Citarum Masih Saja Tercemar Tiap Tahun

Hari lingkungan hidup internasional diperingati setiap tanggal 5 Juni. Kalangan mahasiswa sudah mulai menyikapi persoalan lingkungan yang terjadi dewasa ini. Adalah Sungai Citarum yang jadi sorotan perihal sengkarut permasalahannya yang tak kunjung tuntas.

Seperti diketahui, sungai sepanjang 297 kilometer ini terus dihinggapi berbagai persoalan klasik selama bertahun – tahun. Mengingat sungai memiliki peran stategis dalam menunjangseluruh aspek kehidupan. Seyogyanya mesti ada kejelasan mengenai masa depan Sungai Citarum yang sarat akan nilai sejarah tersebut.

Fenomena itu menjadi topik diskusi yang diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Kabupaten Bandung. Mengangkat tema “Refleksi dan Proyeksi Peran Pemerintah Jawa Barat dalam Mewujudkan Pengelolaan Sungai Ciatarum dari Hulu ke Hilir”. Diskusi sekaligus buka puasa bersama itu dihadiri puluhan mahasiwa dari berbagai jurusan di kampus UIN Sunan Gunung Djati Bandung.

 

 

Hadir pula Kepala Bidang Konservasi Lingkungan dan Perubahan Iklim Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Jawa Barat Dewi Nurhayati, Direktur Walhi Jawa Barat, Dadan Ramadan, Redaktur Mongabay Indonesia Nur R Fajar dan Perwakilan Kelompok Pencinta Alam Mahapeka Bandung Siti Dzakiyah.

Ketua Pelaksana, Iqbal Reza Satria mengatakan, diskusi Citarum merupakan bentuk refleksi dari keprihatinan akan kerusakan lingkungan dan bencana yang terus terjadi.

Menurut dia, jangan sampai bencana yang terus berulang itudijadikan sebagai proyek politik. Sementara, inti masalahnya yang mesti dibenahi tidak tersentuh sama sekali. Masyarakat juga jangan diposisikan sebagai korban.

Sebab berdampak pada tumbuhnya sikap pragmatis di masyarakat. Harusnya masyarakat dibina dan disadarkan bahwa masyakat juga merupakan bagian dari perubahan.

Sebagai kaum terpelajar, kata dia, sudah seharunya kita mengawal kebijakan pemerintah terutama soal pembangunan. Dia melanjutkan, pemerintah seolah – olah membuat indikator tersendiri bahwa kemajuan pembangunan diukur dari segi ekonomi semata. Justru malah mengabaikan pembangunan berkelanjutanyang didalamnya ada aspek keseimbangan lingkungan.

“Digelarnya diskusi ini yaitu ingin menyamakan cara pandang dan pemahaman terlebih dulu bagi mahasiswa dan kader HMI. Sehingga di hari lingkungan internasional 5 Juni 2017, kami melakukan aksi turun ke jalan dengan tujuan sama. Yakni mengkampanyekan betapa pentingnya keselarasan lingkungan,” kata di Aula Perpustakaan UIN Bandung, Jalan A.H Nasution, Kota Bandung, Jumat (2/6/2017).

 

Aktivis Greenpeace aksi damai menandai pipa pembuangan sejumlah pabrik di Majalaya, Bandung, Jawa Barat, dengan membentangkan banner pesan berbunyi “Saya pilih Citarum Bebas Racun”. Aksi ini adalah satu dorongan bagi pemerintah segera mengambil langkah menghentikan industri meracuni aliran sungai penting ini. Foto: Greenpeace

 

Direktur Walhi Jabar, Dadan Ramadan mengatakan, sudah sejak lama rencana pengentasan permasalahan Citarum sudah dilakukan oleh pemerintah. Triliunan dana APBD dan APBD, bahkan pinjam luar negeri pun turut andil membiayai program penanganan Citarum.

Mulai dari UCBFMP, GNRHL, Citarum Bergetar, ICWRMIP, Citarum Bestari hingga proyek-proyek berbasis CSR pun tidak membuahkan perbaikan dan pemulihan lingkungan DAS Citarum.

Dia menerangkan, program – program itu juga tidak bisa menjawab akar permasalahan. Masalah banjir saja belum terjawab hingga kini.

Selama kurun waktu 30 tahun, sekitar Rp4,5 triliun dari proyek-proyek Citarum ternyata belum dapat menyelesaikan berbagai masalah lingkungan dan sosial seperti pencemaran limbah industri, sampah rumah tangga, lahan kritis di daerah tangkapan air, alihfungsi wilayah-wilayah resapan dan tata guna lahan serta banjir di hulu dan hilir Citarum.

Masalah kawasan hulu di DAS Citarum seperti lahan kiritis, belum ada perubahan signifikan. Menurut data Walhi, kawasan hulu DAS Citarum jumlahnya masih tetap sama—malah ada kecendurungan terus bertambah.

 

Sungai Citarum di Jawa Barat yang tercemar karena buangan limbah dari industri. Foto : Greenpeace

 

Kepala Bidang Konservasi Lingkungan dan Perubahan Iklim DLH Jabar, Dewi Nurhayati mengakui, permalasalahan Citarum begitu kompleks tidak hanya sebatas kerugian ekonomi serta banjir. Banyak potensi kerusakan lainnya yangberupa persoalan lingkungan dan sosial yang diakibatkan oleh salah urus DAS dan SUB DAS Citarum baik di hulu, tengah dan hilir.

Berdasarkan data DLH Jabar, tahun 2012 jumlah lahan kritis di hulu Citarum mencapai 117.246 hekatre. Sedangkan pencemaran masih didominasi limbah domestik dan industri.

Dia mengatakan, program pemulihan Citarum sudah dilakukan sejak tahun 2010 dengan berkolaborasi bersama beberapa pihak terkait. Untuk soal pelanggaran, DLH telah membentuk Tim Satgas Lingkunggan Terpadu yang diintruksikan melakukan penindakan.

Selain itu, pengembangan desa eco village dibantaran Sungai Citarum terus dilakukan guna menyosialisasikan kepada masyarakat supaya mulai peduli terhadap lingkungan.“Kami melaksanakan program sesuai kewenangan. Dan berupaya melakukan pemulihan seoptimal mungkin. Karena pengelolaan Citarum masih pada pemerintah pusat. Sehingga ada keterbatasan,” kata Dewi disela – sela diskusi.

Sementara itu, Redaktur Mongabay Indonesia Nur R Fajar menilai, permasalah di Sungai Citarum begitu besar. Kasus perambahan hutan dan ruksaknya vegetasi DAS serta pencemaran limbah belum terselesaikan. Tentu semua pihak tidak tinggal diam melihat Citarum dewasa ini, banyak upaya yang dilakukan baik pemerintah dan non pemerintah.

Sebetulnya, kata dia, Undang – Undang Nomer 32 Tahun 2009 sudah dengan jelas mengatur tata kelola lingkungan. Hanya saja penegakan hukum terhadap lingkungan agak sulit ditegakkan.

“Mungkin lewat mahasiswa upaya konservasi lingkungan dapat terus digalakkan. Misalnya, bisa dengan melakukan advokasi melalui gerakan atau aksi. Mungkin juga bisa dengan kegiatan yang soluktif dimulai dari hal terkecil. Yang terpenting adanya peran untuk perbaikan Sungai Citarum,” kata Fajar yang akrab dipanggil Jay.

Jay menegaskan, Mongabay sendiri concern terhadap permasalahan lingkungan di nusantara termasuk di daerah Bandung Raya. Apabila kuncinya ada dipenyadartahuan kepada semua pihak, maka sudah sepantas hal itu terus dilakukan secara konsisten.

 

Kondisi Sungai Citarum di Desa Rajamandala Kulon, Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung Barat, Sabtu (12/11/2016). Akibat derasnya arus sungai menengelamkan 1 jembatan proyek PLTA Saguling. Foto : Dony Iqbal

 

Dia mencontohkan, Sungai Ciliwung tidak berbeda jauh dengan kondisi Sungai Citarum. Kedua sungai tersebut merupakan sumber air bagi daerahdi sepanjang alirannya. Tetapi, yang membedakan adalah di Ciliwung tumbuh masayarkat yang dengan sadar mengadvokasi tidaknya dibantaran sungai, namun sudah sampai hilir.

“Hal itu menunjukan progres yang baik dan rutin digelar bersih Sungai Ciliwung. Sungai Citarum pun sudah harus muncul kesadaran yang sama, agar menjadi dorongan adanya perbaikan,” kata dia menambahkan.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,