Beragam Masalah, Petani Garam di Jeneponto Sulit Bangkit dari Kemiskinan

Keringat di wajah Hadar Mangun mengalir deras. Kulitnya yang sawo matang tampak mengkilat diterpa sengatan matahari yang sangat cerah siang itu itu. Di tengah tambak garam miliknya seluas 24 are, ia sibuk membersihkan lumut-lumut yang mengering pada hamparan tanah yang merekah.

Hadar Mangun adalah satu dari ratusan petani garam di Kabupaten Jeneponto, yang tengah mempersiapkan lahan yang akan dibentuk menjadi tambak garam. Di musim hujan, lahan itu adalah tambak ikan dan udang, dan akan segera beralih menjadi tambak garam ketika musim kering tiba.

“Biasanya musim garam itu antara Agustus hingga November saat musim kemarau tiba. Makanya lahannya harus segera disiapkan,” jelas Hadar sambil menyeka keringat di wajahnya, ketika ditemui Mongabay di tambaknya di Desa Mallasoro, Kecamatan Bangkala, Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan, Rabu (24/5/2017).

 

 

Persiapan lahan bisa berlangsung hingga sebulan, namun bisa lebih cepat jika dilakukan secara gotong royong. Proses ini berlangsung lama karena semuanya harus dimulai dari awal lagi, termasuk membangun pematang-pematang dan saluran air. Sisa lahan sebelumnya tidak bisa dipertahankan ketika lahan tersebut berubah menjadi tambak ikan dan udang.

“Kalau tiba-tiba hujan deras lahan yang sudah jadi harus diperbaiki kembali, air genangan hujan dikeluarkan. Pengerjaannya bisa sampai berhari-hari,” tambah Hadar.

Tidak hanya lahan, persiapan lainnya adalah memperbaiki kincir yang nantinya digunakan untuk memindahkan air baku ke dalam kolam-kolam penampungan yang disebut tonrang, di mana satu tonrang berisi 9-10 petak.

Sistem penguasaan lahan pada petani garam di Jeneponto tergolong unik. Di musim hujan ketika lahan-lahan belum digunakan untuk tambak garam maka seluruh lahan dimiliki oleh satu orang. Namun ketika musim garam tiba, kepemilikan lahan dibagi menjadi dua. Pemilik tambak sebelumnya akan menguasai saluran air sementara lahan garam akan dimiliki oleh petani lain.

“Sistem pembagiannya, pemilik saluran air akan memperoleh sepertiga bagian hasil produksi garam, sementara duapertiga produksi akan menjadi pemilik atau petani pengelola lahan garam,” jelas Hadar.

 

Garam yang sudah dipanen diangkut ke gudang sementara (lntang) atau ke gudang besar. Biaya transportasi ini cukup besar, bisa sekitar Rp 7 ribu sekali angkut. Ini cukup memberatkan petani karena bisa mengambil sebagian dari hasil produksi. Foto: Wahyu Chandra

 

Segala kerumitan ini nantinya akan segera terbayar ketika musim garam telah tiba. Mereka bisa panen sekali dalam 2-3 hari. Hasilnya bisa mencapai 500 karung per musim, dimana 1 karung berisi sekitar 55-60 kg garam.

“Kalau harga lagi bagus maka hasilnya bisa lebih banyak. Sayangnya harga garam lebih sering murah. Baru lagi ini agak mahal, sekitar Rp55 ribu per karung,” tambahnya.

Persoalan harga memang menjadi masalah utama petani garam di Jeneponto saat ini. Mungkin saat ini harga sedang bagus, namun pada tahun-tahun sebelumnya harganya jauh lebih rendah. Bahkan pernah mencapai Rp10 ribu per karung. Ini belum termasuk biaya angkut yang bisa mencapai Rp7 ribu per karung. Ini membuat petani kecil tetap terpuruk pada kemiskinan.

“Kalau panen melimpah harga kadang turun dan sebaliknya harga sedikit mahal jika musim hujan. Jadi sama ji sebenarnya. Tetap ji petani tidak bisa dapat keuntungan banyak dari hasil panen,” keluh Hadar.

Rendahnya harga garam ketika hasil panen melimpah, menurut Hadar, tidak hanya terkait permintaan pasar, tetapi juga karena keterbatasan gudang penyimpanan garam. Ketika hasil panen melimpah dan gudang sementara yang disebut lontang penuh, maka petani terpaksa menjual garamnya ke tengkulak atau pengumpul dengan harga murah, sesuai dengan keinginan pegumpul tersebut.

“Mau tidak mau garam harus dijual daripada rusak, meski untungnya sedikit.”

