Bangsa yang telah Berkhianat kepada Sungainya

Bangsa Indonesia, seperti bangsa-bangsa besar lainnya, adalah bangsa yang lahir dan tumbuh dari budaya maritim dan peradaban sungai. Sejarah mencatat bahwa pusat-pusat permukiman nenek moyang bangsa Indonesia berkembang dan bermula lewat jalur sungai. Namun ironisnya, saat ini kita malah menjumpai sungai-sungai yang berada dalam kondisi kritis.

Sebagai bangsa yang pernah memuliakan sungai, dapat dikatakan sekarang kita telah berkhianat dengan menjadikan sungai sebagai tempat pembuangan berbagai macam sampah dan limbah.

Paradigma pembangunan berbasis infrastruktur darat dan fasilitas jalan yang dibawa sejak era kolonialisme dan berlanjut saat ini telah membuat kita lupa akan sejarah kearifan lokal yang diwariskan oleh nenek moyang. Sungai serta merta ditinggalkan sebagai akses dan media transportasi serta sumber penghidupan.

Sungai juga sudah tidak lagi dianggap sebagai sumber air bersih yang mampu memberi suplai air minum kepada warganya.

Saat ini, dari 5.590 sungai utama, dan 65.017 anak sungai dalam seluruh wilayah DAS di Indonesia yang mencakup total 1.512.466 km2, pemantauan kualitas air Kementerian Lingkungan Hidup menyebut dari 51 sungai utama, maka 62,74% masuk kategori tercemar berat, 31,37% tercemar sedang-berat, dan 3,92% tercemar.

Baca juga: Mengapa Indonesia Masuk Salah Satu Daftar Pembuang Sampah Plastik Terbanyak ke Laut?

Permasalahan wilayah sungai itu tentu tak lepas dari tata kelola dan perilaku manusia terhadap sungai. Tak jarang terlihat berbagai kebijakan yang dilakukan bersifat sector interest. Tidak pernah memikirkan kepada kepentingan bersama. Hasilnya pengelolaan sungai dan DAS malah saling bertabrakan.

Pengelolaan DAS, tidak lagi melihat dan memprioritaskan sungai sebagai sumberdaya bersama (common pool resource) yang istimewa, yang memerlukan integrasi dan koordinasi yang kuat yang pada akhirnya pengelolaannya dapat bermanfaat untuk semua pengguna.

Pun, pembangunan dan pemanfaatan sungai selama ini seringkali semata dilakukan dengan pendekatan pembangunan fisik, ranah rekayasa hidro murni, pada badan sungai dan daerah aliran sungai yang meniru cara negara maju lain berabad lalu. Padahal ragam praktik ini telah lama ditinggalkan mereka, belajar dari berbagai pengalaman panjang yang mereka dilalui.

Untuk itu sudah waktunya paradigma pengelolaan DAS berubah dengan menekankan pendekatan atas manusia dan ruang hidupnya. Dalam kajian-kajian yang dilakukan, konsep DAS harus memperhatikan kesatuan ruang hidup ekologis yang berada dari kawasan hulu hingga kehilirnya, mencakup berbagai konservasi air dan ekosistemnya yang tinggi.

 

Petugas kebersihan Kota Surabaya saat membersihkan sampah plastik yang tersangkut di rumah pompa Wonorejo, Kali Surabaya. Foto: Petrus Riski

 

Sinergitas Pengelolaan Hulu-Hilir

Pengelolaan DAS Ciliwung merupakan studi kasus yang menarik dalam pengelolaan DAS hulu-hilir. Sungai  yang cukup populer dikala musim hujan datang ini membentang sepanjang 120 km dari Gunung Gede Pangrango hingga Kepulauan Seribu. Secara administratif juga melewati Kabupaten Bogor, Kota Bogor, Kota Depok di Jawa Barat dan wilayah DKI Jakarta

Di aliran Ciliwung, tiap-tiap wilayah administratif memiliki kebijakan masing-masing terkait dengan pengelolaan DAS. Akibatnya, problem yang seringkali muncul adalah persoalan banjir yang melanda sebagian besar kawasan Ibukota Jakarta kala musim hujan. Penegakan hukum lewat berbagai aturan dan regulasi, pun seakan tumpul.

Ambilah contoh persoalan tata ruang yang terjadi di kawasan hulu. Di penghujung tahun 2013 Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor dengan didukung bantuan dana oleh Pemerintah DKI Jakarta telah melakukan sinergi lewat pembongkaran vila-vila liar di tanah-tanah Negara di Kawasan Puncak, Kabupaten Bogor.

Pembongkaran saat itu yang berdimensi masif, dianggap sebagai berita “luar biasa”, karena untuk pertamakalinya pemerintah dianggap berani untuk membongkar vila-vila yang banyak dimiliki oleh para elit berpengaruh di negeri ini.

Namun, sayangnya pengelolaan kawasan sungai di kawasan Puncak tidak berlanjut pasca pembongkaran. Aksi pembongkaran vila pun seakan terkesan tebang pilih untuk menunjukkan kepada publik bahwa pemerintah hadir dalam persoalan DAS. Adapun yang terjadi selanjutnya, vila-vila kembali dibangun di lokasi yang telah dibongkar.

Pemerintah pun seakan “kalah” dengan persoalan klasik, bahwa vila merupakan denyut perekonomian masyarakat kawasan Puncak, tempat banyak warga menggantungkan hidup sebagai penunggu vila, penyedia jasa ojek dan jasa rekreasional lainnya.

 

Perubahan Penggunaan Lahan Kawasan Puncak 1990-2012. Sumber: Ernan Rustiadi/ P4W IPB. Klik pada gambar untuk memperbesar

 

Dalam kasus itu, pendekatan yang dilakukan tampak tidak menyeluruh dalam menyelesaikan persoalan. Dimensi persoalan tak cukup hanya selesai sebatas tindak penegakan hukum, namun harusnya lebih luas turut mencakup partisipasi dari para pemangku kepentingan di pemerintahan eksekutif dan legislatif, termasuk menggandeng kelompok-kelompok masyarakat yang peduli dan aktif selama ini dalam menyuarakan penyelamatan DAS.

Untuk itu, pemerintah dan komponen masyarakat harus datang dalam mewujudkan “one river one management”. Strategi yang dibangun pun harus didukung oleh politik anggaran yang memadai di tingkat parlemen sehingga konsep yang dihasilkan tidak menjadi sekedar konsep yang bagus di atas kertas.

Dalam implementasi kerja, perlu dipikirkan kompensasi skema Payments for Environmental Services (PES) multi years untuk diberlakukan oleh wilayah hilir Jakarta kepada Kabupaten Bogor agar berkontribusi dalam program penanganan banjir dan restorasi ekologi kawasan. Sebaliknya, Kabupaten Bogor sebagai wilayah hulu pun, harus berorientasi aktif untuk mencari solusi perekonomian warga di wilayah hulu yang tidak lagi tergantung kepada sumber-sumber ekonomi yang merusak dan mencemari sungai.

Pembangunan kota pun harus diarahkan pada penciptaan zona water front city. Pemukiman harus mengarah kepada badan sungai. Sungai harus menjadi tampak muka dari peradaban kota. Sungai dan pemandangan ke arah badan sungai dapat dijadikan zona untuk berkumpul masyarakat (public space). Sungai pun harus dikembalikan kepada kodratnya sebagai satu ekologis ruang manusia.

Setidaknya apa yang telah dilakukan oleh Pemkot Bogor lewat pembangunan taman di pinggir sungai (dan restorasi jalur lari sebagai ruang publik di lingkar kebun raya) dapat disebut titik awal yang baik dalam mendekatkan kembali masyarakat kepada habitat alami sungai.

Hal serupa juga tampak dengan momen kegiatan mulung sampah di Sungai Ciliwung, yang melibatkan partisipasi ribuan warga kota khususnya yang wilayahnya terlewati aliran Ciliwung, yang dilakukan setiap tahunnya dalam menyambut hari ulang tahun Kota Bogor.

Contoh di atas adalah upaya yang tak lepas dari cara merubah perilaku, budaya, gaya hidup masyarakat lewat proses penyadaran dan edukasi. Kedepan, berbagai inisiatif dan model pengelolaan sungai yang muncul dari masyarakat perlu difasilitasi sehingga pada akhirnya berdampak pada pengelolaan lingkungan mandiri yang baik.

Namun hal tersebut tidaklah cukup. Sebagai bentuk sumberdaya bersama DAS harus dikelola dengan azas bermanfaat bagi semua. Untuk itu, pemerintah harus serius, termasuk kembali untuk mengevaluasi efektivitas berbagai kebijakan dan tindak pengelolaan terkait DAS dan tata ruang pemanfaatan sungai yang telah dikeluarkan hingga saat ini.

 

* Febri Sastiviani Putri Cantika, penulis adalah Peneliti di Pusat Pengkajian Perencanaan dan Pengembangan Wilayah Institut Pertanian Bogor (P4W-IPB). Relawan Komunitas Peduli Ciliwung (KPC) Bogor. Artikel ini merupakan opini penulis.

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,