Perambahan Hingga Kurangnya Sinergi Stakeholder, Permasalahan Primata di Gunung Tilu

Hutan di kawasan Cagar Alam Gunung Tilu, Kabupaten Bandung, Jawa Barat masih cukup asri sebagai sebuah kawasan konservasi. Fungsi hidrolis dan fungsi biosfer merupakan hal paling mendasar dari keberadaan hutan. Tidak hanya itu, kelestarian hutan bisa dianggap sebagai tolok ukur keseimbangan lingkungan.

Selama 1 dekade terakhir, di hutan seluas 7400 hektare sudah jadi “langganan” pelepasliraan primata endemik Jawa Barat–seperti owa jawa, lutung jawa dan surili. Primata – primata tersebut merupakan hasil dari karantina dan rehabilitasi yang dilakukan oleh The Aspinall Foundation bekerjasama dengan Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Jawa Barat.

Pada tanggal 17 Mei 2017 lalu, 4 ekor owa jawa (Hylobates moloch) kembali ke habitat alaminya setelah melewati serangkaian proses yang cukup panjang. Menurut data dari Aspinall, keempat owa jawa tersebut telah dinyatakan sehat dengan ciri telah menyukai pakan alami dan agresif terhadap kehadiran manusia.

(baca : Owa Jawa, Primata Setia dari Tatar Sunda)

 

 

Setidaknya perlu waktu 2 tahun agar primata paling terancam punah ini dapat kembali ke sifat liarnya setelah lama menjadi satwa peliharaan. Selama proses karantina berlangsung, 4 ekor owa jawa juga telah mengalami masa penjodohan. Nasib baik, Aspinall lantas berhasil memasangkan 2 pasang owa jawa ; Kevin dan Inong serta Ukong dan Aom.

Owa merupakan primata monogami atau hanya setia terhadap satu pasangan saja selama hidupnya. Alhasil, pertumbuhan owa jawa di alam liar pun terbilang sangat lambat. Untuk berkembangbiak, jarak kelahiran anakan pertama hingga anakan selanjutnya diperlukan waktu hingga 4 tahun lamanya supaya dapat beranakpinak kembali.

“Itupun apabila tidak ada gangguan atau si betinanya tidak stress. Biasanya betina yang lebih agresif. Dari penjodohan selama 1 tahun itu, sudah mulai terlihat usaha untuk kawin. Diharapkan si Kevin dan Inong bisa berkembangbiak di habitatnya,” kata Kepala Pusat Rehabilatasi Primata The Aspinal Foundation, Sigit Ibrahim, saat ditemui Mongabay di CA Gunung Tilu.

(baca : Penegakan Hukum Terpadu Mulai Didorong untuk Penanganan Perdagangan Satwa Ilegal. Seperti Apa?)

Indukan owa jawa (Hylobates moloch) menggendong anaknya di Pusat Rehabiltasi Primata The Aspinall Foundation, Ciwidey, Kabupaten Bandung, pada Mei 2017. Owa merupakan primata monogami yangdalam hidupnya hanya setia pada satu pasangan. Sehingga pertumbuhan owa jawa di alam liar sangat lambat. Foto : Donny Iqbal/Mongabay

 

Dia menerangkan, kawasan CA Gunung Tilu masih menjadi prioritas pelepasliran primata endemik. Karena dari beberapa penilaian, memang kawasan itu menujukan kondisi lingkungan yang stabil. Artinya, ketersedian pakan melimpah dan keadaan ekologi di kawasan hutan masih asri.

Sigit mengatakan, tahun 2007 silam telah dilakukan pemetaan kawasan. Langkah tersebut meliputi kajian kawasan, survei  populasi satwa liar serta sosialiasi terhadap masyarakat. Dari hasil pemetaan perdana, ditemukan 43 ekor owa jawa yang tersebar di beberapa blok di CA Gunung Tilu.

“Survei terakhir tahun 2017. Kami telah berhasil melepasliarkan 16 ekor owa jawa selama 2 tahun terakhir. Ditambah 43 ekor owa liar. Jadi diperkirakan populasinya sekitar 59 owa jawa ada di Gunung Tilu,” paparnya.

Data lain menunjukan, di kawasan yang terbagi ke dalam 20 blok tersebut ditemukan 20 kelompok surili dengan tiap kelompok biasanya terdiri dari 5 – 7 ekor. Belum lagi keberadaan lutung jawa yang estimasinya masih belum pasti.

(baca : Akhirnya Owa Jawa Itu Menikmati Kebebasannya di Gunung Tilu)

 

Seekor owa jawa mulai beradaptasi di habitat alaminya saat dilepasliarakan dilepasliarkan di Kawasan Cagar Alam Gunung Tilu, Blok Cikappa, Pangalengan, Kabupaten Bandung, Rabu (17/5/2017). Foto : Donny Iqbal/Mongabay

 

Di habitat alaminya, ketiga primata itu memiliki peran masing – masing dan mempunyai sikap toleransi yang tinggi. Misalnya, dalam satu pohon mereka akan berbagi tempat. Owa memakan buah, surili memakan dedaunan dan lutung jawa akan memakan pucuk. Peran tersebut sangat penting sebagai proses reboisasi hutan secara alami.

