Ayo, Perangi Perdagangan Satwa Liar Dilindungi di Media Sosial

 

 

Satuan Polisi Hutan Reaksi Cepat (SPORC) Brigade Bekantan Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BPPHLHK) Kalimantan Seksi Wilayah III Pontianak, menggerebek sebuah rumah di Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat, pertengahan Mei 2017. Di dalam rumah di Jalan Sulenco itu, didapati sejumlah satwa liar dilindungi.

Aparat menetapkan HS (22) dan GPR (19), sebagai tersangka. Disita pula barang bukti berupa satu individu elang jawa (Nisaetus bartelsi), satu individu elang brontok (Nisaetus cirrhatus), satu individu elang wallace (Nisaetus nanus), satu ekor kukang, satu ekor kucing hutan (Prionailurus bengalensis), satu anakan elang mati dan 31 bulu elang brontok.

“Kedua tersangka tertangkap tangan mengemas satwa-satwa tersebut ke dalam kardus. Agaknya, satwa tersebut siap dikirim ke pembelinya,” ujar Kepala Seksi Wilayah lll Balai Penegakan Hukum Kalimantan, David Muhammad. Dari pemeriksaan keterangan pelaku, satwa-satwa tersebut didapat dari warga setempat. Mereka menjualnya melalui media sosial dan transaksi tersebut bukan yang pertama.

Kompol Karmel Efendy Tambunan, koordinator pengawas penyidik pegawai negeri sipil Polda Kalimantan Barat menyatakan, telah menahan kedua tersangka. “Penahanan dilakukan Kepolisian, sesuai UU No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya,” kata Efendy.

Kedua tersangka dijerat pasal 21 Ayat (2) huruf a dan atau huruf b dan atau huruf d juncto Pasal 40 ayat (2) UU No 5 Tahun 1990. Penahanan keduanya, disertai dua alat bukti yaitu keterangan saksi dan barang bukti. Kedua tersangka diancam hukuman penjara paling lama lima tahun, dan denda maksimal Rp100 juta.

 

Kucing hutan yang turut diamankan sebagai barang bukti kejahatan satwa liar dilindungi. Foto: Putri Hadrian

 

Komandan Brigade Bekantan Satuan Polisi Hutan Reaksi Cepat, Hari Novianto, menyatakan, kasus ini masih dalam penyidikan. “Jika sudah dinyatakan lengkap, atau P21 akan kita umumkan,” ujarnya. Penyidik masih melakukan pengembangan untuk mengungkap jaringan pelaku penjualan satwa dilindungi secara online itu.

Elang yang disita dilepasliarkan, sedangkan kucing hutan dititiprawatkan di Lembaga Konservasi Sinka Zoo. Untuk kukang diserahkan ke Yayasan Internasional Animal Rescue di Kabupaten Ketapang.

Terungkapnya penjualan satwa dilindungi secara online tersebut bukan merupakan kasus pertama. Pada 2016, SPORC berhasil mengamankan ratusan awetan satwa dilindungi di sebuah toko aksesoris. Pemilik toko berinisial A alias AT ditetapkan sebagai tersangka dengan ancaman lima tahun penjara. Tersangka dikenakan pasal 21 ayat 2 huruf d junto pasal 40 ayat 2 UU Nomor 5 tahun 19990.

Kepala Sub Bidang Humas Polda Kalbar, Ajun Komisaris Polisi Cucu Syaifudin, mengatakan perangkat untuk mengatasi kasus-kasus di media online ditangani tim cyber crime. Tetapi, kata Cucu, peran masyarakat juga sangat dibutuhkan. “Warga harus cerdas mencerna informasi,” katanya.

Tak jarang, terungkapnya kejahatan dunia maya karena laporan warga, khususnya satwa dilindungi. “Makin banyak warga yang mengetahui status konservasi dari satwa tersebut, makin banyak kasus yang bisa diungkap Kepolisian,” tuturnya.

 

Elang yang disitan dari pedagang satwa liar online. Saat ini, pelaku sudah ditahan polisi dengan ancaman UU No 5 Tahun 1990. Foto: Putri Hadrian

 

Media sosial

Edo Pradana Prasitha, Ketua Blogger Pontianak mengatakan, jual beli melalui media online banyak dilirik karena mudah dan murah. “Tak perlu pelayan untuk melayani pembeli, serta tidak membutuhkan modal besar layaknya toko offline. Dengan telepon selular, semua bisa diatur rapi.”

Namun, dia menyayangkan orang-orang yang memanfaatkan media sosial untuk kepentingan negatif. Tidak adanya interaksi langsung antara pembeli dan penjual merupakan salah satu kelemahan transaksi ini. “Tak jarang, penjual menggunakan identitas palsu.”

Edo mengatakan, tidak bisa mengintervensi orang-orang untuk menggunakan media sosialnya untuk kebaikan. “Sulit rasanya mengontrol semua pengguna sosial. Tetapi sebagai pengguna media sosial yang baik, kita harus menjadikan media sosial menjadi tempat berbagi hal-hal positif,” katanya baru-baru ini.

Edo dan beberapa pegiat blog di Pontianak, pada Februari lalu telah mengikuti lokakarya Social Media for Social Good atau #SocMed4SocGood. Lokakarya ini kolaborasi Greeneration Foundation dan Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta. Program ini hadir tidak terlepas dari peran pengguna internet yang semakin meningkat dan pengguna media sosial di Indonesia.

Menurut hasil penelitian Asosiasi Penyelenggara Jaringan Internet Indonesia (APJII) yang dilakukan selama 2016, ditemukan dari 256,2 juta penduduk Indonesia sebanyak 132,7 orang telah terhubung ke internet. Sementara penggunaan media sosial, perusahaan riset dan analisis Inggris, TNS, menyebutkan Indonesia diperingkat ke-3 pengguna Instagram. Data lain menyebutkan, Indonesia merupakan pengguna ke-3 Twitter, dan terbesar ke-4 Facebook.

Dari survei yang dipresentasikan APJII itu, sekitar 86,3 juta orang atau 65 persen dari angkat total pengguna internet tahun ini berada di Pulau Jawa. Begitu pun penggunaan media sosial yang masih didominasi kalangan anak muda perkotaan seperti Jakarta dan beberapa kota besar lainnya di Pulau Jawa. Sementara di daerah dan pulau lain pengguna media sosial relatif rendah, namun memiliki masalah lingkungan akut.

Aksi bersama dicanangkan dalam lokakarya tersebut. Tujuannya, menuju Pontianak bebas sampah 2020, dengan hastag #pontianakbebassampah2020.  Aksi ini juga didukung berbagai komunitas seperti Komunitas Blogger Pontianak, Gerakan Senyum Kapuas, Bank Sampah Rosella, dan Angkuts. Pontianak menjadi kota perdana program #SocMed4SocGood di 2017 ini.

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,