Di Balik Keindahan Pulau Mare…

 

 

Hatta Hamzah, warga Desa Maregam, Mare,  berusaha mengendalikan motor laut bodi kayu itu, ketika akan sandar di Pelabuhan Tomolou Tidore, Maluku Utara, pertengahan April lalu. Hatta membawa saya bersama dua rekan menuju Pulau Mare. Pulau yang terkenal dengan produksi gerabah ini ditetapkan sebagai kawasan pencadangan konservasi perairan laut di Malut.

Hatta, sangat berhati-hati karena terbilang amatir dalam menjalankan  motor kayu.  Saat dia, menyandarkan perahu ke jembatan sempat menyatakan kalau baru pertama kali jadi motoris tetapi yakin bisa mengelilingi Pulau Mare.

Pulau Mare sendiri berada di bagian barat, secara administrasi masuk Kota Tidore Selatan, Tidore Kepulauan, Malut. Ada empat pulau di Kota Tidore Kepulauan, yakni Tidore,  Maitara, Mare  dan Failonga. Dari empat pulau, tiga sudah berpenduduk, hanya Pulau Failonga, masih kosong.

Pulau Mare cukup terkenal dengan kerajinan gerabah. Sebenarnya  ia memiliki potensi luar biasa seperti keindahan laut dan panorama alam.

Kami mengelilingi pulau pakai perahu bermesin kapasitas 15 PK bodi kayu.  Kami singgah di dua kampung di pulau ini, yakni Kampung Mare Kofo dan Mare Gam.

Hatta juga menunjukkan kami beberapa tempat yang dianggap berkaitan erat dengan kawasan pencadangan laut untuk konservasi  lumba-lumba yang ditetapkan Pemkot Tidore Kepulauan sejak 2012.

Perjalanan menuju Pulau Mare sekitar  1,5 jam  sebelum sampai ke tebing batu yang cukup terkenal, biasa disebut batu perempuan. Warga memberi nama ini karena kala dipandang dari jauh batu menyerupai kelamin perempuan.

Sementara dari atas perahu bisa disaksikan kondisi bawah laut Pulau Mare. Indah…Sayangnya, ada sebagian terumbu karang sudah mati.

Informasi warga, karang mati karena banyak orang luar pulau menangkap ikan pakai bom dan berbagai sarana membahayakan di sini.

Perjalanan lanjut ke Desa Mare Kofo. Desa ini di bagian barat Pulau Mare. Desa di kelilingi hutan bakau. Pemerintah Kota Tidore Kepulauan menetapkan desa ini sebagai kawasan hutan lindung mangrove.

Desa ini memiliki cukup banyak masalah seperti sampah,  penerangan listrik, air bersih,  layanan kesehatan dan pendidikan.

 

Sampah yang memenuhi pantai di Pulau Mare. Sampah-sampah ini diduga ‘kiriman’ dari Ternate dan Tidore. Foto: M Rahmat Ulhaz

 

Sampah plastik kiriman yang menggunung di pantai pulau ini perlu perhatian serius. Desa Mare Kofo jadi tempat ‘terdampar’ sampah-sampah plastik diduga dari Ternate dan Tidore. Sampah terbanyak seperti botol  air mineral,  kantong plastik dan lain-lain.

“Sampah-sampah menumpuk di tepi pantai itu bukan dibuang  warga Mare. Itu sampah kiriman,” kata Udin Ismail, warga Mare Kofo.

Menurut Udin, juga Kepala Urusan Pemerintahan (kaur) di Desa Mare Kofo,  sampah menumpuk setiap saat di depan desa mereka kiriman  dari pulau lain. Kedua pulau yang diduga penyumbang terbesar sampah adalah Ternate dan Tidore.  “Kadang berbulan-bulan menumpuk di pantai.”

Warga hanya bisa berharap  air pasang dan arus cukup deras  hingga membawa sampah plastik keluar pulau. Air pasang baru bisa membawa sampah keluar. “Kami hanya mengandalkan arus dan air pasang  untuk menyingkirkan sampah ke luar pulau.”

Sampah masuk sampai ke hutan mangrove di depan desa ini. Banyak onggokan sampah plastik.

Edy Hatary, Kepala Bidang Lingkungan Hidup Badan Lingkungan Hidup Tidore Kepulauan mengatakan, sampah Mare merupakan persoalan kepulauan dan memerlukan penanganan komprehensif, antara lain kerjasama antar kabupaten dan kota, seperti Ternate dan Tidore,  dengan letak berdekatan.

“Penanganan masih parsial dan tidak fokus. Ditambah perilaku dan kesadaran masyarakat rendah soal sampah hingga laut dan pulau-pulau dipenuhi sampah,” katanya.

Tak hanya sampah, perusakan terumbu karang juga masif,  penangkapan ikan menggunakan jaring, racun dan bom juga jadi masalah serius.

“Kalau pengeboman ikan itu hampir setiap saat,” kata Kades Mare Kofo Rabihim Senen, seraya sebutkan, pengebom ikan dari warga luar Pulau Mare.

Dia bilang, kebanyakan penangkap ikan pakai bom dari Halmahera Barat.   Mereka mengebom saat warga akan shalat Jum’at. “Waktu Jum’at, tak ada yang berada di laut hingga mereka bebas beraksi.”

Selain itu, pulau yang tak jauh dari pusat pemerintahan Kota Tidore itu, terbilang minim perhatian, bahkan persoalan-persoalan mendasar seperti air bersih, sampai kesehatan dan pendidikan.

