Dari Guatemala, Belajar tentang Pengorganisasian Pengelola Hutan Berbasis Komunitas

Akhir April lalu adalah hari yang spesial bagi Neria, seorang warga asli El Chiclero, Guatemala. Baru pertamakalinya dia bertemu dengan orang dari Asia Tenggara, secara khusus Indonesia. Dia menyambut tamu-tamunya secara adat kebiasaan di sana, yaitu mengajak santap malam.

“Selamat datang di tempat yang masih banyak hutannya ini. Kami memberi oksigen ke seluruh Guatemala. Bukan hanya untuk Guatemala, tetapi oksigen bagi seluruh dunia, ” jelasnya bangga tentang negerinya yang berada di Amerika Tengah itu.

Dia menerima delegasi berbagai organisasi asal Indonesia. Tujuan kunjungan delegasi ini adalah untuk belajar dan mencari pengalaman dalam pengelolaan hutan berbasis masyarakat. Ada enam orang delegasi Indonesia yang ikut dalam kunjungan ini, berasal dari berbagai lokasi, Sumatera, Jawa, Sulawesi hingga Papua.

“Sejak Joko Widodo menjadi Presiden Indonesia, beliau menandai satu paradigma pemerintah dalam pengelolaan hutan. Beliau meluncurkan sebuah program untuk menyediakan 12,7 juta hektar dalam bentuk konsesi hutan berbasis komunitas, sebelum tahun 2019,” jelas Benjamin Hodgdon, dari Rainforest Alliance membuka tujuan kunjungan ini kepada Mongabay Latam.

Rainforest Alliance sendiri merupakan sebuah organisasi yang telah bekerja selama 20 tahun memberikan dukungan teknis kepada masyarakat di Guatemala untuk mengelola konsesi hutan berbasis komunitas. Lembaga ini bekerjasama dengan Rights and Resources, sebuah jaringan global yang membela hak-hak atas lahan dan hutan dari berbagai komunitas dan masyarakat adat. Untuk Indonesia, dengan dukungan dari Ford Foundation dan Pemerintah Finlandia, organisasi ini bekerjasama dengan Samdhana Institute, Kaoem Telapak dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN).

Dengan alasan ini, delegasi Indonesia yang umumnya berasal dari berbagai komunitas masyarakat melakukan kunjungan ke Guatemala.

“Ini yang membuat kami belajar ke sini, untuk melihat bagaimana masyarakat mampu mengorganisir dan bekerjasama degnan pemerintah dalam mengelola hutan.” M. Sidik salah seorang perwakilan delegasi menjelaskan. Ia berasal dari Lampung, dan bekerja untuk sebuah unit kerajinan kayu berbasis komunitas.

“Meski pemerintah sekarang telah mengakui kelompok masyarakat adat, namun masyarakat belum punya kemampuan dalam mengelola hutan. Mereka juga masih lemah dalam sistem pemasaran dan pengolahan produk kayu dan produk non-kayu seperti kopi, madu, getah atau karet,” lanjutnya.

 

Penjualan daun xate  memberi kesempatan bagi kaum perempuan untuk terlibat dalam rantai produksi di dalam konsesi hutan Uaxactun. Delegasi asal Indonesia mengunjungi gudang tempat sekelompok wanita sedang memilah dan mengelompokkan daun palem ini untuk  dijual ke berbagai gereja. Foto: Carolina Gamazo

 

Pembentukan organisasi, kunci utama dalam pengelolaan hutan

Lokasi yang dikunjungi oleh delegasi Indonesia adalah komunitas Uaxactun, dimana Neria adalah anggotanya. Di tempat ini, rombongan meninjau pengelolaan hasil hutan non kayu (HHBK) yang dilakukan di konsesi hutan yang masuk dalam Cagar Biosfer Maya (la Reserva de la Biósfera Maya/RBM). Total konsesi yang dikelola komunitas Uaxactun adalah 83 ribu hektar.

Sudah seratus tahun lebih komunitas ini bekerja dari sumberdaya non-kayu asal hutan. Pada awalnya mereka mengumpulkan getah pohon chicozapote (sejenis damar) untuk bahan baku permen karet, berlanjut saat ini dengan daun xate, sejenis palem-paleman (Chamaedorea elegansC.oblongata, dan C. erumpens) yang produknya digunakan dalam industri hiasan, terutama untuk ornamen ritual gereja.

Pengelolaan HHBK telah memberikan kemajuan bagi pembukaan lapangan pekerjaan bagi masyarakat setempat, terutama memberi kesempatan bagi kaum perempuan dalam proses produksinya. Perempuan pun terlibat dalam berbagai pertemuan yang diselenggarakan oleh Dewan Komunitas Hutan. Selain daun xate, pengolahan benih pohon ramón dan ekowisata pun menjadi unggulan bagi komunitas ini.

Bagi Arkilaus Kladit, delegasi asal Sorong Selatan, Papua Barat hal ini sangat menarik perhatiannya. Di tempat asalnya, menurutnya terdapat 96 ribu hektar yang sebagian besar adalah hutan belantara. Pada tahun 2006 hutan di tempat asalnya di Knasaimos, telah dilakukan pemetaan sumberdaya.

“Yang paling menarik minat saya adalah tentang kemauan anggota masyarakat dalam mengelola hutan. Termasuk membangun organisasi berbasis masyarakat, melakukan pengawasan hutan, patroli untuk mencegah kebakaran hutan hingga konektivitas dalam membuka pasar dan penjualan produk non kayu,” tutur Arkilaus. Menurutnya, banyak hal yang dapat dikembangkan setibanya kembali ke tempat asalnya.

Di wilayah lain RBM, Santa Elena, delegasi Indonesia mendapat penjelasan Mario Rivas dari Asosiasi Komunitas Hutan Peten (Asociación de Comunidades Forestales de Petén atau ACOFOP). Organisasi ini selama bertahun-tahun telah mengelola konsesi hutan di wilayah Peten.

“Dalam klausul kesepakatan damai negara harus memberikan 100 ribu hektar kepada organisasi masyarakat untuk dikelola. Aturan itu menjadi dasar hukum untuk memulai perjuangan agar konsesi-konsesi mulai diserahkan pada masyarakat, ” jelas Rivas memulai.

 

Anggota delegasi Indonesia sedang mengamati papan lantai kayu di kantor Forescom, perusahaan yang dibentuk oleh masyarakat. Pengolahan produk kayu menciptakan penjualan dalam volume yang lebih besar. Foto: Danilo Valladares/Rainforest Alliance

 

Di Guatemala, konsesi hutan rakyat mulai diserahkan dari tahun 1994, empat tahun setelah dibentuk  RBM, yang luasnya 2,1 juta hektar. Pemberian konsesi hutan saat itu, merupakan upaya untuk memelihara perdamaian pada saat-saat akhir konflik bersenjata. Pada tahun 1996, dengan penandatanganan kesepakatan damai, konsesi hutan masyarakat dalam RBM telah mencapai sebuah kerangka hukum yang dilanjutkan pemberian konsesi.

Saat ini terdapat sebelas konsesi kehutanan masyarakat yang diberikan oleh negara di RBM, dengan kawasan kelola masyarakat adalah total 500.000 hektar, atau seperempat dari luas wilayah cagar biosfer. Berbagai bentuk perencanaan pengelolaan hutan disusun bersama Dewan Nasional Kawasan Lindung (Consejo Nacional de Áreas Protegidas, disingkat CONAP) yang dibentuk oleh negara dan mendapat bantuan teknis dari berbagai organisasi lingkungan hidup internasional.

Menariknya, berdasarkan penelitian, kebakaran hutan di daerah konsesi merupakan yang paling sedikit ditemukan di RBM. Selain itu terkait konservasi, dilaporkan pohon-pohon mahoni pun terpelihara dengan baik.

Kesebelas konsesi ini bertanggung jawab untuk mengelola sumber daya kayu, khususnya mahoni dan cedar, juga berbagai produk HHBK seperti benih pohon ramón dan daun xate. Menurut data ACOFOP pendapatan masyarakat sekitar USD 2 juta per tahun dari pengelolaan hutan di wilayah konsesinya.

Kunci keberhasilan, menurut Mario Rivas, adalah adanya organisasi kerja. Setiap komunitas pengelola hutan memiliki badan hukum yang mengelola di konsesinya masing-masing. Dalam wadah yang lebih besar, semua pengelola ini dinaungi oleh ACOFOP. Lewat ACOFOP pula lah, mereka bisa memberi masukan dan membuka dialog dengan pemerintah.

“Termasuk kami telah mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi untuk menghentikan beberapa aturan perundangan yang bertentangan dengan model pengelolaan yang ada,” jelasnya.

Melalui ACOFOP pula, masyarakat melaksanakan berbagai perencanaan pembangunan bersama.

“Kami sudah memiliki rencana keamanan dan pengawasan, rencana pencegahan kebakaran, rencana investasi dan perangkat monitoring atau evaluasi konsesi, yang dipaparkan setiap tahun untuk disetujui oleh CONAP sebagai rencana tahunan,” ungkap Rivas.

 

Delegasi Indonesia di fasilitas penggergajian milik masyarakat Uaxactun. Perwakilan masyarakat sedang memberi penjelasan tentang cara mereka mengelola sumberdaya hutannya. Foto: Carolina Gamazo.

 

Hasilnya pada tahun 2003 dari kesepakatan masyarakat, mereka membentuk satu perusahaan Forescom, untuk melakukan proses finishing produk olahan kayu dan penjualan secara grosir.

“Masyarakatlah adalah pemilik perusahaan ini, namun tidak mengikat dalam pemasaran. Lebih dari setengah hasil panen mereka boleh dijual langsung, dan hanya usaha yang dinilai menguntungkan untuk kedua pihak dilakukan secara kemitraan,” jelas Spencer Ortiz, general manager perusahaan ini ketika menjelaskan di depan para delegasi yang mengamati berbagai bentuk hasil olahan kayu jadi.

Dia pun menjelaskan berbagai mesin yang digunakan untuk pengeringan dan pemotongan.

Bagi Zainuri Hasyim, salah seorang anggota delegasi hal ini menarik perhatiannya. Forescom telah membuktikan bahwa model perusahaan yang dimiliki oleh masyarakat dapat berjalan. “Semua ini menjadi suatu tantangan besar untuk kita dapat mewujudkannya di Indonesia, tentunya perlu penyesuaian,” jelasnya.

Pengalaman pengorganisasian hutan oleh para komunitas di Guatemala ini diharap dapat menjadi titik awal bagi delegasi Indonesia. Walaupun terdapat konteks yang berbeda tentang hutan dan model kepemilikannya, Cagar Alam Biosfer Maya dapat dijadikan rujukan untuk pengelolaan sumberdaya alam yang berkelanjutan, dimana tangan manusia tidak selalu disamakan dengan perusak hutan.

“Pengalaman di Guatemala tentu tidak akan sama [dengan Indonesia]. Akan tetapi negara di Amerika Tengah ini telah menjadi ujung tombak dalam hal konsesi hutan. Juga telah mematahkan pemikiran bahwa untuk melestarikan hutan tidak boleh ada campur tangan manusia. Sekarang kita dapat melihat bahwa hal itu dapat dilakukan,” tutup Benjamín Hodgdon. [Diterjemahkan dari bahasa Spanyol ke bahasa Indonesia oleh Michel H Mercado].

 

Diadaptasi dari artikel asli : Guatemala la Reserva de la Biosfera Maya como ejemplo para salvar bosques en Indonesia.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,