Pertahankan Wilayah Adat, Warga Seko Kena Vonis Tujuh Bulan

 

 

Palu hakim menghentak keras. Memutuskan Amisandi kena tujuh bulan penjara di Pengadilan Negeri Masamba, Kabupaten Luwu Utara Sulawesi Selatan, Senin (22/5/17).

Pria 39 tahun ini berbicara dengan tim pengacara sebentar, lalu kembali duduk menghadap hakim. Dia meminta waktu tujuh hari memikirkan matang, apakah akan banding atau menerima putusan.

Ya, Amisandi dinyatakan bersalah karena menyebarkan ancaman dan membuat karyawan PT Seko Power Prima, ketakutan, sesuai Pasal 335 ayat 1 KUH Pidana, Jo. Pasal 55 ayat 1. Pembacaan putusan sekitar pukul 13.45, berakhir satu setengah jam.

 Baca juga: Konflik PLTA Seko, Mau Dialog Malah Ditangkap

Persidangan dipimpin hakim ketua Alfian. Dibantu dua hakim anggota, masing-masing Abraham Yoseph Titapasanea dan M.Syarif S. Disaksikan dua orang Jaksa Penuntut Umum dan tim pengacara dari Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat (PPMAN) sebagai kuasa hukum Amisandi.

Pembacaan dokumen putusan dilakukan bergantian. Amisandi mendengarkan dengan tenang dan sedikit menunduk. Berompi orange dan sendal kulit. Ruang sidang utama itu, dihadiri puluhan orang.

Sekjen AMAN, Rukka Sambolinggi ikut hadir. Ada pula perwakilan Perkumpulan Wallacea organisasi non profit di Luwu dan beberapa perwakilan mahasiswa.

“Kita tidak tahu ya apa pertimbangan hakim. Padahal, seharusnya saya bebas,” kata Amisandi.

“Hukuman seperti ini, tidak akan buat semangat menyusut. Saya dan warga akan terus berjuang dan menentang pembangunan PLTA itu.”

“Itu tanah leluhur kami. Kami besar dan mencari hidup di tempat itu. Bagaimana mungkin masyarakat ada, kalau tanah sudah dimiliki oleh perusahaan. Tidak ada lagi orang Seko,”

Minggu malam, di Rutan Masamba, Amisandi bersama 24 orang tahanan lain dalam sel nomer 11 D, memikirkan dengan tenang kasus yang membelitnya.

Dia menceritakan, keadaan malam itu sesaat sebelum sidang pembacaan putusan. “Saya tenang. Saya yakin, hakim akan memutuskan dengan baik. Karena tak ada bukti kuat. Kalau hakim pakai hati dan benar-benar menelaah kasus ini dengan baik, tidak akan menemukan kesalahan,” katanya.

Bagi dia, selama masa penahanan, sejak 9 Januari 2017, hingga pemeriksaan saksi Mei 2017, fakta persidangan berbicara lain.

Keterangan saksi dan berita acara pemeriksaan (BAP) kepolisian bertolak belakang. Aris Tejang, misal, saksi pelapor tak merasa terancam dan takut.

“Aris Tejang bahkan tak tahu kalau dia pelapor dalam masalah ini. Dia hanya disuruh perusahaan (Seko Power Prima),” kata Nurasari, pengacara PPMAN.

“Jika sudah begini, mau bilang apa lagi. Ini jelas upaya kriminalisasi.”

Nursari disapa Sady, mencoba merunut proses kriminalisasi Amisandi. Sejak awal, mulai penangkapan, hingga putusan bak peradilan sesat.

“Putusan ini seperti putusan imajiner. Hakim tak memberikan pertimbangan matang. Maka sejak awal kami (PPMAN) mengajukan praperadilan, karena ada gelagat salah dalam proses awal,” katanya.

“Saya tahu teman-teman bekerja dengan baik. Saya bersyukur dan tahu kalau kami (warga Seko) tidak sendiri dalam kasus ini. Ada orang peduli. Saya sendiri makin kuat,” kata Amisandi, usai sidang.

Sebelumnya, 13 warga Seko sudah vonis masing-masing tujuh bulan. Jaksa banding, masih proses hukum hingga kini. Ke-13 warga Seko, dituntut dengan pasal pengancaman dan perusakan alat Seko Power Prima.

Saya pernah bertemu semua warga Seko yang ditahan. Mereka para pejuang tanah adat yang jadi garda terdepan dalam menolak pembangunan PLTA Pohoneang dan Pohayaang. Penolakan mereka, berbuah kurungan penjara,  perusahaan terus berjalan.

Rukka Sambolinggi, Sekjen AMAN, mengatakan, putusan ini menambah daftar kriminalisasi masayarakat adat. Saat ini, Amisandi dihukum tujuh bulan oleh Pengadilan Masamba. Sebelumnya itu 13 warga Seko. Lalu, 26 April 2016, Trisno dari Meratus, Kalimantan Selatan juga dihukum empat tahun penjara. Dirman dari Huta Tungko Nisolu Sumatera Utara, dituntut 10 bulan penjara oleh Pengadilan Balige.

Di sel tunggu–bagian belakang gedung PN Masamba–, Amisandi membuka rompi tahanan. Dia bersama tahanan naik ke mobil menuju Rutan Masamba.

 

Alat berat PT Seko Power Prima, sedang bekerja. Foto: Eko Rusdianto

 

 

***

“Setiap sidang saya datang. Saya juga selalu ke Rutan,” kata Misnawati. Perempuan 30 tahun ini keponakan Amisandi.

Saya menyaksikan mereka berbagi cerita diantara terali besi. Amisandi mengusap rambut dan sesekali memegang lengan Mirawati. “Semoga om cepat bebas,” kata Mirawati seraya menggendong anaknya.

Amisandi, sehari-hari bertani. Dia menghidupi keluarga dengan mengolah beberapa petak kebun kakao dan kopi. Pada Agustus 2016, istrinya meninggal dunia. Dia memiliki tiga orang anak, si sulung perempuan usia sembilan tahun, dua lak-laki masing-masing Kasum dan Junior. Mereka ini bersama neneknya di Toraja Utara.

Baca juga: Kala Protes PLTA, Belasan Warga Seko Ditangkap

Ketika Amisandi ditahan Januari hingga menjelang lima bulan pada akhir Mei, dia meminta kesempatan kepada petugas Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Masamba sekadar menelpon dan berbagi kerinduan. “Anak saya yang sembilan tahun sudah cerewet. Selalu bilang, kalau rindu,” katanya.

“Jadi saya bilang, bapak masih banyak urusan. Masih kerja kebun. Jadi belum sempat jenguk.” “Jadi mereka (anak-anak Amisandi-red) tahu kalau saya di Seko. Bukan di tahanan. Mereka masih kecil, jangan sampai mereka sedih.”

Bagi Amisandi, berjuang untuk tanah adat di Seko bukan perbuatan tercela. Kelak, katanya, anak-anak akan tahu kalau ayahnya pernah di penjara, bukan sebagai pencuri dan penjahat yang buat malu.

“Saya berjuang untuk anak juga. Saya punya kewajiban bertahan. Anak punya hak tetap menyaksikan tanah leluhur besok masih ada. Itu saja.”

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , ,