Antara Ribuan Izin dan Ratusan Lubang Tambang Batubara, Kaltim Minim Pengawas

 

Kalimantan Timur memiliki izin usaha pertambangan batubar sekitar 1.430 dengan sekitar 264 lubang tambang batubara menganga, tersebar di beberapa kabupaten dan kota. Sayangnya, jumlah perizinan ini tak sejalan dengan tenaga pengawas yang begitu minim.

Djulson S Kapuangan, Inspektur Tambang di Kaltim mengatakan, Inspektur Tambang di Kaltim hanya delapan orang,  sebagai jabatan fungsional. Dari jumlah itu, satu orang sekolah pasca sarjana, satu lagi di komisi reklamasi dan pasca tambang.

“Total hanya enam inspektur mengawasi 1.400-an IUP di Kaltim. Pengawasan perusahaan PKP2B kewenangan pusat, kami hanya pendampingan,” katanya baru-baru ini.

Inspektur, katanya,  bertugas pengecekan, dan penindakan oleh gubernur. Di lapangan, mereka menemukan beberapa perusahaan tak ada pemilik.

Belum lagi, sangat minim pelaporan dari perusahaan terkait teknis penambangan dan reklamasi.  “Sejak 2004, mungkin ada 20 perusahaan baru menyampaikan laporan pelaksanaan reklamasi kepada Inspektur Tambang,” kata Djulson.

Idealnya,  evaluasi tiap tahun. Namun ada perusahaan melaporkan setelah lima tahun, ada 10 tahun, bahkan 15 tahun setelah beroperasi.

Data Dinas Pertambangan 2016, ada 1.430 pemegang izin tambang di Kaltim dengan luas konsesi 5,134 juta hektar atau 40,3% luas wilayah ini yang mencapai 12,737 juta hektar. Izin tambang meliputi izin eksplorasi 820 perusahaan dan operasi produksi 610 perusahaan.

Pada 2015, perusahaan mengeruk 237,12 ton batubara dari perut provinsi itu. Angka ini 49,2% dari produksi batubara nasional tahun itu, yang 461,6 juta ton. Produksi diperkirakan bakal terus menurun. Dalam rencana strategis Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, produksi batubara nasional pada 2019 hanya 400 juta ton.

 

 

Dia bilang, bicara lubang tambang jadi kendala, karena inspektur tambang datang saat semua jadi lubang.

“Inspeksi seharusnya dilakukan setiap tiga bulan sekali. Kami inspektur tambang bisa menghentikan sementara, jika datang sudah satu tahun sekali, persoalannya ada di penganggaran,” katanya seraya bilang sampai sekarang, belum ada perusahaan mereka hentikan sementara.

Peraturan, PP 78/2010, menyebutkan, satu bulan setelah tambang kolam harus ditutup. Praktiknya, banyak alasan perusahaan bilang lubang masih bisa ditambang. “Secara teknis masih ada cadangan, tapi seharusnya tak bisa, lubang harus ditutup terlebih dahulu.”

Mereka, katanya, selalu menekankan harus back fill (menimbun kembali tempat-tempat bekas penggalian batubara), dan memaksimalkan tanggung jawab. “Paling pertama kita suruh perusahaan menempatkan dana jaminan reklamasi,” katanya.

Jaminan reklamasi, katanya, bukan untuk penutupan lubang tambang karena penutupan lubang terkait proses penambangan itu sendiri. “Perusahaan wajib reklamasi, apabila dana ini kurang tetap ditanggung perusahaan.”

Sebenarnya, ucap Djulson,  pertambangan pasti akan meninggalkan lubang penambangan, tak bisa terhindari. “Namun paling banyak harus ada satu lubang saja, ketika itu banyak lubang,  ada pelanggaran,” katanya.

Di lapangan, ada permintaan warga lubang tambang tak diuruk karena ingin dimanfaatkan. Katanya, sampai kini,  belum ada aturan kalau ada pengalihan peruntukkan karena ada permintaan masyarakat.

“Bagaimana mengesahkan supaya lepas dari tanggung jawab perusahaan, aturan belum ada.”

Dia bilang, banyak reklamasi tak jalan hingga lubang tambang di mana-mana juga memperlihatkan kewenangan pengawasan di kabupaten dan kota tak berjalan.

Sebelum keluar UU Pemerintah Daerah 2014, katanya, Inspektur Tambang bertugas melakukan pengawasan. Ada tujuh item pengawasan,  yakni teknis penambangan, konservasi, keselamatan operasional, K3, lingkungan, jasa, dan rekayasa bangun.

Pengawasan spesifik untuk reklamasi dan pasca tambang sesuai aturan Permen 7/2014, setiap tahun perusahaan wajib menyampaikan laporan pelaksanaan reklamasi sekaligus permohonan pencairan dana jaminan reklamasi.

“Setelah kabupaten/kota menyerahkan kewenangan ke provinsi, kami mengevaluasi reklamasi dan pasca tambang tapi belum maksimal karena antara pusat dan provinsi tahun ini tak ada anggaran,” katanya.

 

Kapal pengangkut batubara di Sungai Mahakam. Foto: Tommy Apriando

 

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,