Persoalan Restorasi Kanal Gambut di Kalteng: Di TN Sebangau Disekat, di Tempat Lain Malah Terus Dibuat

Dalam kunjungannya ke eks Camp SSI TN Sebangau, Palangkaraya minggu lalu (13/05), Menteri LHK Siti Nurbaya memantau sekat kanal (canal blocking/tabat) dan proses rehabilitasi lahan gambut yang telah dilakukan. Di bekas konsesi HPH PT SSI (Sebangau Sanitra Indah) yang sekarang masuk dalam kawasan taman nasional, hutan sepanjang kanal pun sudah rimbun kembali.  Lahan gambut kembali basah dan mengurangi potensi ancaman kebakaran lahan.

Selama eksploitasi kayu di lokasi HPH PT SSI yang selesai tahun 2004 lalu, pembukaan jalur kanal untuk mengangkut kayu dilakukan masif disepanjang 24 kilometer, dengan lebar kanal 9 meter dan kedalaman 4-5 meter. Saat itu ekosistem gambut rusak parah. Usai HPH selesai beroperasi, setahun berikutnya eks konsesi ini masuk dalam kawasan TN Sebangau.

Upaya pemulihan dilakukan oleh TNS bersama WWF Indonesia dan masyarakat. Sejak 2005, total tabat yang sudah dibangun sebanyak 1.318 unit. Sementara areal penanaman rehabilitasi seluas 9.626 hektar.

Keberadaan TN Sebangau sendiri dikenal sebagai habitat orang utan. Berdasarkan survey tahun 2007 mencakup wilayah seluas 4.896 km2, terdapat 5.400 individu orangutan. Pada tahun 2015 populasi meningkat sebanyak 426 individu (7,8%) atau rata-rata penambahan 53 individu (1,1%) pertahunnya.

“Ini contoh taman nasional yang terurus baik, bisa menjadi contoh tata kelola gambut. Saya kira pendekatan canal blocking memang kuncinya. Kita perlu bangun kolaborasi dengan pemda,” jelas Siti.

Walikota Palangkaraya, Riban Satia menyambut baik rencana KLHK untuk melibatkan pemda. Menurutnya ekowisata amat memungkinkan dilakukan di TN Sebangau. Apalagi kota Palangkaraya merupakan gerbang menuju Taman Nasional Sebangau.

Riban pun berkomitmen menjaga keutuhan TN Sebangau dari industri ekstraktif seperti sawit dan tambang. “Sawit dan tambang tidak boleh menjarah TNS. Masyarakat diberi arahan, penyuluhan dan sosialisasi agar jangan sampai ada kegiatan yang merusak taman nasional,” jelasnya.

 

Kanal di Kelurahan Kelampangan Kecamatan Sebangau Kota Palangka Raya yang dibangun pada 2016 di lahan gambut. Foto: R Sahala.

 

Proyek Kanal Pemda Malah Langgar Aturan Kawasan Hidrologis Gambut?

Jika di TN Sebangau penabatan kanal menjadi fokus kunjungan Menteri LHK, sebaliknya pembuatan kanal-kanal di lahan gambut di tempat lainnya terus berjalan. Seperti contohnya yang sedang dikerjakan di Kota Palangkaraya maupun Kabupaten Pulang Pisau. Uang miliaran rupiah pun digelontorkan untuk proyek ini.

Di Kelampangan, Kecamatan Sebangau, Dinas Bina Marga dan Sumber Daya Air Kota Palangkaraya mengeluarkan Rp1,95 miliar untuk menambah kedalaman kanal. Proyek ini disebut sebagai rehabilitasi jaringan irigasi Kelampangan Kota Palangkaraya.

Kanal-kanal lama dikeruk hingga kedalamannya mencapai 5 meter dan kemudian kanal-kanal baru dibuat serta saling terintegrasi. Panjang tiap kanal bervariasi, dari 6 sampai 12 meter. Di wilayah ini kedalaman gambut bervariasi, dari yang berkategori tipis hingga yang kedalamannya lebih dari 3 meter.

Bersebelahan dengan proyek di Kelampangan, maka proyek serupa pun sedang dikerjakan di Kelurahan Paduran, Kecamatan Sebangau Kuala, Kabupaten Pulang Pisau. Untuk pengerjaan proyek itu, Pemkab Pulang Pisau menganggarkan Rp1,467 miliar.

Adapun, rencana kanal yang akan dibuat enam kanal. Tiga kanal dilengkapi dengan sekat untuk mengatur ketinggian air, sementara tiga lagi tidak.

Saat dihubungi Mongabay Indonesia Rustam, Kadis Pekerjaan Umum Kabupaten Pulang Pisau, menyebut pembuatan kanal ditujukan untuk usaha pertanian, namun ia mengelak penjelasan teknis berkenaan pembuatan kanal tersebut.

“Biasanya untuk pertanian, untuk pengeringan dan persediaan air kalau terjadi bencana kebakaran. Tapi untuk jelasnya saya belum tahu karena baru tiga bulan menjabat,” ujarnya (10/05).

Berseberangan dengan Rustam, Koordinator Firewatch Faturohman, menyampaikan ketidaksetujuannya dengan rencana pembuatan kanal baru tersebut.

Menurutnya, pembuatan desain teknis kanal harusnya mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) nomor 71/2014 seperti diubah PP 57/2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut. Apalagi, wilayah Sebangau Kuala, masuk dalam Kawasan Hidrologis Gambut (KHG), yang letaknya diantara Sungai Sebangau dan Sungai Kahayan.

“KHG didefinisikan sebagai ekosistem gambut yang letaknya diantara dua sungai, diantara sungai dan laut dan/atau rawa,” terangnya lewat pesan elektronik (12/05). Dari definisi itu jelasnya, satu KHG atau sub-KHG pasti akan membentuk satu kubah gambut.

Ketika KHG atau sub-KHG tadi dibelah satu kanal, maka akan terbentuk satu sub-KHG dan kubah gambut tadi menjadi mini kubah gambut. “Sehingga semakin banyak kanal akan semakin banyak membentuk kubah gambut mini yang akan semakin mempercepat proses reduksi atau penurunan gambut,” lanjutnya.

Faturohman menyatakan, berdasarkan pencitraan satelit MODIS, di tahun 2015 lokasi kanal di Kecamatan Sebangau Kuala menjadi wilayah dengan hotspot terbanyak. Disana tercatat ada 2.868 titik dari 7.880 titik panas di Pulang Pisau.

Dari angka itu lanjutnya,  868 titik terpantau di wilayah Hutan Lindung, dan 992 titik terpantau di Kawasan Suaka Alam (KSA)/Kawasan Pelestarian Alam (KPA). Berangkat dari angka dan data tersebut, jelas wilayah itu merupakan kawasan gambut yang rawan terbakar.

 

 

Jumlah hotspot yang terpantau di Kabupaten Pulang Pisau berdasarkan citra MODIS tahun 2015. Klik pada gambar untuk memperbesar. Data: Firewatch

 

Gerakan Restorasi Gambut di Kalteng Belum Tampak

Lambatnya kemajuan restorasi gambut agar lahan dapat terhindar dari kebakaran lahan di waktu yang akan datang diakui langsung oleh Wakil Gubernur Kalimantan Tengah, Habib H. Said Ismail.

“Tadi sempat kami minta kepada BRG agar janjinya untuk Kalteng cepat direalisasikan. Kami melihat sudah berjalan hampir satu tahun belum ada aksi nyata, terutama janji untuk pembangunan fisik dan pemberdayaan masyarakat.,” jelas Ismail dalam pertemuan Global Peatland Initiative di Jakarta (16/05).

Janji pembangunan fisik yang dimaksud Ismail, yakni pembuatan sekat kanal untuk menjaga tinggi muka air dan sumur bor sebagai persiapan jika terjadi kebakaran lahan gambut. Juga, tak kalah penting katanya, rekayasa sosial masyarakat yang hidup di gambut dan sekitarnya.

Kurangnya kemajuan dalam restorasi gambut di Kalteng juga dikeluhkan Direktur Save Our Borneo (SOB) Palangkaraya, Nordin. Dia menyoroti tugas mengembalikan gambut ke fungsi awal harusnya bukan hanya tugas BRG semata, tapi juga Pemprov Kalteng.

“Sudah satu tahun empat bulan terbentuk BRG, tapi gerakan restorasi gambut di Kalteng kurang greget. Gubernur dan jajarannya harusnya lebih progresif untuk soal restorasi,” tutur Nordin.

Salah satu kelemahan Pemprov Kalteng menurutnya karena Tim Restorasi Gambut Daerah (TRGD) tidak berjalan, dia menduga kemungkinan TRGD belum terbentuk. Padahal tim ini merupakan amanat Peraturan Presiden nomor 1/2016 tentang Restorasi Gambut.

Merespon pernyataan Wagub Kalteng, Kepala BRG, Nazir Foead menjelaskan, pembangunan sekat kanal dan sumur bor di Kalteng sudah berjalan sejak bulan April 2017 lalu. Katanya, BRG merencanakan pembuatan 9.500 sumur bor dan 3.100 sekat kanal.

“Kegiatan pembangunan sekat dan sumur bor sudah berjalan, sejak bulan lalu. Dan akan tambah lagi kegiatan lebih banyak lagi dalam 1-3 bulan ini,” jawab Nazir saat dikonfirmasi.

Dalam amanat kerjanya, BRG merencanakan akan merestorasi sekitar 2,4 juta hektar gambut dari 7 juta hektar yang sudah terbuka di 7 provinsi, termasuk Kalteng. Kabupaten Pulang Pisau sendiri menjadi salah satu dari 4 kabupaten prioritas kerja BRG di provinsi ini.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,