Hari Anti Tambang: Bikin Banyak Masalah, Indonesia Mesti Tinggalkan Industri Pertambangan

 

 

Memperingati Hari Anti Tambang (Hatam), setiap 29 Mei, sejumlah organisasi masyarakat sipil mendesak Pemerintah Indonesia memulai langkah meninggalkan industri pertambangan sebagai tumpuan ekonomi negara. Dari berbagai sisi, tambang jelas lebih banyak menimbulkan kerugian dibanding keuntungan.

Benny Wijaya dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mengatakan,  pertambangan menimbulkan persoalan paling rumit dalam agraria. “Semua protes terkait permasalahan agraria selalu dijawab pemerintah ‘untuk kepentingan negara’ seperti protes pangan tergerus tambang,” katanya di Jakarta, dalam diskusi Jatam.

Benny menyoroti, empat hal menyebabkan tambang makin menghancurkan sumber pangan di Indonesia. Pertama, pemerintah masih sangat bergantung industri ekstraktif yang mengeruk kekayaan alam dan membuat lahan pertanian makin sempit.

Kedua, pengelolaan industri ekstraktif oleh korporasi dengan izin negara, merampas hak-hak masyarakat lokal. Ketiga, marak korupsi sektor agraris, mulai pemberian izin hingga penggunaan aparat negara untuk menghadapi rakyat dalam konflik agraria.

“Ironis, dengan semangat desentralisasi yang mestinya memberi daerah kuasa mengontrol sumber daya alam, malah jadi ajang eksploitasi.”

Keempat, pembangunan infrastruktur untuk pertambangan praktis berimbas pada daerah lain di sekitar wilayah tambang. Terjadi perampasan ruang kelola rakyat secara paksa.

Benny mencontohkan, kasus warga Surokonto Wetan, Kendal, jadi korban tukar guling lahan PT. Semen Indonesia di Rembang. “Itu tanah sudah digarap warga. Tanpa tranparansi, tanpa sosialisasi diambil Perhutani untuk tukar guling.”

Dalam setiap kasus yang didampingi KontraS, pertambangan selalu hadir dari sisi yang ditutupi dari warga. “Kalaupun ada sosialisasi hanya memberitahu tambang masuk, tanpa masyarakat punya pilihan,” kata Rivanlee, mewakili KontraS.

Dari sisi administratif, UU Mineral dan Batubara, kata Bondan Adriyanu dari Greenpeace, lebih berpihak pada pengusaha dan korporasi. Berbagai dampak pertambangan terutama kontaminasi tanah, erosi, keasaman air, longsor dan debu belum jadi pertimbangan.

“Logam berat misal yang masuk UU hanya besi, mangan. Merkuri tak ada,” ucap Benny.

Dengan begitu, kata Bondan, saat dimintai tanggungjawab seringkali perusahaan tambang berdalih merek a tak menyalahi UU. Belum lagi efisiensi batubara, misal untuk pembangkit listrik hanya 30%. “Sisanya dibakar.”

 

Alat berat milik penambang emas ilegal sedang mengeruk Sungai Pamong Besar, Sangir, Solok Selatan. Foto: Vinolia

Data Dirjen Kelistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) juga mencatat nyaris semua desa di Jawa, sudah teraliri listrik. Program 35.000 megawatt gagasan Presiden Joko Widodo, sebagian besar dibangun di Jawa.

“Masyarakat belakangan juga sering mengeluhkan listrik mahal. Jadi listrik ini buat siapa? Murahnya di mana?”

Belakangan, dampak PLTU batubara juga makin parah. Di Jakarta, misal, udara makin pengap diduga karena PLTU terdekat, salah satu di Bekasi nyala 24 jam. PLTU dengan klaim teknologi paling bersih sekalipun, seperti PLTU Jepara tetap menyisakan ISPA bagi masyarakat sekitar.

“Jadi, bersihnya di mana?” tanya Bondan.

Masyarakat pesisir juga kerap jadi sasaran aktivitas hilir tambang batubara. Data Kiara 2016, 18 pesisir  di Indonesia telah jadi tambang. Penambangan dan pembangkit listrik di pesisir pantai Indonesia, cenderung menghilangkan ruang hidup dan mata pencaharian masyarakat pesisir.

“Padahal, penambangan pesisir jelas dilarang,” kata Rosiful Amirudin dari Kiara.

Krimininalisasi warga juga banyak terjadi ketika masyarakat pesisir mempertahankan mata pencaharian mereka. “Perlawanan masyarakat Jepara terhadap tambang pasir besi, misal, membuat dua perempuan dikriminalisasi,” katanya.

 

Lama dan primitif

Tambang batubara di Indonesia termasuk paling lama dan paling primitif. Khalisah Khalid dari Walhi Nasional mengatakan, tak hanya soal usia, praktik pertambangan seringkali merampas tanah-tanah rakyat, daya rusak besar, dan akrab dengan polusi dan pencemaran.

Narasi paling buruk dari tambang batubara di Indonesia yakni 27 anak meninggal di lubang-lubang tambang perusahaan di Kalimantan Timur.

“Padahal kewajiban jelas, ada jaminan reklamasi, dana pasca tambang. Perusahaan wajib menutup lubang tambang,” kata Alin, panggilan akrabnya.

Laporan 81 perusahaan ke Dinas Pertambangan Kaltim, hingga Desember 2016, ada 314 lubang bekas tambang batubara. Temuan Dinas Pertambangan dua kali lipat. Hingga Agustus lalu, ada 632 lubang tambang diperoleh dari pemotretan dari udara lewat satelit Landsat.

Bekas tambang terbanyak di Kutai Kartanegara, ada 264 lubang. Di Samarinda, 164 lubang, Kutai Timur 86, Paser 46, Kutai Barat 36, Berau 24, dan Penajam Paser Utara, satu lubang.

 

 

Alasan pembangunan sering menjadi argumen pro tambang, kata Alin, berbanding terbalik dengan tujuan pembangunan untuk meningkatkan perekonomian.

“Biaya lingkungan, kesehatan tak pernah dihitung dalam politik anggaran. Argumentasi pertumbuhan ekonomi terbantahkan dengan kerugian dampak tambang.”

Pada sisa masa pemerintahan Jokowi, katanya, mestinya presiden gunakan waktu untuk perbaikan, evaluasi dan melihat alternatif ekonomi selain industri ekstraktif.

Senada dengan Alin, Ki Bagus Hadikusuma dari Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) mengataka,n momen Hatam jadi waktu tepat bagi Presiden membuktikan apa yang disampaikan pada korban lumpur Lapindo dua tahun silam.

“Tepat Hatam dua tahun lalu presiden mengatakan negara harus hadir untuk warga semburan lumpur Lapindo. Kini, sudah 11 tahun lumpur Lapindo, di mana negara?” katanya.

 

Pertanian warga sangat subur walau di musim kemarau. Mereka tinggal di kaki Pegunungan Kendeng yang berlimpah air. Kawasan ini terancam tambang dan pabrik semen. Foto: Tommy Apriando

 

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , , ,