Amos Ondi: Pegunungan Cyclops Seperti Ibu yang Sedang Sakit

Hujan deras mengguyur. Seorang perempuan turun dari motor. Setengah berlari ia menuju rumah yang halamannya ditanami pohon pinang. Tangannya membawa selembar kertas terbungkus plastik. Pintu rumah diketuk sambil mengucapkan salam. Sekira setengah jam lamanya menunggu, keluarlah seorang lelaki berkacamata dengan rambut penuh uban, ditemani cucu perempuannya.

“Bapak, saya mau antar undangan. Bapak diundang besok ada penanaman 400 bibit pohon sagu di pinggir danau Sentani,” jelasnya menyebut maksud kehadirannya.

Perempuan itu pegawai di Balai Lingkungan Hidup Kabupaten Jayapura. Undangan itu dalam rangka hari lingkungan hidup sedunia yang biasa digelar setiap tanggal 5 Juni. Ia pun memberi sebuah kaos warna putih sebagai dress code undangan.

“Terima kasih sudah diundang. Mudah-mudahan saya bisa hadir,” balas lelaki itu.

Lelaki itu Amos Ondi. Seorang Ondoafi, atau kepala suku. Dia adalah tetua di Kampung Sereh, Distrik Sentani, Kabupaten Jayapura. Hari itu, ia memakai jaket merah. Wajahnya sudah berkeriput dimakan usia. Jalannya melambat. Pendengarannya mulai terganggu. Sang cucu berkata, jika berbicara dengan kakeknya, harus dengan suara keras.

“Tanggal 26 Juni 2017 nanti, usia saya tepat 75 tahun,” ujar Amos.

Baca juga: Penting untuk Kota dan Kabupaten Jayapura, tapi Mengapa Pegunungan Cyclops Malah Terancam?

Di Kampung Sereh, ada empat kepala suku, dan satu Ondofolo (pemimpin adat). Ia sendiri kepala suku untuk marga Ondi yang memiliki hak ulayat; terbentang mulai dari air terjun pegunungan Cyclops, yang berstatus cagar alam, hingga ke danau Sentani.

Masyarakat adat yang mendiami Sentani katanya, memiliki aturan adat sendiri dalam mengelola kawasan Cyclops. Adat telah mengatur dimana wilayah yang terlarang untuk dimasuki dan mana yang boleh. Begitu pun dengan zona berburu, hingga memilih kayu mana yang boleh diambil atau tidak.

Suku asli tuturnya, punya hak ulayat dan zona ekologi tradisional. Sehingga pada saat mengambil kayu sebagai pemenuhan kebutuhan mereka, tetap diamanatkan untuk menjaga hutan dengan baik.

“Masyarakat adat di Sentani mengambil kayu yang ada di gunung Cyclops untuk membuat tiang rumah dan membuat perahu. Tapi kami tetap jaga hutan Cyclops karena sudah ada aturan adatnya,” ungkap Amos.

 

Cyclops adalah Ibu yang Sakit

Namun Amos terlihat tidak bisa menutupi kegelisahannya. “Saya sekarang sangat kecewa. Pegunungan Cyclops itu bagi kami masyarakat adat adalah ibu. Dia macam kami punya harga diri. Dia sekarang sedang sakit. Kita harus jaga dan rawat dia,” ujarnya.

Amos patut kecewa. Banyak sekali penebangan pohon di Cyclops, juga pembukaan lahan untuk dijadikan kebun yang dilakukan pendatang. Bahkan ada pula penambang emas yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi.

“Kenapa pemerintah tidak mampu selesaikan persoalan Cyclops? Padahal mereka punya kuasa. Kalau alasannya dana, mereka bisa keluarkan milyaran rupiah untuk olahraga, tapi kenapa untuk masa depan Cyclops pelit sekali keluarkan anggaran?”

Amos pun bercerita tentang masa lalunya, ia berkisah pernah bekerja di PPA (Perlindungan Pelestarian Alam) kemudian di BKSDA (Balai Konservasi Sumber Daya Alam) sebagai petugas lapangan, mulai tahun 1982 hingga tahun 2005. Ia sering melakukan patroli bersama dengan petugas dan sempat menyita kayu suwang, kayu endemik Papua yang biasa dijadikan bahan arang bakar ikan.

“Saya pernah sita kayu suwang. Warga yang marah lalu lapor polisi yang kebetulan seasal dengannya. Saya ditembak tiga kali dari jarak tiga meter oleh polisi itu. Beruntung saya tidak apa-apa,” ungkapnya.  Amos pun lalu menyebut asal nama salah satu wilayah kabupaten di pegunungan tengah yang menurutnya, warganya banyak mengambil kayu suwang.

Aksi Amos dalam menyelamatkan lingkungan mendapatkan apresiasi dari pemerintah provinsi dengan memberikannya penghargaan sebagai pemerhati lingkungan pada tahun 2008.

Karena kepeduliannya dengan alam pulalah, Amos tak segan-segan menghibahkan tanah miliknya pada WWF, sebuah lembaga konservasi untuk mereka bangun kantor. Dia tergerak, saat melihat lembaga itu selalu berpindah-pindah domisili. Padahal menurutnya, lembaga itu bekerja untuk pelestarian lingkungan di Papua.

 

Kawasan pegunungan Cyclops yang membentang di Kabupaten dan Kota Jayapura. Cyclops penting sebagai sumber air dan kekayaan hayatinya. Foto: Musa Abubar

 

Proses jual beli tanah

Sebagai Ondoafi kampung Sereh, Amos mengaku sering didatangi orang-orang pendatang untuk negosiasi membuka lahan di pegunungan Cyclops dengan sejumlah uang atau upeti lainnya. Namun Amos tetap teguh tidak memberi atau menjual wilayah ulayatnya.

“Saya tidak butuh uang. Saya dipilih sebagai kepala suku bukan untuk jual tanah.”

Amos tidak menampik jika ada beberapa Ondoafi yang telah menjual tanah kepada masyarakat pendatang dari pegunungan. Menurutnya, mereka yang menjual tanah tidak berpikir jangka panjang, termasuk memikirkan masa depan anak cucu mereka.

Menurut Amos, ia tidak menginginkan masyarakat adat atau masyarakat asli merasa terasing di tempatnya sendiri dengan menjual tanah kepada pendatang. Ia mencontohkan kampung Waena Distrik Heram, Kota Jayapura, yang membuat masyarakat aslinya terpinggirkan.

“Orang-orang asli di Waena itu mirip warga Betawi di Jakarta yang semakin terpinggirkan,” jelasnya mengambil perbandingan.

Amos pun prihatin, saat sekarang banyak masyarakat pendatang yang tetap memaksa untuk membuka lahan atau menebang pohon. Bahkan membangun permukiman. Menurutnya, hal ini akan menyebabkan kawasan penyangga Cyclops habis.

“Siapa yang ambil sembarang tanpa izin dia akan dapat petaka. Ada banyak kasus orang meninggal karena ambil sembarang. Itu alam yang kasih hukuman. Mereka yang menciptakan bencananya sendiri,” tutupnya.

Amos mengaku malu kepada anak cucu kelak, jika tidak mampu menahan laju kerusakan Cyclops yang saat ini marak.

“Saya sudah menikmati keindahan alam. Tapi anak cucu kita nanti bisa jadi hanya melihat gambar saja keaslian hutan, burung, dan hewan lainnya. Nanti anak cucu bilang kita ini generasi dari orang-orang tua yang tidak bertanggung jawab.”

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,