Perjalanan Panjang Gurita Beku dari Makassar ke Jepang, Seperti Apa?

Terobosan ekspor produk perikanan coba dilakukan Indonesia. Setelah sebelumnya produk yang dikirim merupakan produk yang biasa diekspor, pada pekan lalu kebiasaan tersebut diubah. Tepat di waktu tersebut, untuk pertama kali Indonesia mengirim produk olahan dari gurita yang dibekukan ke Jepang. Tak tanggung-tanggung, jumlahnya mencapai 30 ton.

Jika tak tahu apa itu gurita, dia adalah hewan moluska yang masuk dalam kelompok kaki hewan terletak di kepala (Cephalopoda). Gurita dikenal sebagai hewan ordo Octopoda yang menjadikan terumbu karang di samudra sebagai habitat utama.

Di dunia, gurita diketahui memiliki 289 spesies yang mencakup sepertiga dari total spesies kelas Cephalopoda. Sebagai hewan laut yang unik, gurita menjadi santapan yang enak di sejumlah negara. Tentu saja, prosesnya dilakukan melalui olahan terlebih dulu.

 

 

Di Jepang, gurita sudah dikenal sebagai makanan yang lezat. Beberapa spesies hewan tersebut, diketahui juga menjadi favorit santapan bagi warga di sejumlah negara. Olahan makanan dari gurita biasanya diambil dari bagian dan berbagai bagian tubuh lainnya.

Selain Jepang, penduduk negara lain yang diketahui mengonsumsi gurita sebagai olahan makanan, adalah negara-negara Mediterania, Meksiko. Di Jepang, gurita digunakan untuk olahan berbagai bahan utama makanan, seperti sushi, tempura, takoyaki dan akashiyaki.

Atas dasar itu, Indonesia yang memiliki sumber daya gurita melimpah, memutuskan untuk mengekspor produk olahan gurita ke Jepang. Menurut Direktur Jenderal Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Kementerian Kelautan dan Perikanan Nilanto Perbowo, ekspor yang dilakukan tersebut adalah ekspor perdana alias pertamakali.

“Ekspor tersebut dilaksanakan PT Perikanan Nusantara (Perinus) di Makassar dan langsung dikirim ke pelabuhan di Prefektur Ibaraki,” ungkap dia, pecan kemarin, di Jakarta.

Setelah sukses melaksanakan ekspor perdana tersebut, Nilanto berjanji, berikutnya akan ada lagi ekspor gurita yang lain ke Jepang. Targetnya, untuk 2017, ekspor produk olahan Gurita beku sedikitnya bisa dikirim sebanyak 1.000 ton.

Nilanto kemudian mengatakan, dilaksanakannya ekspor Gurita, tidak lain sebagai tindak lanjut dari kerja sama yang dijalin Indonesia dengan Negeri Matahari Terbit tersebut melalui Japan International Cooperation Agency (JICA). Untuk melaksanakan kegiatan tersebut, Pemerintah Indonesia menunjuk sejumlah badan usaha milik negara (BUMN), salah satunya adalah PT Perinus.

“Jadi, PT Perinus ini ditunjuk oleh KKP untuk mengelola instalasi pengolahan gurita beku hibah dari JICA,” tutur dia.

 

Coconut Octopus alias Gurita Kelapa, menjadi salah satu satwa eksotis yang dapat ditemui di Manado Bay. Foto : Wisuda

 

Nilanto mengungkapkan, sebagai operator, PT Perinus berhasil mengolah gurita beku dengan kualitas ekspor. Olahan tersebut kemudian dikirim ke Ajirushi Company di Jepang, perusahan swasta yang ditunjuk JICA dalam kerjasama pengolahan gurita dengan KKP.

“Kami berharap PT Perinus dapat memanfaatkan alat pengolahan gurita bantuan JICA untuk peningkatan kualitas dan nilai tambah produk gurita yang ada di Sulawesi Selatan khususnya, serta Indonesia pada umumnya,” ujar dia.

Nilanto menyatakan, Ditjen PDSPKP akan terus bekerja sama dan melakukan pembinaan terhadap PT Perinus dalam pelaksanaan ekspor olahan gurita beku ini. Selain itu, pihaknya juga akan melakukan pembinaan kepada nelayan agar dapat menghasilkan tangkapan gurita yang banyak, dengan tetap menjaga keberlanjutannya.

Selain itu, Nilanto berjanji pihaknya juga akan mendampingi dan membina nelayan  dalam menangani hasil tangkapan, sejak penangkapan hingga proses pengolahan.

“Hal ini tentu sangat penting untuk menjaga mutu gurita sebagai salah satu komoditas ekspor, yang kita harapkan bisa menjadi salah satu andalan ekspor Indonesia ke depannya,” pungkas dia.

 

Warga yang mencari gurita di malam hari. Foto: Junaidi Hanafiah

 

Konsumsi Rendah

Di sisi lain, meski Indonesia kelimpahan produksi perikanan dan kelautan, faktanya hingga saat ini minat masyarakat untuk mengonsumsi ikan masih rendah. Padahal, KKP mencatat, potensi sumber daya ikan saat ini sudah mencapai 9,9 juta ton. Selain itu, potensi luas lahan budidaya juga mencapai 83,6 juta hektare.

Menurut Nilanto, ikan sebagai sumber protein sangat relevan untuk mendukung program prioritas Pemerintah dalam rangka meningkatkan kualitas hidup masyarakat Indonesia. Selain itu, ikan juga meningkatkan kemandirian ekonomi masyarakat berbasis pada kelautan dan perikanan.

“Jika konsumsi ikan nasional meningkat, ini dapat menjadi penghela industri perikanan nasional. Ini juga dapat meningkatkan produktivitas masyarakat dan mewujudkan kemandirian ekonomi untuk mendukung percepatan pembangunan industri perikanan nasional,” ungkap dia.

Kepala Staf Presiden Teten Masduki mengatakan, melihat masih kurangnya minat masyarakat dalam mengonsumsi ikan, Indonesia menargetkan pada 2019 konsumsi ikan di masyarakat sudah mencapai 54 kg per kapita. Target itu, terutama dibebankan kepada masyarakat di Pulau Jawa yang masih sangat rendah konsumsi ikan.

“Di Jawa konsumsi ikan masih 32 kg per kapita, kalau di Sumatera dan Kalimantan jauh lebih baik, antara 32 sampai 43 kg per kapita per tahun. Di (Indonesia bagian) Timur 40 kg per tahun. Jadi kita sudah tahu di mana kampanye gerakan makan ikan ini harus ditingkatkan,” papar dia.

Untuk bisa mewujudkan target Pemerintah Pusat, salah satu cara yang bisa dilakukan adalah dengan merangkul ibu-ibu rumah tangga. Hal itu diusulkan Sekretaris Jenderal KKP Rifky Effendi Hardijanto.

 

Suasana pengolahan ikan di Pelabuhan Perikanan Nizam Zachman Muara Baru, Jakarta Utara pada November 2016. Foto : Junaidi Hanafiah

 

Menurut dia, ibu rumah tangga dalam keseharian selalu memegang peranan penting dalam memilih dan mengolah bahan makanan yang akan disajikan sebagai bahan santapan keluarga. Karena itu, dia meminta ibu-ibu rumah tangga di seluruh Indonesia untuk mengurangi konsumsi makanan berbahan dasar impor.

“Kita mengajak ibu-ibu untuk menyajikan menu makanan ikan di rumahnya. Tahu misalnya, perlu kita kurangi karena itu komponen impornya 99 persen. Makan kecap, kecap itu juga impor. Jadi budaya ini harus kita mulai dari ibu-ibu,” kata dia..

Selain mengonsumi ikan, Rifky mengajak ibu-ibu rumah tangga untuk bisa kreatif mengolah makanan dari bahan ikan. Dengan demikian, anggota keluarga yang mengonsumsi ikan tidak akan merasa bosan dan justru akan semakin tinggi minatnya.

“Mari kita ciptakan menu-menu baru. Ikan itu kalau di rumah biasanya hanya digoreng, maka ayo kita ciptakan menu-menu baru yang membuat resep ikan bervariasi. Di Jambi dan Riau misalnya, itu masakan ikan variannya luar biasa, juga di Lubuk Linggau, Bengkulu, Palembang,” imbuh dia.

Menurut Rifky, kreasi seperti itu yang perlu didorong di Pulau Jawa yang konsumsi ikannya paling rendah, di mana hampir 60% atau 250 juta  penduduk Indonesia berada.

“Pemerintah daerah juga diharapkan secara rutin datangkan ahli gizi ke sekolah-sekolah. Ajarkan manfaat dan pengolahan ikan-ikan, boleh lele, bandeng, patin, nila, atau ikan mas, atau boleh apa saja, yang penting ikan,” tandas Rifky.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,