Soal Resolusi Sawit: RSPO Nilai Peluang Perbaikan, Parlemen Uni Eropa akan ke Indonesia

 

Kekhawatiran Resolusi Sawit jadi kampanye negatif bagi Indonesia di pasar Uni Eropa, tampaknya terlalu berlebihan. Pasalnya, ekspor ke Eropa malah mengalami peningkatan,  berbanding terbalik dengan negara tujuan ekspor utama sawit Indonesia, India dan Tiongkok.

 

Resolusi Sawit bikinan parlemen Eropa munculkan beragam tanggapan. Indonesia bersama dengan Council of Palm Oil Producing Countries (CPOPC) bilang berupaya menangkal dampak buruk Resolusi Sawit. Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), sebagai organisasi nirlaba lintas pemangku kepentingan industri sawit,  menilai sikap Uni Eropa bukan ancaman.

”Justru ini momentum perbaikan bagi sektor sawit dalam negeri. Kami juga melihat ini bukanlah upaya perang dagang, ini peluang menaikkan standar komoditas,” kata Tiur Rumondang, Direktur RSPO, di Jakarta, beberapa pekan lalu.

Setiap negara, katanya,  memiliki upaya memproteksi komodita strategis masing-masing dan hal wajar, termasuk, Indonesia. Apalagi, sawit jadi komoditas yang sedang ‘digandrungi’ dunia. Yang menjadi perhatian itu, katanya, jangan ada diskriminasi.

Masa ini, katanya, bisa jadi momentum perkebunan Indonesia menunjukkan upaya baik yang sudah dilakukan selama ini. ”Kami menyediakan pintu jika mereka ingin mengetahui lebih lanjut apa yang telah dilakukan RSPO dalam memperbaiki diri dan mengkonfirmasi yang telah dilakukan.”

Tiur mengatakan, perlu ada pengembangan berkelanjutan dalam tata kelapa sawit pada standar RSPO kedepan. ”Kami menyambut baik 2020 itu ada CSPO (certified sustainable palm oil-red) bagi Eropa. Ini peluang. Apa yang kami perjuangkan didukung,” katanya.

Berdasarkan data RSPO, kini baru 1,82 juta hektar kebun sawit tersertifikasi RSPO, sekitar 13-14% di Indonesia. Hingga Februari lalu, produksi sawit dengan CSPO 57,03% atau 6,97 juta metrik ton dari 12,22 juta metrik ton di seluruh dunia.

Sementara itu, delegasi Parlemen Uni Eropa bakal datang ke Indonesia guna duduk bersama dengan pemangku kepentingan sawit dan kunjungan lapangan. Mereka berencana ke Riau dan berdialog dengan petani.

Kunjungan ini rencana 21-22 Mei akan datang ke kebun dan industri sawit di Riau. Pada 23 Mei rencana bertemu Komisi I, IV dan VI DPR RI. Pada 24 Mei 2017, bakal ada pertemuan dengan pemerintah lewat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

 

 Revisi standar RSPO

RSPO pun pembaruan kriteria dan prinsip (P&C) yang jatuh tempo pada 2018. Agenda rutin lima tahunan ini akan memasukkan isu terkait hak asasi manusia (HAM) dalam standar RSPO.

”Sejak tahun lalu, saya berupaya membawa agar komponen human right diperkuat,” katanya.

RSPO telah membentuk kelompok kerja menkaji unsur HAM. Salah satu fokus HAM, katanya, tekait pekerja bawah umur. Untuk itu, dia bekerja sama dengan beberapa pihak, salah satu Unicef, dalam memberikan masuk perumusan standar.

Soal isu perburuhan sektor perkebunan, katanya, hingga kini belum ada regulasi mengatur. ”Aturan tenaga kerja atau buruh manufaktur terlalu umum. Padahal perlakuan sektor perkebunan sangat berbeda.”

Tiur berharap,  ada aturan terkait tenaga kerja sektor perkebunan, diatur turunan UU Perkebunan. Melalui itu, ucap Tiur,  RSPO dapat mudah mengaplikasikan dalam prinsip dan kriteria yang baru.

”Kami terbuka menerima kritik terhadap kriteria dan celah dalam penerapan standar,” katanya, seraya bilang, isu legalitas dan keterlacakan, seringkali mendapatkan laporan dari beberapa pihak. Bersama dengan Inobu dan WWF, RSPO sedang mengkaji standar itu.

 

Tarik menarik?

Atas sikap RSPO yang disebut-sebut mendukung resolusi sawitpun, pada 3 Mei 2017, Indonesia Growers Caucus– merupakan wadah perkumpulan para korporasi kebun sawit– tergabung dalam keanggotaan RSPO mengeluarkan rilis terkait pemberhentian sementara dari anggota RSPO.

Dalam rilis disebutkan tiga keputusan, yakni pengunduran diri sementara koordinator Indonesia Growers Caucus, Edi Suhardi sebagai anggota Board of Governors, RSPO, penghentian sementara waktu keterlibatan perwakilan perkebunan sawit Indonesia dalam berbagai forum RSPO. Juga tak telibat sementara waktu dan tak bertanggung jawab terhadap berbagai keputusan dalam berbagai forum RSPO. Adapun, disebutkan ketidakterlibatan itu hingga ada keputusan lain diambil dalam pertemuan anggota akhir Mei 2017.

Selang sehari, pada 4 Mei 2017, Indonesia Growers Caucus menarik rilis karena proses pengambilan keputusan kurang koheren dan tak akurat. ”Ini dinamika. Caucus kan forum yang tak mengikat dari anggota dan didesain  perwakilan para growers. Ada kesepakatan pengunduran diri sementara itu awalnya untuk langkah dalam merefleksikan diri, me-review dan berdiskusi matang hingga pertemuan anggota akhir Mei nanti.”

Dengan begitu, perwakilan anggota Indonesian Growers Caucus dari berbagai perusahaan akan tetap aktif dalam forum RSPO.

 

Sawit, disebut-sebut komoditas andalan negeri. Foto: Lusia Arumingtyas

 

Adapun pertemuan khusus pada 24 Mei 2017 nanti, Edi akan memperkuat keterlibatan anggota di RSPO. ”Ini jadi tantangan, kita juga mau menunjukkan peran jelas bahwa Indonesian Growers Caucus bukan hanya perwakilan tunggal, ada keragaman posisi. Semua anggota bisa menyuarakan secara individu.”

Mengenai resolusi sawit, Edi menilai Uni Eropa gagal memahami produk sawit Indonesia. ”Ada diferensiasi. Ada berkelanjutan dan tidak, sedangkan dalam resolusi itu tak jelas kedudukannya, hingga jadi tak fair,” katanya.

Diapun mengharapkan, pemerintah Uni Eropa bisa membedakan produk CSPO. ”Kita kan sedang menyempurnakan P&C, harapannya standar dari Uni Eropa nanti bisa ditentukan bersama. Nanti P&C (prinsip dan kriteria-red)  mengikuti keinginan pasar dan disesuaikan kondisi growers di Indonesia,” katanya.

 

Ekspor ke Eropa malah naik

Ribut-ribut Resolusi Sawit mendapat tudingan sebagai kampanye negatif tampaknya terlalu berlebihan. Pasalnya, ekspor ke Eropa malah mengalami peningkatan berbanding terbalik dengan negara tujuan ekspor utama sawit Indonesia, India dan Tiongkok.

Rilis Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) menyebutkan, ekspor ke negara-negara Uni Eropa mengalami peningkatan meskipun pertengahan Maret lalu ada Resolusi Sawit dan pelarangan biodiesel berbasis sawit karena dinilai penyebab deforestasi, korupsi, pekerja anak dan pelanggaran HAM.

Fadhil Hasan, Direktur Eksekutif Gapki mengatakan, ekspor minyak sawit Indonesia ke negara-negara Uni Eropa alami kenaikan 27% atau dari 352.000 ton Februari ke 446.920 ton pada Maret.  “Naiknya ekspor ke negara-negara Eropa menunjukkan negara-negara ini tetap membutuhkan minyak sawit,” katanya.

Dalam beberapa proses produksi industri,  terutama produk-produk rumah tangga sehari-hari sangat tergantung minyak sawit. Harga sawit, lebih murah dibandingkan sumber minyak nabati lain.

Peningkatan permintaan cukup signifikan juga tercatat dari Amerika Serikat (AS) . Kenaikan permintaan 52% dari 54.850 ton Februari jadi 83.380 ton Maret. Meskipun beberapa minggu sebelum itu, AD menuduh Indonesia praktik dumping biodiesel ekspor.

“Ini belum berpengaruh bagi ekspor minyak sawit dan produk turunan ke Amerika Serikat,” katanya.

Kenaikan permintaan minyak sawit Indonesia ini, katanya, diikuti negara-negara Afrika 13% dan Pakistan 10%.

Kondisi mengejutkan, negara tujuan utama ekspor sawit Indonesia yaitu India dan Tiongkok malah turun. Pada Maret ini, India turun 27% atau dari 587.930 ton pada Februari jadi 430.030 ton.

Penurunan ini, katanya, terjadi di Tiongkok jug sebesar 18% atau dari 344.090 ton di Februari jadi 322.140 ton.

Penurunan permintaan karena negara ini katena persesiaan rapeseed kedua negara berlebihan terutama India. India , katanya, juga baru mengeluarkan regulasi penurunan tarif impor minyak bunga matahari dari 30% jadi 10% efektif berlaku 1 April 2017.

Keadaan ini bikin para pedagang menahan diri beli minyak sawit dan akan menaikkan pembelian minyak bunga matahari memanfaatkan penurunan tarif impor.

Gapki juga menyampaikan, sepanjang Maret harga rerata minyak sawit mentah global pada kisaran US$685 –US$750 per metrik ton dengan harga US$731,7 per metrik ton.

Pemerintah Indonesia sendiri menetapkan bea keluar ekspor CPO Mei US$0 per metrik ton dengan harga referensi US$731,01 per metrik ton.

“Untuk pertama kali bea keluar ditetapkan nol pada 2017 karena harga minyak sawit terus tergerus. Harga rata-rata patokan di bawah batas bawah pengenaan bea keluar yaitu US$750 per metrik ton.”

 

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,