Sikapi Gugatan Asosiasi Bisnis, Begini Upaya Mereka Jaga UU Lingkungan

 

Kamis, 8 Juni 2017, Walhi, Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) akan mengajukan permohonan para pihak (gugatan intervensi) terkait judicial review UU Lingkungan Hidup dan UU Kehutanan oleh APHI dan GAPKI kepada Mahkamah Konstitusi.

”Kita menyiapkan permohonan para pihak agar hukum kita memiliki pemberdayaan melawan kejahatan lingkungan,”  kata Henry Subagyo, Direktur Eksekutif  ICEL, di Jakarta,Selasa  (6/6/17). Keduanya, mengajukan permohonan mengacu pada pasal-pasal yang diuji materi oleh kedua asosiasi perusahaan itu.

Henry menilai, UU 32/2009 ini terbit berdasarkan refleksi kegagalan hukum dalam penanganan persoalan lingkungan hidup dari hulu ke hilir, dimana sebelumnya UU 23/1997. UU itu, baru sebatas berbicara pada pengelolaan lingkungan hidup, belum menyentuh persoalan perlindungan dan pengelolaan serta lemahnya penegakan hukum.

Baca juga: Panas dengan Hukum Kebakaran Huran, Asosiasi Pengusaha Kayu dan Sawit Gugat UU Lingkungan

Nur Hidayati, Direktur Eksekutif Walhi Nasional menilai, UU lingkungan ini menitikberatkan pada aspek perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

”Upaya GAPKI dan APHI ini merugikan posisi lingkungan hidup yang kami wakili karena strict liability ini membawa semangat perlindungan dari korban dari upaya maupun aktivitas berbahaya bagi lingkungan,” katanya.

Meski demikian, keduanya menilai hingga kini gugatan kasus kebakaran hutan dan lahan masih sangatlah minim. Baru satu yang putus, yakni PT Waringin Agro Jaya yang masih proses banding. Ada empat proses persidangan lain.

”Pasal strict liability ini belum banyak negara dalam menggugat kerusakan lingkungan oleh korporasi. Seharusnya, ini justru lebih banyak didayagunakan ke depan, bukan justru dihapus atau reduksi makna dan substansinya,” ucap Yaya, panggilan akrab Nur Hidayati.

Aksi Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) dan Gabungan Pengusaha Sawit Indonesia (GAPKI) ini, katanya, merupakan salah satu upaya perlawanan. Seharusnya, kata Henry, di tengah situasi seperti ini, asosiasi memberikan sumbangsih dan solusi bukan hanya untuk anggota, namun bagi Indonesia.

Isna Fatmawati, peneliti ICEL sekaligus kuasa hukum menegaskan judicial review ini tak hanya berbicara terkait lingkungan hidup juga kemanusiaan.

 

Kearifan lokal

Ketiga organisasi masyarakat sipil ini pun juga akan mengajukan gugatan, khusus menitikberatkan pada Pasal 69 ayat (2) UU Nomor 32/2009.

”Pasal 69 ini harus dipertahankan mati-matian, AMAN khusus mengajukan dalam pihak terkait langsung Pasal 69,” kata Muhnur Satyahaprabu, dari Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara.

Dia menilai, pasal ini sangat berdampak langsung baik kewenangan maupun hak-hak masyarakat adat.

”Kami melihat persoalan ini krusial, dari pengajuan material itu untuk mencabut pasal yang melindungi kearifan lokal,” ucap Tommy Indriadi Agustin, dari Devisi  Advokasi Pengurus Besar AMAN.

Pasal ini,  katanya, jadi alat pengakuan keberadaan masyarakat adat dengan segala aktivitasnya. Kalau gugatan APHI dan GAPKI terkabul, masyarakat adat bakal jadi sasaran.

”Pasal ini penting untuk intervensi, karena perlu disampaikan. Perlindungan dan pengakuan masyarakat adat ini bisa bias jika pasal ini dihapuskan.”

Muhnur menegaskan, masyarakat adat sudah ada sebelum korporasi datang. ”Eksistensi dan aktivitas masyarakat adat sudah diakui sah secara hukum dan negara memberikan kuasa pada mereka,”

Menurut dia, alasan jadi penggugat intervensi karena tiga faktor. Pertama, banyak kawasan adat masuk dalam konsesi kehutanan maupun perkebunan skala besar. ”Bahkan masih banyak konflik sampai sekarang belum selesai,” katanya.

Kedua, dari kondisi itu, para pengusaha hendak merebut tanah secara ilegal. Ketiga, pengusaha seakan mau melempar tanggung jawab kepada masyarakat adat.

 

 

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,