Di Desa Mare Kofo, berpenduduk 500 jiwa lebih, menghadapi beberapa  masalah pelayanan dasar terutama listrik, air bersih pendidikan dan kesehatan.

 

Batu perempuan, yang cukup terkenal di Pulau Mare. Foto: M Rahmat Ulhaz

 

Hingga kini, katanya, warga desa ini belum bisa menikmati listrik seharian, hanya pukul 18.00-00.00 dan mengandalkan genset PLN berkapasitas 20 kilowatt.

Lampu tak bisa menyala semalam suntuk karena persoalan bahan bakar harus ditanggung warga dengan iuran yang dikumpulkan setiap bulan. “Alhamdulillah, lampu listrik sudah ada, tapi menyala hanya enam jam saja.”

Untuk air bersih,  meski sudah ada sumur bor namun sebagian warga masih mengandalkan air hujan. Sedang akses jalan masih jauh dari harapan. Transportasi antarkampung sampai kini, katanya,  belum bisa dilalui dengan jalan darat.

Dari Desa Mare Gam ke Mare Kofo,  belum ada jalan. Warga hanya mengandalkan transportasi laut meskipun jarak antardua desa ini hanya tujuh kilometer.

“Jalan kita ini sudah berulangkali survei tetapi belum terlaksana. Tahun ini kembali dijanjikan lagi,” kata Hatta Hamzah,  tokoh pemuda desa.

Untuk air bersih sebagian warga masih dari air hujan. Meski ada gunakan air sumur, tetapi tak semua untuk kebutuhan sehari-hari. Sebenarnya, sudah ada sumur bor tetapi belum terpakai. Begitu juga di Desa Mare Kofo, air bersih sebagian warga masih mengandalkan  air hujan.

Masalah lain, pendidikan terutama di Mare Kofo. Meski sudah memiliki gedung SD dan SMP, namun minim guru. Guru hampir semua tinggal di Pulau Tidore.

Untuk itu, siswa tak mendapatkan porsi belajar seperti sekolah di daerah lain. Waktu mengajar mereka tersita di jalan.

Belum lagi kala musim gelombang , siswa tak bisa belajar karena tak ada guru. Laut tak bergelombang pun proses belajar mengajar tetap terlambat.  Jam belajar mulai pukul 07.00, tidak pernah terlaksana tepat waktu.  Guru masuk kelas di atas pukul 09.00, pulang pukul 12.00.

Guru pulang awal karena khawatir gelombang tinggi kala siang hari.

“Di pulau ini, dari 17 guru mengajar di Mare Kofo baik SD maupun SMP tak ada yang tinggal di Kampung Mare Kofo,” kata Rabihim.

Meskipun mereka sudah membangun rumah guru bahkan menyuarakan masalah ini ke petinggi  Pemkot Tidore,   tetapi tak ada perubahan, belum ada satupun pengajar tinggal disana. “Proses belajar mengajar tak berjalan maksimal.”

Rabihim bingung dengan sikap guru yang mengajar di desanya. Mereka tak mau tinggal di desa tempat mereka bertugas  dan memilih menetap di Tidore.

Beberapa kali, siswa bersama Kepala Sekolah SD Mare Kofo–warga setempat–mengajak  siswa menyambut para guru dari Tidore dengan menggelar apel masuk sekolah di pelabuhan.

“Tujuan siswa mengkritik guru agar malu dengan waktu masuk kelas karena tak tepat waktu,” kata Rabihim.

Cerita pelayanan kesehatan hampir serupa masalah pendidikan. Meskipun sangat dekat dengan Tidore, petugas tak siap waktu penuh di Pulau Mare. Fasilitas kesehatan berupa Puskesmas Pembantu (Pustu) sudah terbangun ak ditempati petugas.

Ada satu petugas di Pustu, tetapi tak tinggal di Desa Mare Kofo, tetap di Tidore. Petugas kesehatan ke Pulau Mare saat siang hari. Dia juga harus menyeberang dengan speedboat atau perahu kayu.

Kala warga ingin mendapatkan pelayanan kesehatan,  harus menunggu  petugas datang dari Tidore baru. “Ada seorang bidan ditugaskan ke  Mare Kofo tetapi enggan tinggal. Dia memilih tinggal di Tidore. Nanti siang datang tugas sekitar pukul 09.00. Sekitar pukul 13.00 pulang ke Tidore. Jika tiba- tiba kita sakit harus menunggu sampai besoknya. Itu kalau tak ada gelombang,” ucap Udin.

Saat saya menyambangi Desa Mare Kofo,   April lalu ada kejadian miris terkait pelayanan kesehatan.  Muhammad Risky,  bayi 12 bulan jatuh  dan wajah terbentur batu besar hingga cidera serius. Jidat robek sekitar delapan cm.

Risky tak bisa mendapat pertolongan pertama di Pustu Mare Kofo karena tak ada petugas. Rahmah, ibunda Risky hanya histeris. Dia tak bisa berbuat banyak. Langkah satu- satunya, kepala desa membantu pasangan Rahmah dan Ismail ini membawa anak mereka ke rumah sakit di Tidore dengan perahu  motor.  “Ini contoh kesulitan kami hadapi,” kata Rabihim.

 

 

Rumah warga di Pulau Mare. Warga di pulau ini belum bisa nikmati listrik 24 jam, hanya pukul 18.00-00.00. Foto: M Rahmat Ulhaz

 

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh