaman sawit. Hingga 2025, ditargetkan luasan perkebunan sawit mencapai 4 juta hektar mengacu pada luasan lahan yang telah dibebani izin perkebunan sawit.

Namun, luasan tersebut tidak berbanding lurus dengan capaian produksi.

“Rata-rata panen buah sawit di Kalbar rendah. Baru mencapai 2,27 ton crude palm oil (CPO) per hektar pertahun atau baru sebesar 56,97% dari produksi nasional yang mencapai 4 ton per hektar pertahun,” ujar kepala Dinas Perkebunan Kalimantan Barat, Florentinus Anum.

“Produktivitas sawit yang rendah merupakan akibat penggunaan bibit non unggulan, pemupukan yang tidak tepat, pemeliharaan tanaman yang rendah, dan penanganan pasca panen yang tidak optimal. Kedepannya upaya intensifikasi akan difokuskan.“

Sementara itu, hasil Koordinasi dan Supervisi Sumber Daya Alam Komisi Pemberantasan Korupsi (Korsup KPK) tentang perkebunan sawit di Kalbar, mendapatkan temuan sekitar 60 ribu hektar konsesi perkebunan masuk dalam kawasan hutan. Beberapa diantaranya bahkan sudah melakukan clearing lahan. Hasil overlay data kebakaran lahan, maka di lokasi tersebut ditemukan titik api di area korporasi dan kawasan gambut yang telah ditanami sawit.

Rekomendasi KPK terhadap hasil Korsup adalah melakukan pembenahan. Menurut Agus Sutomo, jika rekomendasi tersebut dilakukan bersungguh-sungguh maka saat ini Parlemen Uni Eropa tidak lagi punya alasan untuk mengeluarkan resolusi atau boikot.

Melalui kebijakan, Agus menyebut, Resolusi Parlemen Uni Eropa dapat menjadi kekuatan pemerintah untuk audit sosial dan lingkungan dalam tata kelola investasi perkebunan sawit skala besar. Termasuk tentang hak-hak masyarakat.  Ia pun menyebut harusnya keberadaan masyarakat tidak sekedar menjadi pelengkap legitimasi investasi pro rakyat.

“Pembenahan mulai dari pemberian izin, monitoring dan evaluasi dan penerapan mandatori dalam undang-undang dan aturan pendukungnya. Harus ada langkah tegas untuk menunjukkan kepada dunia bahwa komitmen perbaikan itu ada,” tutupnya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,