Primata endemik Jabar tersebut bersifat aboreal atau menghabiskan seluruh hidupnya di atas pohon. Akibat pembukaan lahan, disinyalir jumlah populasinya terus menurun dari tahun ke tahun.

Sigit mengatakan, kajian kawasan telah dilakukan jauh sebelum proses rehabilitasi dimulai. Tujuannya yaitu memastikan lingkungan pelepasliaran sesuai dengan kriteria. Sejauh ini, ekosistem di Gunung Tilu cukup ideal bagi pelepasliaran primata endemik. Ditemukan juga predator sehingga rantai makanan telah terbangun secara alami.

Agar komprehensif, lanjutnya, data tersebut terus diperbaharui secara berkala. Sekarang, aspek yang paling diutamakan adalah edukasi kepada masyarakat agar muncul ketertarikan untuk peduli terhadap kawasan dan satwa yang hidup didalamnya.

“Yang terpenting adalah pengamanan kawasan bahwa zonasi yang tidak boleh dirambah atau harusnya lestari itu dibiarkan. Minimalnya masyarakat tidak mengganggu kawasan,” kata Sigit.

(baca : Bayi Jantan Owa Jawa Lahir di Amerika Serikat)

 

Petugas membawa 4 ekor owa jawa (Hylobates moloch) untuk dilepasliarkan di Kawasan Cagar Alam Gunung Tilu, Blok Cikappa, Pangalengan, Kabupaten Bandung, Rabu (17/5/2017). Kawasan seluas 7400 hekatare masih menjadi prioritas pelepasliaran primata endik Jawa Barat yang terancam punah. Foto : Donny Iqbal/Mongabay

 

Menjaga Kawasan

Kepala Resort CA Gunung Tilu, Dede Rustandi mengatakan, perambahan kawasan di CA Gunung Tilu masih sering terjadi. Hal tersebut dilatarbelakangi oleh adanya kebutuhan masyarakat yang “haus” akan lahan. Disamping angka pertumbuhan penduduk dan kegiatan ekonomi semakin berkembang.

Selain itu, belum adanya sinergi antar-intansi dan antar-pemangku kepentingan dalam mengelola kawasan hutan menambah kompleksnya permasalahan. Karena itu, diperlukan penanganan yang terintegrasi.

“Sebetulnya di Jawa Barat kawasan Perhutani sudah menjadi hutan lindung semua. Setahu saya sudah tidak boleh lagi ditanam komoditas tanaman semusim seperti palawija. Hanya diperbolehkan menanam tamanan tertentu semisal kopi. Tapi masih saja perambahan itu dilakukan diam – diam,” kata Dede.

Menurut dede, banyak persoalan yang harus dibenahi terutama soal pengamanan kawasan di CA Gunung Tilu. Dia menambahkan, pengawasan kawasan di wilayahnya hanya melibatkan 3 personil saja. Adapun seharusnya, personil polisi kehutanan ideal berjumlah 10 – 20 anggota.

Hal itu penting, karena sebagai bentuk antisipasi akan adanya intervensi dari pihak yang tidak berkepentingan memasuki kawasan. Jelas, kawasan cagar alam semestinya steril dari kehadiran manusia.

“Yang sulit itu menyadarkan manusianya. Disini banyak mata air yang terus mengalir sepajang musim. Bila masyarakat belum menyadari betul dan terus merambah, maka kerugiannya besar sekali pada kehidupan,” katanya.

 

Petugas menggunakan mobil membawa owa jawa untuk dilepasliarkan di Kawasan Cagar Alam Gunung Tilu, Blok Cikappa, Pangalengan, Kabupaten Bandung, Rabu (17/5/2017). Kawasan seluas 7400 hekatare masih menjadi prioritas pelepasliaran primata endik Jawa Barat yang terancam punah. Foto : Donny Iqbal/Mongabay

 

Ancaman

Di lain tempat, Program Manager Conservation International (CI) Indonesia Anton Ario mengatakkan, Kondisi satwa liar yang dilindungi masih mengkhawatirkan. Climate change masih menjadi ancaman bagi keanekaragaman hayati di tingkat global. Ancaman kehilangan habitat, perburuan dan perdagangan masih menjadi masalah klasik bagi keberlangsungan satwa liar di Indonesia.

“Saya meyakini pemerintah berupaya setidaknya mengurangi ancaman-ancaman tersebut. Namun dengan segala keterbatasan tentunya pemerintah perlu berkolaborasi dengan pihak-pihak yang memiliki kepedulian akan kelestarian keanegaraman hayati di Indonesia” kata dia kepada Mongabay.

Hal terpenting lainnya adalah jaminan lokasi pelepasliaran aman dan dapat mendukung keberlangsungan hidup satwa setelah dilepasliarkan. Upaya pemantauan dan pengamanan kawasan tidak terlepas dari langkah konservasi. Karena jangan sampai satwa liar yang telah dilepasliarkan akan kembali ditangkap dan menjadi satwa peliharaan.

Sementara itu, Aspinall juga telah mengirimkan 3 ekor Lutung Jawa sub spesies Jawa Timur hasil penangkaran dari Inggris yang akan dilepasliarkan di Kawasan Hutan Coban Talun, Kota Batu, Malang. Ketiganya, sudah menjalani rehabilitasi dan selanjutnya akan dikembalikan ke habitat asalnya.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,