HATAM 2017, Jangan (Lagi) Ada Tambang di Pulau Kecil

Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menyerukan pada pemerintah untuk tidak lagi menjadikan pulau-pulau kecil sebagai wilayah pertambangan. Mereka menilai, selama ini, aktifitas pertambangan berdampak negatif bagi masyarakat di pulau-pulau kecil.

Pernyataan itu disampaikan dalam peringatan Hari Anti Tambang (Hatam), di Manado, Senin (29/5/2017). Merah Johansyah koordinator Jatam mengatakan, pulau-pulau kecil semakin rentan menerima dampak perubahan iklim. Kondisi itu semakin parah jika pemerintah tidak menghentikan perizinan tambang.

“Mereka jadi korban dua kali. Pertama, dampak langsung, karena wilayahnya kecil. Kedua, dampak perubahan iklim yang akan pertama kali kena, ya, warga di pulau kecil,” ujarnya kepada Mongabay Indonesia.

(baca : Hari Anti Tambang: Bikin Banyak Masalah, Indonesia Mesti Tinggalkan Industri Pertambangan)

 

 

Sebab, berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan tahun 2011, disebutkan, 28 pulau kecil di Indonesia tenggelam dan 24 pulau kecil terancam tenggelam. Kemudian, kajian Indeks Dampak Perubahan Iklim oleh Maplecroft, memperkirakan, 1.500 pulau kecil di Indonesia tenggelam pada 2050.

Menurut Merah, dalam menetapkan wilayah pertambangan, pemerintah dinilai tidak melibatkan partisipasi publik, serta tidak mempertimbangkan sejumlah aspek. “Misalnya pulau Romang yang adalah daerah rawan gempa dan tsunami. Nah, itu enggak boleh ada izin tambang.”

Sesuai catatan Jatam, diperkirakan 44 persen daratan Indonesia sudah dikuasai industri pertambangan. Dalam luasan itu, pemerintah telah mengeluarkan lebih dari 10.936 izin. Jumlah itu menurun dibanding tahun 2011 yang mencapai 11 ribu izin.

Diyakini, luasnya wilayah pertambangan disebabkan oleh paradigma pembangunan yang keliru. Kekayaan alam dianggap sebagai komoditas yang harus diuangkan, tanpa mempertimbangkan keselamatan dan ruang hidup rakyat, serta daya dukung lingkungan.

Akibatnya, ruang pertanian dan perkebunan semakin menyempit, mengorbankan kawasan hutan lindung dan konservasi, serta memicu konflik sosial dan budaya. “Kemudian, tambang itu rakus air. Akan merusak sumber air, sumur juga karst,” terangnya.

(baca : Kepedulian Tiada Pudar Kaka Slank untuk Pulau Bangka)

 

lokasi pertambangan timah di Pulau Bangka. Foto: Friends of Earth

 

Selain itu, masih dikatakan Merah Johansyah, industri pertambangan tidak begitu menguntungkan ekonomi nasional. Karena sifat pemanfaatannya hanya dalam jangka pendek.

Karena itu, pemerintah didesak untuk tidak lagi bergantung pada sektor pertambangan. Namun, memperkuat sektor ekonomi lain semisal pertanian, perikanan atau pariwisata.

“Sudah saatnya meninggalkan ekonomi pertambangan, karena tidak membawa kesejahteraan. Yang harus dilakukan pemerintah adalah moratorium, stop izin baru. Karena, kita hanya merusak diri sendiri untuk memenuhi kebutuhan orang lain,” tegas Merah Johansyah.

(baca : Bu Susi, Selamatkan Pulau Bangka dari Tambang MMP)
Kemenangan Pulau Bangka Bisa Jadi Yurisprudensi

Dalam peringatan Hari Anti Tambang di Manado, Jatam juga menyerukan bahwa kemenangan warga pulau Bangka dapat menjadi yurisprudensi untuk penyelamatan seluruh pulau-pulau kecil di Indonesia.

Sebelumnya, 23 Maret 2017, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencabut Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi PT. Mikgro Metal Perdana (MMP) di pulau Bangka.

Peristiwa itu, disebut sebagai pencabutan izin tambang di pulau-pulau kecil, yang pertama kali dilakukan Menteri. “Bahwa perjuangan mereka tidak sia-sia. Harapannya, ini bisa jadi inspirasi. Mestinya enggak boleh ada izin tambang di pulau kecil,” terang Merah.

(baca : Jonan Cabut Izin Produksi Tambang PT MMP di Pulau Bangka, Langkah Selanjutnya?)

 

Meski sudah ada putusan MA yang melarang pertambangan, PT MMP tetap bersikeras melakukan pertambangan dengan mendatangkan truk dan ekskavator ke Pulau Bangka, Sulut pada 12 April 2016. Foto : Facebook Save Bangka Island

 

Arifsyah Nasution, Juru Kampanye Kelautan Greenpeace Indonesia menyatakan, paradigma pembangunan berkelanjutan di pulau-pulau kecil adalah pembangunan tanpa tambang.

“Untuk menyelamatkan ruang hidup warga dan melestarikan keanekargaman hayati, arah pembangunan tanpa industri tambang di pulau-pulau kecil di Indonesia, mutlak menjadi komitmen bersama,” tegas Arifsyah.

Sementara itu, Jull Takaliuang, Direktur Yayasan Suara Nurani Minaesa menegaskan, bahwa pemulihan lingkungan hidup di pulau Bangka perlu segera dilakukan. Selain itu, pemerintah juga diharap membuat penilaian atau valuasi kerusakan lingkungan yang ditimbulkan perusahaan tersebut.

Jull mengatakan, selama ini PT. MMP terus beraktifitas tanpa menghormati aturan, proses dan putusan hukum. Menurut dia, dengan dicabutnya izin, pemerintah diminta segera menyegel aset dan membongkar fasilitas PT. MMP.

“Kami menginginkan putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap dijalankan, bukan malah dipermainkan,” ujarnya.

Sejak 2011, tanggal 29 Mei diapresiasi sebagai Hari Anti Tambang, bertepatan dengan semburan pertama Lumpur Lapindo, sebelas tahun lalu. Tahun ini, Hari Anti Tambang Nasional diperingati serentak di 22 wilayah simpul perlawanan terhadap tambang di Seluruh Indonesia.

Hari Anti Tambang merupakan mandat pertemuan nasional Jatam tahun 2010. Ia beranjak dari pandangan bahwa sudah saatnya pertambangan dijadikan sebagai sejarah (make mining history) dalam perjalanan bangsa ini ke depan.

Sebab, Jatam menilai, pertambangan di Indonesia yang sudah berlangsung ratusan tahun, terus menjerumuskan bangsa dalam kemiskinan dan terjajah. Tidak hanya itu, industri pertambangan dituding telah menghapus mimpi dan cita-cita anak bangsa, bahkan telah merenggut ratusan nyawa anak-anak negeri.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,