 

Gudang menjadi kebutuhan utama petani garam yang sulit dipenuhi. Ketiadaan gudang membuat mereka harus rela menjual garam mereka dengan harga yang rendah ke pengusaha pengumpul. Foto: Wahyu Chandra

 

Masalah lain yang dihadapi petani adalah kualitas lahan dan fasilitas pendukung yang semakin menurun. Termasuk kualitas lingkungan sekitar yang semakin buruk akibat pendangkalan di saluran-saluran air. Hutan mangrove yang dulu banyak ditemukan di sekitar pesisir pantai sumber air baku tambak kini mulai berkurang.

“Dulu ada upaya penanaman mangrove pemerintah dengan TNI tetapi selalu gagal. Mungkin karena cara tanamnya yang salah. Ditanam agak jauh masuk ke laut mi,” ungkap Abdul Azis Daeng Sitaba, petani garam lainnya, yang juga merupakan kepala dusun di daerah tersebut.

Meski masalah pendangkalan ini cukup menganggu, Abdul Azis sepakat bahwa masalah utama petani ada pada harga garam yang murah dan tidak adanya informasi pasar yang jelas. Pasar mereka selama ini dimonopoli oleh pengumpul yang sama, baik itu penumpul lokal ataupun pengumpul besar dari Makassar.

Berbeda dengan petani kecil, petani skala besar justru kondisinya jauh lebih baik. Para petani besar ini biasanya memiliki akses langsung ke pengumpul dari Makassar, sehingga informasi harga juga lebih mudah mereka dapatkan.

Keunggulan lain adalah pada kepemilikan gudang besar yang jumlahnya bisa lebih dari satu. Dengan adanya gudang mereka bisa menyimpan atau menahan garam hingga harga bagus, sementara dari petani sendiri tetap dibeli dengan harga lebih murah.

Jika petani kecil hanya mendapatkan penghasilan puluhan juta sekali panen, belum termasuk biaya produksi dan transportasi, maka petani besar bisa mencapai ratusan juta. Penghasilan mereka tidak hanya berasal dari lahan yang mereka miliki tetapi juga dari hasil penjualan garam yang dibeli dari petani garam lainnya.

Menurut Tasrifin Tahara, peneliti di Pusat Penelitian  Pengembangan Kebijakan dan Manajemen (P3KM) Universitas Hasanuddin, bagi para petani besar ini, gudang adalah alat kontrol sekaligus sumber kuasa terhadap para petani-petani kecil.

“Selama petani besar atau juragan ini memiliki gudang, maka itu bisa menjadi alat kontrol mereka pada petani, termasuk harga jual garam yang bisa dibeli dengan harga murah. Petani yang tak punya gudang mau tak mau harus menjual garamnya ke patani besar, yang kadang merupakan patron mereka.”

Menurut Tasrifin, relasi patron-klien dalam petani garam di Jeneponto menjadi masalah tersendiri, karena berlangsung sejak lama, telah mengakar dan membudaya pada masyarakat.

“Para pemilik lahan yang kerap juga sebagai pemodal akan memberi lahan kepada petani untuk diolah, sekaligus memberi modal awal dalam pembukaan lahan. Bisa berupa uang ataupun bahan makanan seperti beras. Imbalannya, petani hanya bisa menjual garam ke patron mereka itu dengan harga yang ditentukan sepihak. Jika ada yang mencoba menjual ke pengumpul lain akan ada sanksi berupa denda yang jumlahnya cukup besar.”

Menurutnya, memutus mata rantai relasi yang kadang eksploitatif ini bisa diputus melalui pengadaan gudang yang cukup besar dan bisa diakses oleh para petani-petani kecil. Bisa mellaui sistem sewa atau bagi hasil namun dengan harga yang terjangkau.

“Kuncinya ada di gudang. Kalau penguasaan gudang masih ada di petani besar atau juragan maka ini akan selalu menjadi arena kuasa dan kontrol terhadap petani, baik secara ekonomi, politik dan sosial,” tambah Tasrifin.

Lebih jauh dikatakan Tasrifin, jika ingin meningkatkan kesejahteraan petani garam di Jeneponto maka dibutuhkan pelibatan seluruh pihak. Harus ada dukungan pembangunan infrstruktur, baik itu melalui pembangunan gudang, perbaikan jalan tani, hingga permodalan.

“Harus juga dipikirkan perlu adanya produk lain yang bisa dilahirkan dari garam ini, tidak hanya dijual secara mentah kepada masyarakat. Kualitas garam pun harus bisa ditingkatkan melalui penggunaan teknologi pengolahan yang lebih baik,” tambahnya.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,