Kerusakan Lingkungan Akibat Tambang Batubara Terus Berlanjut, Apa Solusinya?

 

 

Negara tidak hadir dalam mengawasi dan menindak perusahaan batubara yang terindikasi kuat melanggar hak asasi manusia (HAM) dan aturan. Sehingga, perusahaan tambang batubara merasa leluasa beroperasi. Direktur Eksekutif Daerah Walhi Bengkulu Beni Ardiansyah mengemukakan hal tersebut kepada Mongabay Indonesia.

“Kami (Walhi Bengkulu) akan menggugat negara, dalam hal ini pemerintah daerah, melalui jalur hukum. Ini sangat perlu dilakukan. Tidak terlihat itikad pemerintah daerah untuk menghormati, melindungi termasuk memulihkan hak asasi manusia, khususnya hak atas lingkungan hidup, dan menegakan aturan terhadap kejahatan lingkungan hidup,” kata Beni, Senin (8/05/2017).

Kerusakan lingkungan hidup akibat limbah batubara di sepanjang DAS Air Bengkulu hingga pesisir pantai di Kota Bengkulu dan Bengkulu Tengah yang terjadi sejak 1980-an hingga kini adalah nyata dan bukan kasat mata. Kendati demikian, pemerintah daerah tidak pernah berupaya menemukan perusahaan tambang untuk dimintai pertanggungjawaban.

“Indikasi lainnya seperti lubang bekas tambang tidak direklamasi, kerusakan kawasan hutan, kewajiban membayar jaminan reklamasi dan jaminan paska tambang yang tidak dipenuhi juga terkesan dibiarkan. Bahkan, masalah izin terindikasi masuk kawasan hutan konservasi dan lindung yang terungkap dalam surat Direktorat Jenderal Palonologi Kementerian Kehutanan No. S.706/VII-PKH/2014 bertanggal 10 Juli 2014 pun belum ditindaklanjuti,” tambah Beni.

 

Baca: Aktivitas Tambang Batubara yang Meresahkan di Hulu DAS Air Bengkulu

 

Setidaknya, 12 IUP tambang batubara terindikasi masuk kawasan hutan konservasi dan lindung yang tidak jelas tindaklanjutnya. “Misalnya, IUP terindikasi masuk hutan konservasi, apakah dicabut, tidak jelas. Begitu pula IUP terindikasi masuk hutan lindung, khususnya IUP operasi dan produksi, boleh jadi sudah berproduksi, kendati belum punya izin pinjam pakai kawasan hutan. Kalau sudah produksi, tapi belum punya izin pinjam pakai kawasan hutan, tentunya itu adalah pelanggaran aturan,” kata Beni.

 

Bongkahan batubara yang dikumpulkan di aliran DAS Air Bengkulu di Desa Penanding, Bengkulu Tengah, Bengkulu. Foto: Dedek Hendry

 

Data Yayasan Genesis dan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Nasional menunjukkan, hanya 8 perusahaan tambang batubara yang menunaikan kewajiban membayar jaminan reklamasi dan paskatambang. Yakni, PT. Bumi Arma Sentosa, PT. Injatama, PT. Kaltim Global, dan PT. Rekasindo Guriang Tandang. Sedangkan empat perusahaan lainnya, yakni PT. Bara Adhipratama, PT. Firman Ketahun, PT. Krida Darma Andika, dan PT. Ferto Rejang hanya membayar jaminan reklamasi.

“Banyak perusahaan tambang tidak membayar jaminan reklamasi dan paska tambang. Padahal kewajiban itu diatur UU No 4/2009 tentang Mineral dan Batubara. Ini bisa disebut pelanggaran aturan telah dilakukan,” kata Manager Kampanye Yayasan Genesis Uli Arta Siagian, Jumat (28/04/2017).

Belum lagi mengenai kewajiban melakukan reklamasi dan paska tambang, sambung Uli, yang tidak dilakukan. “Berdasarkan citra satelit dan overlay IUP tambang batubara, setidaknya ada 22 lubang tambang yang tidak direklamasi. Lubang-lubang bekas galian tambang yang masih menganga menjadi bukti nyata ketidakhadiran negara dan bukti kejahatan ekologi yang dilakukan perusahaan,” tambahnya.

 

 

Ruang untuk menggugat

Hak atas lingkungan yang sehat dan baik tertuang dalam Pasal 28H UUD 1945, Pasal 9 Ayat (3) UU No 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Pasal 65 Ayat (1) UU No 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Sehingga, negara (pemerintah) dan pelaku usaha wajib untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak tersebut.

“Masyarakat atau lembaga lingkungan hidup berhak memperjuangkan hak tersebut. Bahkan, Pasal 66 UU No 32/2009 menyatakan setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat perdata. Saya berharap, ada yang menggugat karena hukum memberi ruang,” kata Dosen Pengajar Hukum Lingkungan Fakultas Hukum Universitas Bengkulu Edra Satmaidi, Jumat (28/04/2017).

 

 

Jalur masyarakat atau lembaga lingkungan hidup memperjuangkan hak atas lingkungan hidup terkait indikasi pencemaran batubara, pendangkalan sungai, kerusakan kawasan hutan dan lainnya, sambung Edra, bisa non-hukum dan hukum. Untuk jalur hukum, dapat melakukan gugatan administrasi, perdata dan pidana.

“Bisa melalui PTUN agar izin dicabut, atau perbuatan melawan hukum? Kalau perdata, tinggal menghitung kerugian masyarakat, kerugian lingkungan. Atau pidana bila ada korban, misalnya masyarakat terkena penyakit, penyakit kulit atau meninggal, atau hewan yang mati, ikan atau lainnya.”

Mengenai indikasi pencemaran batubara dan kerusakan DAS Air Bengkulu, lanjut Edra, memang menimbulkan pertanyaan besar. “Kita anggap saja prosedur perizinan sudah oke, ada Amdal, RPL dan RKL. Tapi bagaimana pelaksanaan izin, apakah sesuai Amdal, RPL dan RKL? Kalau sesuai, mengapa batubara sampai di muara? Apakah karena kolam pengendapan tidak baik atau kesengajaan? Mengapa terjadi sendimentasi atau pendangkalan DAS Air Bengkulu?” kata Edra.

 

 

Dosen Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu Fajrin Hidayat mengatakan, untuk persoalan ini tidak terlihat adanya itikad pemerintah daerah menyikapi indikasi pelanggaran HAM dan aturan. Padahal, untuk menemukan siapa yang bertanggungjawab, tidak susah.

“Kalau tidak ketemu, itu agak aneh. Khusus masalah pencemaran dan pendangkalan, sudah termasuk masalah besar, tapi sampai sekarang tidak ada satupun institusi atau lembaga negara bisa menjawab siapa yang harus bertanggungjawab, ini kan aneh. Ibarat kriminal, korban sudah ada, namun tidak diketahui siapa pelakunya,” ujar Fajrin, Kamis (27/4/2017).

 

 

Tunggakan masalah

Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Bengkulu Ahyan Endu mengakui, cukup banyak tunggakan masalah pertambangan batubara yang akan ditata dan dibenahi. “Kami tidak bisa sendirian, harus bersama organisasi perangkat daerah lainnya. Itu pesan yang terus disampaikan Gubernur Bengkulu,” kata Ahyan yang ditemui bersama Sekretaris Dinas ESDM Provinsi Bengkulu Oktavino, Selasa (25/4/2017).

Misalnya terkait tunggakan royalti. “Ke depan, mudah-mudahan tidak menjadi masalah lagi, karena kalau mau mengirim atau operasi, bayar dulu royalti dulu. Termasuk pengangkutan batubara menggunakan jalan umum, yang biasanya menimbulkan kerusakan jalan, harus ada kompensasi,” tutur Ahyan.

 

Lubang bekas tambang batubara di Kabupaten Bengkulu Tengah. Foto: Dedek Hendry

 

Oktaviano menambahkan, saat diserahkan kepada pemerintah provinsi, tercatat sebanyak 76 IUP. Setelah ditata, tersisa 39 IUP. “Penataan terus dilakukan. Misalnya terkait lokasi, IUP yang masuk kawasan konservasi akan dicabut atau dikecilkan luas izinnya. Untuk kawasan hutan lindung dan produksi, mereka diminta untuk mengurus izin pinjam pakai kawasan ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.”

Untuk masalah jaminan reklamasi, jaminan paska tambang dan lubang yang tidak direklamasi, ESDM akan mengurusnya setelah masalah royalti selesai. “Tidak mungkin aktivitas tambang tidak menyisakan lubang. Paska tambang, perusahaan wajib melakukan penataan lahan kembali. Kewajiban mengembalikan kawasan hutan sesuai fungsinya. Kami sedang menginventarisasi, nanti akan ditata.”

Menurut Oktaviano, optimalisasi sektor pertambangan batubara di Provinsi Bengkulu sangat perlu dilakukan. Data Dinas ESDM menyebutkan cadangan batubara di Bengkulu mencapai 150 juta ton metrik. “Kenapa (pertambangan batubara) di Provinsi Bengkulu jalan? Karena pengangkutannya bisa melalui laut. Secara ekonomi, lebih murah. Kualitasnya juga lebih bagus dibandingkan di Musi Rawas, Sumatera Selatan.”

 

Peta Sebaran Tambang Batubara di Bengkulu. Dok. Walhi Bengkulu

 

Mengutip Rosyid, F.A. and Adachi, T. (2016), jumlah cadangan batubara di Cekungan Bengkulu terendah dibandingkan di Cekungan Ombilin, Sumatera Tengah, Sumatera Selatan, Kutai dan Tarakan, serta Barito. Cadangan batubara di Cekungan Bengkulu hanya 19 juta ton metrik lagi.

Namun, kadar kalori cadangan batubara di Cekungan Bengkulu termasuk terbaik dibandingkan cekungan lainnya. Di lain pihak, Achmadi Rosyid, Fadhila and Adachi, Tsuyoshi menunjukkan bahwa produksi rata-rata batubara di Cekungan Bengkulu adalah 6,8 juta ton, dan tahun puncak pertambangan batubara di Bengkulu telah berlalu, yakni pada 2011.

 

Referensi tambahan

  • Rosyid, F.A. and Adachi, T. (2016) Forecasting on Indonesian Coal Production and Future Extraction Cost: A Tool for Formulating Policy on Coal Marketing. Natural Resources, 7, 677-696
  • Sofyan, Suid (2016), Peran dan Fungsi Dinas Kehutanan Provinsi Bengkulu Dalam Pembangunan Industri Ekstraktif di Provinsi Bengkulu dalam Dialog Kebijakan Multipihak : Dampak dan Manfaat Industri Ekstraktif di Provinsi Bengkulu, 21 Desember 2016

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , ,