Berikut Berbagai Alasan DPR Layak Hentikan Bahasan RUU Perkelapasawitan, Apakah Itu?

 

Sesungguhnya Indonesia tengah jadi ‘bancakan’ negara lain karena menurut RUU itu pemerintah Indonesia harus membiayai atau memfasilitasi seluruh tahapan usaha sawit milik korporasi.

 

Koalisi masyarakat sipil mendesak DPR menghentikan pembahasan Rancangan Undang-undang (RUU) Perkelapasawitan. Mereka menilai tak ada urgensi menerbitkan RUU yang hanya melayani kepentingan pebisnis, bahkan bisa jadi pelindung kejahatan lingkungan dan hak asasi manusia.

Komisi IV DPR dan pemerintah menyepakati RUU Perkelapsawitan menjadi prioritas program legislasi nasional (prolegnas) 2017. Sejak 2016 hingga awal April 2017 sudah delapan kali Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) menggodok naskah terdiri dari 27 bab ini.

Andi Muttaqien, Deputi Direktur Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) di Jakarta minggu lalu mengatakan, ada tiga alasan DPR merancang RUU ini. Yakni, memastikan kesejahteraan petani, meningkatkan profesionalitas seluruh sektor sawit dari hulu hilir, dan jalan keluar carut marut perizinan dan perkebunan ilegal—kebun di kawasan hutan atau tanpa hak guna usaha (HGU).

Kenyataan, dari 101 pasal hanya 1 memudahkan petani, sisanya soal budidaya dan kepentingan perusahaan.

Pasal yang menyebut khusus soal petani, hanya Pasal 29 menyatakan beberapa kemudahan akses lahan bagi pekebun masih perlu diturunkan dalam bentuk peraturan pemerintah (PP).

Sebaliknya,  RUU ini dinilai memberi perlakuan istimewa kepada perusahaan perkebunan, misal Pasal 18 ayat 4 menyatakan, perusahaan, pertama, mendapat pengurangan pajak penghasilan bersih sampai jumlah tertentu terhadap jumlah penanaman modal dalam waktu tertentu.  

Kedua, pembebasan atau keringanan bea masuk atas impor barang modal, mesin atau peralatan untuk keperluan produksi yang belum ada di dalam negeri. Ketiga, pembebasan atau keringanan bea cukai untuk bahan baku tertentu.

Keempat, pembebasan atau penangguhan pajak pertambahan nilai atas impor barang modal atau mesin yang belum diproduksi di dalam  negeri. Kelima, keringanan pajak bumi dan bangunan di wilayah tertentu. Keenam, bantuan pemasaran produk oleh lembaga dan instansi tertentu sesuai perundang-undangan.

“Ini jadi pertanyaan serius apakah motif Komisi IV benar-benar ingin mens=yejahterakan petani atau hanya memfasilitasi perusahaan?” katanya.

Koalisi ini terdiri dari Madani Berkelanjutan, ICEL, Epistema Institute, AMAN, Elsam, Yayasan Pusaka, Kaoem Telapak, Forest Watch Indonesia, HuMA, Greenpeace dan Auriga.

Andi mengatakan, hasil analisis bersama koalisi,  kepentingan utama dilindungi RUU ini bukan kepentingan  nasional, namun segelintir orang kaya.

Data Transformasi untuk Keadilan (TuK) Indonesia, pemegang saham perkelapasawitan terbesar di Indonesia yakni Malaysia, diikuti Amerika Serikat, Inggris, Singapura, Bermuda, Brazil, Kanada, Prancis dan Belanda. Negara-negara ini sebagan besar juga pemegang surat utang atau obligasi terbesar bersama Denmark, Jerman, Jepang, dan Italia.

Pemberi pinjaman terbesar industri ini yakni Malaysia, Indonesia, Inggris, Amerika Serikat, Singapura, Jepang dan Jerman.

Lima pemilik perusahaan sawit terbesar di Indonesia, yakni Sinar Mas Group, Salim Group, Jardine Metheson Group, Wilmar Group, dan Surya Damai Group.

“Perusahaan-perusahaan ini sekaligus pemegang land bank atau persediaan lahan paling luas di Indonesia,” kata Henri Subagiyo, Direktur Indonesia Center of Environmental Law (ICEL).

Dari fakta ini, sesungguhnya Indonesia tengah jadi ‘bancakan’ negara lain karena menurut RUU itu pemerintah Indonesia harus membiayai atau memfasilitasi seluruh tahapan usaha sawit milik korporasi.

Dengan demikian, alih-alih demi kepentingan nasional, RUU Perkelapasawitan, lebih jadi upaya mengeruk keuangan negara dengan menuntut berbagai pembiayaan mulai pembibitan, penyediaan modal, penyediaan lahan, pengangkutan hingga penyediaan air untuk perkebunan sawit.

Selain itu, katanya,  definisi kepentingan nasional yang digaungkan pihak pendorong RUU ini, dinilai koalisi sangat sempit karena hanya mencakup soal pendapatan negara atau kontribusi ekonomi.  Ia tak menghitung berbagai biaya dampak negatif ekspansi perkebunan sawit seperti kerusakan lingkungan dan konflik sosial.

Melansir data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), pada 2015, kerugian akibat kebakaran hutan dan lahan 2015 mencapai Rp221 triliun. Dana penanggulangan kebakaran Rp720 miliar. Kerugian tak terhitung akibat 24 orang meninggal dunia dan 600.000 orang terkena infeksi saluran pernapasan akut (ISPA). Belum lagi, 60 juta jiwa terpapar asap, tak masuk hitungan.

“Ini akan berbenturan di tengah upaya pemerintah memperbaiki tata kelola lahan dan sawit melalui moratorium hutan, gambut, dan pelepasan kawasan hutan sawit serta memperkuat standar produksi sawit berkelanjutan Indonesia . RUU ini datang dengan isi berpotensi mengangkangi seluruh upaya ini,” ucap Andi.

 

 Strategi ringankan hukuman penjahat lingkungan

Dari sisi urgensi, kata Henri, tak jelas spesifikasi yang ingin disentuh RUU ini. Dari 17 bab yang menjadi substansi utama RUU, di luar ketentuan umum, asas dan tujuan, peralihan dan penutup, 13 pasal sudah diatur dalam UU Perkebunan, UU Perdagangan dan UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Lebih spesifik, data Sawit Watch mencatat 41 pasal sama dengan UU Perkebunan.

“Ini kontraproduktif dengan agenda-agenda yang ada, hingga rentan memicu konflik,” ucap Henri.

RUU ini juga memandatkan berbagai peraturan pelaksana yakni 16 peraturan pemerintah (PP), 12 peraturan menteri (permen), dan 31 rujukan. UU yang ada, UU Perkebunan, misal, baru memiliki tujuh PP dan empat permen.

“Ini akan menimbulkan konflik norma yang berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum. RUU ini tak penting, tak berguna, hanya menghabiskan uang rakyat.”

Dia jelaskan soal konflik norma, misal,  sanksi pidana kejahatan lingkungan dipotong RUU ini. Dalam rancangan disebutkan sanksi pidana bagi pelanggar dan penggunaan sarana dan atau cara yang dapat mengganggu kesehatan, keselamatan manusia, menimbulkan gangguan dan kerusakan sumber daya alam dan atau lingkungan hidup, hanya penjara maksimal 1,4 bulan, denda maksimal Rp145 juta.

Padahal, dalam UU Lingkungan Hidup sudah diatur Pasal 110 ancaman maksimal lima tahun dan denda maksimal Rp5 miliar.

“Sanksi pidana ini didiskon menjadi sangat ringan padahal akibatnya bagi keselamatan manusia dan lingkungan hidup sangat besar,” kata Henri.

Begitu juga pelanggaran panen dan pascapanen yang menggunakan teknik, sarana, dan prasarana yang menggangu kesehatan, merusak lingkungan dan mengganggu kepentingan umum direduksi ancaman penjara maksimal satu tahun, denda Rp100 juta.

 

Segel dari KLHK di lahan gambut—sebelumnya berhutan—terbakar, tak berapa lama usai hujan, muncul sawit puluhan hektar. Lahan-lahan ilegal seperti ini salah satu yang akan ‘diselesaikan’ dalam RUU Perkelapasawitan. RUU ini kalau jadi bakal bikin ribut, karena banyak bertentangan dengan UU yang lain. Foto: Sapariah Saturi

 

Pelemahan masyarakat adat

Pemahaman lain yang keliru dalam RUU ini seperti dalam kertas posisi disusun koalisi, terkait konteks agraria dan masyarakat adat. Klausul-kalusul dalam RUU membuat definisi sendiri masyarakat adat, hak ulayat, kriteria dan pengakuan masyarakat adat.

Klausul ini, kata Henri, berusaha mengisolasi masyarakat adat sebagai obyek agar tak bisa mempertahankan wilayah menghadapi rencana ekspansi perkebunan sawit.

RUU ini tidak mendefinisikan masyarakat adat sebagai pemilik ekosistem yang punya jalinan keterikatan hidup dengan lingkungan termasuk hutan. Mengenai tanah ulayat, disebutkan,  perusahaan harus musyawarah dengan masyarakat hukum adat pemegang hak ulayat guna memperoleh persetujuan mengenai penyerahan tanah dan imbalan.

“Namun tak ada ketentuan mengatur tegas bahwa masyarakat adat dapat menolak atau tak menginginkan lahan untuk dialihkan menjadi areal sawit.”

Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) juga protes Pasal 10 RUU yang tak membahas soal izin usaha perkebunan (IUP) petani karena luas lahan di bawah 25 hektar.

Padahal, menurut Sekretaris Jendral Apkasindo Asmar Arsjad, di lapangan ada petani memiliki lahan 100 hektar, 300 hektar hingga 500 hektar.

 

 Lindungi praktik ilegal

Andi mengatakan,  jika RUU ini disahkan akan menabrak banyak aturan lain bahkan justru melindungi aktivitas ilegal dalam kawasan hutan.

Klausul-klausul dalam RUU mengatur tentang pelepasan kawasan hutan dan pemanfaatan lahan terlantar disinyalir akan jadi pemutihan bagi perusahaan-perusahaan yang kini berada dalam kawasan hutan dan terlindungi dari praktik land banking.

Di Riau, misal ada 2,8 juta hektar kebun sawit ilegal dari total 4,2 juta hektar luas perkebunan sawit.

“Jelas ini lebih untuk memfasilitasi kepentingan asing dan mempertahankan status quo atas dominasi penguasaan lahan di Indonesia,” katanya.

 

Langgar hukum

Ia bertentangan dengan komitmen Presiden Joko Wdodo untuk reforma agraria dan menabrak kebijakan moratorium sawit yang punya dasar lebih rendah, instruksi Presiden.

Selain itu juga bertentangan dengan Inpres No 8/2015 tentang moratorium kawasan hutan mengantisipasi pembukaan lahan baru untuk sawit.

Sisi lain, masalah buruh sawit dinilai lebih krusial sama sekali tak terjawab dengan RUU ini seperti jaminan hak kesehatan, pendidikan bagi anak, pensiun dan lain-lain.

Mengenai isu kebun sawit berkelanjutan pun dipertanyakan oleh koalisi. Sebab, pada-pasal 78 akan mewajibkan sertifikasi bagi usaha perkebunan, dengan cera bertahap lima tahun ke depan.

“Padahal ada ISPO sudah sertifikasi sejak lama. Data Sawit Watch ISPO sekitar 13%, yang lain kemana?” kata Henri.

Hingga Desember 2016, sudah ada 226 perusahaan sawit menerima sertifikat ISPO dengan luas 1.430.105,31 juta hektar dan produksi minyak sawit 6.746.321,93 juta ton.

Hal lain jadi catatan, kata Andi, minim keterlibatan publik dalam pembahasan RUU ini. “Yang diundang pengusaha. Terakhir konsultan. Kementerian Pertanian sebagai pelaku teknis tidak dilibatkan.”

Untuk itu, koalisi menuntut DPR dan pemerintah fokus pada perbaikan tata kelola sawit daripada menimbulkan masalah baru dengan mengesahkan RUU Perkelapasawitan. Perbaikan tata kelola sawit, katanya, bisa dengan penghentian izin baru, kaji ulang legalitas lahan sawit saat ini, dan audit HAM. Juga, penguatan masyarakat terdampak termasuk pekebun rakyat, buruh, masyarakat adat/lokal, serta reformasi kebijakan birokrasi untuk usaha perkebunan sawit berkelanjutan.

 

Tuntutan Koalisi Masyarakat Sipil:
Selain mendesak penghentian pembahasan RUU Perkelapasawitan, koalisi masyarakat sipil juga mengajukan beberapa tuntutan.
Pertama, mendesak pemerintah merevisi UU Perkebunan yang masih banyak mengesampingkan hak masyarakat dan audit semua perusahaan sawit.
Kedua, mendesak Presiden segera mengeluarkan kebijakan tertulis tentang moratorium sawit, mendesak DPR tak membawa ke ranah politik untuk kepentingan Pemilu 2019.
Ketiga, mendesak pemerintah mencabut izin perusahaan yang terbukti membakar lahan dan hutan.Keempat, mendesak pemerintah meningkatkan potensi pangan sebagai sumber kehidupan dan peningkatan ekonomi masyarakat.
Kelima, mendesak pemerintah dan DPR tak berlebihan melindungi pelaku usaha sektor ini.
Keenam, mendesak pemerintah segera menyelesaikan konflik sosial yang terjadi di perkebunan sawit.
Ketujuh, mendesak pemerintah menolak inisitiaf DPR melanjutkan pembahasan RUU ini. DPR dan pemerintah harus memaksimalkan aturan yang ada. DPR bisa melakukan dua fungsi lain, yakni fungsi budgeting dengan bikin program lebih bermanfaat untuk petani, tak hanya sawit juga kakao, kopi dan komoditas lain yang memiliki potensi.
Kedelapan, DPR harus fokus pada RUU lain yang lebih krusial seperti RUU Masyarakat Hukum Adat, RUU Konservasi Sumber Daya Alam, dan revisi UU Perkebunan.
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , , ,