Hidup Orangutan Memang di Hutan, Akan Tetapi…

 

 

Ketika anak-anak yatim piatu ini besar, mereka akan liar kembali. Saat itulah waktu terbaik memulangkan mereka, ke rumah aslinya hutan belantara. Mereka adalah Justin, Ung, Robert, Reckie, Tree, dan Heli yang dirawat dan dibesarkan di Yayasan Borneo Orangutan Survival (BOSF) Samboja Lestari.

Walau datangnya tak bersamaan, keenam anak itu tumbuh bersama. Tidak lagi sendiri dan tidak tersesat. “Mereka sekolah seperti manusia, belajar hidup mandiri, membuat sarang sendiri dan menguatkan jari-jari tangan serta kaki untuk bergelantungan,” tutur CEO BOS Foundation, Jamartin Sihite, ketika mempersiapkan pelepasliaran enam individu orangutan tersebut ke Hutan Kehje Sewen, Kutai Timur, Kalimantan Timur.

Berangkat melalu jalur darat dari Samboja Lestari, Kutai Kartanegara, menuju Hutan Kehje Sewen, Jamartin memercayakan komando di tangan salah satu Srikandi Yayasan BOS, Rika Safira. Masing-masing orangutan dimasukkan kandang beratap dedaunan dan diangkut menggunakan tiga mobil bak terbuka.

Selama di perjalanan, tim pelepasliaran mengikuti protokol ketat selama perjalanan 20 jam itu. Berhenti setiap dua jam untuk memeriksa kondisi orangutan dan memberi makan dan minum. Dokter hewan, Desi Chrisnawaty, selalu memantau kesehatan enam orangutan tersebut.

“Beginilah pelepasliaran orangutan, perjalanan tanpa henti dan tidak boleh setop kecuali saat makan dan periksa kesehatan dua jam sekali. Makanannya pisang dan minumnya susu serta air kesehatan. Mereka akrab dengan para teknisi, karena mereka yang mengurus makan dan minum orangutan sejak kecil,” katanya.

 

Justin, orangutan yang dilepasliarkan di Kehje Sewen. Foto: BOSF – RHOI/Rika Safira

 

Tepat pukul 03.00 Wita dini hari di penghujung April itu, tim langsung menuju Hutan Kehje Sewen. Di pos pemberhentian pertama, semua kandang diturunkan lalu diangkut menggunakan jasa porter dan diseberangkan menggunakan kapal ketinting. Di seberang sungai, dua mobil bak terbuka telah menanti.

Masing-masing mobil membawa tiga kandang, langsung menuju area pelepasliaran. Sementara tim, harus berjalan menuruni bukit dan menyeberang sungai, dilanjut berjalan kaki sekitar tiga kilometer.

Mobil yang mengangkut kandang adalah mobil tua dengan mesin kuat. Dimodifikasi khusus, dengan ban besar. “Saya lebih suka begini, buat apa beli mahal-mahal kalau di hutan tidak bisa dipakai. Biar tua, yang penting kuat di segala medan,” ujar Jamartin kepada Mongabay Indonesia.

Selama berjalan kaki, Jamartin mengatakan, semangat pelepasliaran orangutan tidak boleh surut. Semua staf yang ikut, anak-anak muda. Bahkan komando pelepasliaran kerap dipimpin perempuan. “Di BOSF itu banyak srikandi, mereka bisa memimpin pelepasliaran. Saya hanya ikut, tidak ada campur tangan.”

Banyak yang bertanya mengapa lokasi pelepasliaran orangutan itu jauh dan terpencil. Medan yang ditempuh juga sulit dijangkau. “Saya katakan, buat apa dilepasliarkan kalau masih berdekatan dengan aktivitas manusia. Tidak ada yang menjamin, ancaman konflik pasti ada. Apalagi orangutan yang dibesarkan di tempat rehabilitasi, mereka akan mengira manusia adalah teman,” jelasnya.

 

Rumah orangutan adalah hutan. Akan tetapi, saat ini hutan yang dibuka untuk berbagai kepentingan membuat kehidupan orangutan terdesak. Foto: Yovanda

 

Antrian

Saat ini, kata Jamartin, total orangutan yang direhabilitasi oleh BOSF, di Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah, ada sekitar 700 individu. Semuanya datang karena mengalami konflik dengan manusia, akibat habitatnya rusak.

“Ketika datang kondisinya tidak ada yang sehat. Ada yang trauma, ada yang tulang jari dan kakinya patah hingga harus diamputasi. Ada juga yang buta karena peluru, kalau dibayangkan sedih rasanya. Karena itu kami harus berhati-hati, masuk rehabilitasi pun mereka harus ditangani intensif. Karena trauma dengan manusia” ungkapnya.

Bagi Jamartin, para teknisi, perawat dan dokter hewan yang ada di BOSF harus menguasai ilmu pendekatan khusus. Pasalnya, setelah mengalami trauma, orangutan harus bersusah payah membangun kepercayaannya lagi terhadap manusia. “Semua butuh waktu dan kesabaran.”

Hutan Kehje Sewen yang terbatas, membuat Jamartin berpikir keras akan nasib orangutan yang belum dilepasliarkan. Puluhan hektare hutan yang ada, dirasa masih kurang untuk menampung ratusan orang utan yang berada di kandang rehabilitasi. “Nanti, satu blok kandang orangutan yang ada di Samboja Lestari akan saya hancurkan. Orangutannya mau saya lepasliarkan. Sudah melebihi kapasitas, yang antri banyak. Sebaliknya di Kehje Sewen, saya akan berjuang menambah hutan. Saya harus dapatkan hutan lagi, untuk semua orangutan. Saat ini saya memang tidak punya uang, tapi saya akan cari demi orangutan,” tegasnya.

Jamartin berharap, suatu hari nanti tidak ada lagi pusat rehabilitasi orangutan. Semua orangutan berkembang di rumahnya sendiri, hutan. “Saya berharap kita semua berusaha mengurangi pemakaian kertas yang dibuat dari pohon. Kita juga harus kurangi energi listrik dari batubara. Upayakan terus menjaga hutan, kita jaga apa yang menjadi milik, kita berikan hak-hak semua orangutan yang memang tinggalnya di hutan,” pungkasnya.

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,