Menikmati Sunyi di Talaga Nila Sindangsari

Telaga yang biru, bau tanah, dengan desir angin, belantara pohon-pohon tinggi berlatarkan Gunung Ceremai terasa menyejukkan. Dari permukaan telaga yang tenang,terpantul wajah langit hingga cahaya matahari menembus dasar. Terlihat gerombolan ikan berenang menyelinap diantara celah bebatuan. Kadang juga terdengar suara burung bersautan memecah keheningan.

Panorama alam tersebut ada di Talaga Nila yang sunyi. Tempat dimana ketenangan bersemayam jauh dari kebisingan, deru mesin kendaran atau bunyi klakson yang menyebalkan. Disini bebas, hanya ada telaga berwarna kebiru – biruan, hijaunya pepohonan serta mega – mega yang berbaris terpisah di atas cakrawala.

Talaga Nila–pengucapan telaga menjadi talaga dalam bahasa sunda– terletak di Blok Heleut, Desa Padaherang, Kecamatan Sindangsari, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat. Berjarak 20 kilometer dari pusat kota atau dapat ditempuh dalam waktu sekitar 40 menit untuk sampai di lokasi.

(baca : Menikmati Segarnya Curug Citambur)

 

 

Desa Padaherang, banyak pilihan wisata dengan suasana alam, seperti menikmati Curug Baligo, bersantai di Situ Cikuda atau hanya sekedar mencicipi sunyi di tepian Talaga Nila. Sejumlah spot wisata ini memang belum banyak yang menjelajahi karena baru diperkenalkan.

Barangkali, destinasi wisata yang belum cukup terkenal ini bisa dijadikan pilihan kala waktu libur tiba. Berwisata dengan nuansa alam bisa memulihkan kembali semangat yang hilang setelah lelah diterpa rutinitas menjengkelkan seolah – olah merontokan tulang.

Jika anda memiliki peralatan outdoor, seperti hammock atau ayunan boleh juga dibawa karena di pinggiran telaga terdapat pohon – pohon besar. Dan sembari menikmati pesona telaga yang damai, anda dapat memesan camilan, kopi atau teh yang tersedia di warung – warung tak jauh dari lokasi.

Menurut warga setempat, Telaga Nila telah sejak dulu ada. Ihwal asal usul warna telaga yangkebiru – biruan itu masih belum jelas, baru sebatas cerita mistifikasi dari mulut ke mulut. Uniknya nama Telaga Nila diambil dari ikan nila (Oreochromis niloticus) yang hidup di telaga tersebut. Berjarak  kurang lebih 30 meter dari Telaga Nila, terdapat pula Telaga Beunteur yang memiliki warna serupa.

(baca : Menikmati Panorama Alam Gunung Gede)

 

Sejumlah anak bermain air di Talaga Nila, Desa Padaherang, Sindangsari, Majalengka, Jabar, belum lama ini. Aktivitas tersebut mereka lakukan dengan memanfaatkan hari libur sekolah. Foto : Donny Iqbal / Mongabay

 

Di Telaga Nila berukuran 100 x 50 meter dengan kedalaman 8 meter, anda diperbolehkan berenang di air yang kebiru-biruan hanya untuk sekedar merasakan sensasi berbeda.  Atau duduk – duduk saja di tepian telaga sambil membasuh muka dan menyusupkan kaki merasakan segarnya air asli pegunungan. Semua itu bisa anda dilakukan sesuka hati.

Kepala Dusun Desa Padaherang, Wawan (36) menuturkan, keberadaan Telaga Nila baru mulai dikenal sekitar tahun lalu. Semenjak kehadiran gawai (gadget) dan maraknya penggunaan media sosial, perlahan – lahan telaga ini mulai dikenal oleh para pelancong dengan sebutan telaga biru.

“Memang talaga ini sejak saya masih kecil juga sudah ada. Hampir setiap hari, telaga ini juga dimanfaatkan warga sebagai air bersih, pengairan sawah dan kadang untuk memancing. Saya belum mengetahui betul kenapa air disini biru, mungkin perlu dilakukan penelitian,” kata dia saat ditemui di lokasi belum lama ini.

 

Wisatawan membasuh muka di Talaga Nila, Desa Padaherang, Kecamatan Sindangsari, Kabupaten Majalengka, belum lama ini. Suasana sunyi serta pemandangan alam yang masih asri memberikan nuansa berbeda bagi siapa saja yang berkunjung. Foto : Donny Iqbal / Mongabay

 

Keberadaan Telaga Nila, kata Wawan, hanya bisa dinikmati ketika memasuki musim penghujan saja. Bila musim kemarau tiba, air telaga menjadi surut dan warnanya pun berubah menjadi kecoklatan. Dia menambahkan, Telaga Nila dikelola oleh pihak desa dengan menarik retribusi Rp5000 setiap pengunjung. Sehingga sarana dan prasarana masih belum begitu lengkap.

“Semua tanah di sini (Talaga Nila) dimiliki oleh perorangan. Hanya telaganya saja yang dimiliki desa. Sehingga bisa saja berpengaruh pada keberadaan talaga, bila suatu saat si pemilik mengembangkan tanahnya. Kami hanya berupaya wisata ini bisa dikembangkan,” tambahnya.

Barangkali keindahan ini bisa abadi. Bila semua pihak saling berpangku tangan merawat alam agardapat dikembangkan sebagai destinasi wisata. Dengan demikian pemanfaatan alam bisa lebih arif tanpa merusak keasriannya.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,