Kisah Unik Pasangan Disabilitas Menjaga Penyu di Pulau Cangke

Pulau Cangke adalah sebuah pulau kecil dan indah. Salah satu dari 115 pulau kecil yang berada di Kabupaten Kepulauan Pangkejene Kepulauan, Sulawesi Selatan. Banyak cerita menarik di pulau yang tak begitu luas ini. Termasuk kisah sepasang suami istri penyandang disabilitas, membantu upaya konservasi penyu di pulau ini.

Saya berkunjung ke pulau yang berada di Desa Matiro Dolangeng, Kecamatan Liukang Tuppabiring ini, Kamis (25/5/2017), melalui pelabuhan rakyat Kayu Bangkoang, Makassar. Saya mengikuti rombongan dari PT Mars Symbioscience Indonesia yang akan melakukan acara sunatan massal di Pulau Bontosua. Mengunakan kapal kayu yang cukup besar, butuh waktu sekitar 2 jam, sementara dengan speed motor biasanya hanya 1 jam.

Dari Pulau Bontosua, saya melanjutkan perjalanan dengan speed motor milik Polair Pangkep, bersama dengan tiga petugas yang kebetulan sedang melakukan patroli rutin. Butuh waktu sekitar 1 jam untuk tiba di pulau ini.

 

 

Mendekati pulau, terlihat dua bangunan rumah panggung kecil di kejauhan. Rumah keluarga Daeng Abu Sofyan, satu-satunya penghuni pulau, dan kantor patroli Polair.

Seorang perempuan tua terlihat duduk di teras rumah, seperti menyambut kedatangan kami. Tepat di depan rumah itu terdapat sebuah plang ucapan selamat datang untuk pengunjung. Beberapa bangunan gazebo terjajar rapi di sepanjang pesisir pantai.

“Bapak sedang solat duhur, tunggumi,” katanya dengan bahasa Makassar.

Meski dikenal sebagai pulau penyu, tak banyak yang kami temukan ketika kami datang. Hanya beberapa ekor yang disimpan di sebuah kolam fiber pemeliharaan. Dua ekor berukuran agar besar, berumur sekitar delapan bulan dan lainnya masih berumur 5 bulan.

Aiptu Solotang, polisi Polair Polres Pangkep yang berjaga di pulau tersebut bercerita bahwa meski musim penyu sudah tiba namun hingga saat ini belum ditemukan satu lubang pun di sekitar pulau. Ini dianggapnya tak lazim.

“Mungkin ini faktor cuaca. Kalau bulan-bulan sekarang, seharusnya sudah banyak penyu. Tapi kita belum temukan apa-apa sampai saat ini,” katanya.

(baca : Solotang, Seorang Diri Menjaga Perairan 42 Pulau Liukang Tuppabiring)

 

Anggota Polair Polres Pangkep, Solotang memperlihatkan penyu yang sudah cukup besar, berusia sekitar delapan bulan, ditempatkan di kolam penangkaran. Penyu tersebut akan segera dilepasliarkan ke alam ketika penyu-penyu. Foto: Wahyu Chandra

 

Penyu-penyu yang berada di kolam penangkaran adalah penyu yang terambil dari tahun sebelumnya. Jumlahnya semakin berkurang karena akan segera dilepas jika dianggap sudah waktunya. Penyu yang tertinggal hanya sebagai pajangan bagi pengunjung yang datang.

“Kalau sudah ada gantinya ini akan segera kami lepas. Sudah terlalu lama di kolam,” lanjutnya.

Menurut Solotang, sejak ditetapkan sebagai kawasan konservasi penyu, Pulau Cangke menjadi surga bagi penyu-penyu yang datang bertelur di musim-musim tertentu. Larangan penangkapan penyu ataupun pengambilan telur penyu cukup efektif menambah populasi penyu di daerah tersebut dan pulau-pulau sekitarnya.

“Terhitung sejak 2015 lalu sudah ada sekitar 1.000-an tukik yang kami rilis ke alam. Ada sekitar 19 lubang di sekitar pulau. Setiap lubang bisa sampai ratusan telur meski yang menetas hanya sebagian atau tak cukup separuhnya.”

Untuk melindungi lubang-lubang penyu tersebut, Solotang bersama dengan Daeng Abu dan istrinya biasanya membuat pagar kecil dari ranting-ranting kayu.

“Itu untuk melindungi telur dari predator, termasuk dari warga yang kebetulan melintas. Kalau dipagari artinya itu tak bisa diganggu,” jelas Solotang.

 

Setahun terakhir pengunjung mulai berdatangan ke Pulau Cangke, tidak hanya untuk melihat penyu, tapi juga menikmati pemandangan indah di sore hari dan menyelam di sekitar pulau. Foto: Wahyu Chandra

 

Ancaman terhadap keberadaan penyu dan tukik memang selalu ada. Penangkapan penyu besar masih kadang terjadi, begitupun dengan pengambilan telur.

“Namun sejak kami banyak operasi, penangkapan penyu dan pengambilan sudah mulai berkurang. Kita aktif sosialisasi di pulau-pulau sekitar. Ada ancaman hukumnya.”

Penangkapan penyu, yang bisa berukuran panjang 1,5 meter, biasanya untuk diambil batoknya untuk bahan pembuatan aksesoris, seperti cincin dan mata kalung. Sementara telur penyu untuk dikonsumsi.

“Ada semacam kepercayaan di sini kalau telur penyu bisa menambah vitalitas laki-laki. Ada juga yang ambil untuk sekedar lauk, khususnya masyarakat yang ada sekitar sini.”

Konservasi penyu di Pulau Cangke sendiri dimulai pada tahun 2015 lalu atas inisiatif Kapolres Pangkep yang saat itu dijabat oleh Hidayat. Hidayat dikenal sebagai pejabat polisi yang peduli lingkungan dan tegas terhadap praktek illegal fishing dan destructive fishing di sekitar perairan Pangkep.

“Ketika Pak Hidayat melihat pulau ini, beliau menganggap cocok untuk konservasi penyu. Makanya kemudian dibangun pos pengawasan dan gazebo-gazebo untuk pengunjung yang datang.”

Untuk membantu dalam pengawasan, maka Hidayat kemudian melibatkan masyarakat setempat, yaitu Daeng Abu dan istrinya Maidah. Sepasang suami istri inilah yang kemudian setiap hari mengeliling pulau mencari lubang-lubang penyu untuk dijaga dan dipindahkan di kolam penangkaran.

Pasangan suami istri ini terbilang unik karena dua-duanya merupakan penyandang disabilitas, namun dalam bekerja saling membantu dan melengkapi.

“Saya ini buta sudah belasan tahun lalu, sementara istri saya pendengaran tidak begitu bagus. Kalau istri saya keliling pulau dapat lubang ia segera bilang, saya kemudian tunjukkan caranya dipindahkan,” kata Daeng Abu sambil tertawa.

 

Pasangan suami istri penyandang disabilitas, Daeng Abu dan istrinya Maidah, bersama Solotang, petugas Polair Pangkep, menjaga keberadaan penyu di Pulau Cangke. Sejak 2015 lalu sudah ribuan tukik yang mereka selamatkan dan dilepasliakan ke alam. Foto: Wahyu Chandra

 

Mereka berdua juga kerap memancing di sekitar pulau. Daeng Abu, dengan keterbatasannya masih menemani istrinya melaut dengan perahu kecil mereka.

“Istri saya tak bisa berenang jadi takut melaut sendirian, saya menemani mengayuh perahu, dia yang memancing,” tambahnya.

Daeng Abu sendiri telah berada di pulau tersebut sejak tahun 1972 sebagai seorang buangan karena menderita kusta. Sebelumnya ia tinggal di Pulau Pala, tak jauh dari pulau tersebut. Tak tahan melihat kesendirian Daeng Abu, istrinya Maidah kemudian menyusul untuk menemani. Mereka dikaruniai enak orang anak, namun sayangnya hanya seorang saja yang hidup.

“Anak saya sekarang di Pulau Pala, ia punya usaha kepiting. Ia punya sembilan orang anak dan paling bungsu sekarang akan kuliah di Pangkep,” ungkap Daeng Abu bangga.

Untuk memenuhi kebutuhan sehari-sehari kebutuhan makanan selain dari anaknya, yang rutin datang ke pulau, juga berasal dari Pemda Pangkep, berupa gaji per bulan sebesar Rp450 ribu, yang diterima per tiga bulan.

Menurut Solotang, keberadaan Daeng Abu dan istrinya selama ini memang sangat membantu menjaga kelestarian penyu di pulau tersebut. Apalagi selama ini Daeng Abu dulunya juga merupakan warga pengumpul telur penyu untuk konsumsi sehari-hari.

Sayangnya, meski menjadi kawasan konservasi dan potensial untuk tempat wisata, namun pengelolaan pulau ini sepertinya kurang mendapat perhatian pemerintah. Meski telah ada bantuan berupa bangunan gazebo dan kolam-kolam penangkaran, namun tak ada pengelolaan secara berkelanjutan.

Menurut Solotang, sejak Kapolres Hidayat dimutasi ke daerah lain, perhatian terhadap tempat ini mulai berkurang. Meskipun tetap ada upaya perawatan dan pengawasan namun sangat terbatas karena tak adanya penganggaran khusus untuk pengelolaan.

“Kita tetap jaga tempat ini, setiap tiga bulan tetap wajib bikin laporan ke Polda tentang perkembangan penyu dan tukik, cuma sekarang kita terbatas. Kalau nantinya akan ada bantuan, bisa berupa speed boat dan bahan bakar. Termasuk kebutuhan operasional lainnya.”

Jaraknya yang cukup jauh dari ibukota kabupaten membutuhkan bahan bakar yang cukup besar sekali berkunjung ke pulau tersebut. Selama ini kebutuhan bahan bakar masih ditunjang dari operasional operasi rutin Polair, sehingga kunjungan ke pulau tersebut masih tergantung pada jadwal patroli.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,