Cerita Upaya Lindungi Satwa dari Desa Rumah Kinangkung

 

 

Pagi itu, medio Mei 2017, suasana di Desa Rumah Kinangkung, Kecamatan Sibolangit, Deli Serdang, Sumatera Utara (Sumut), terasa tenang dan damai. Gemercik air sungai nan jernih mengalir melalui gorong-gorong menuju rumah-rumah warga. Air ini buat keperluan sehari-hari, mulai mencuci, mandi sampai sebagai air minum.

Sejumlah pria duduk warung terletak di sudut Desa Rumah Kinangkung. Sambil meneguk segelas kopi hangat, dengan logat Suku Karo, mereka membincangkan segala macam topik.

Desa ini dekat hutan Taman Wisata Alam (TWA) Sibolangit. Kawasan yang memiliki beragam satwa dan tumbuhan dilindungi, seperti trenggiling, kukang, kucing hutan dan lain-lain. Hutan kaya inipun tak terlewat dari incaran perburuan satwa.

Desa-desa sekitar hutan penting menjadi benteng penjaga lingkungan sekitar mereka, termasuk Desa Rumah Kinangkung.

Sejumlah kalangan, salah satu Indonesian Speciest Conservation Program (ISC), terus menerus kampanye penyadartahuan kepada masyarakat soal larangan berburu, memperdagangkan apalagi membunuh satwa dan tumbuhan dilindungi.

Di Desa Rumah Kinangkung ini, Rudianto Sembiring, Direktur ISCP bersama tim mendatangi warga, mengetuk pintu rumah sambil memberikan selebaran berisikan perlindungan terhadap tumbuhan dan satwa liar. Di warung kopi tempat biasa para pria berkumpul tidak ketinggalan. Kampanye dilakukan pakai bahasa daerah setempat, yaitu Suku Karo.

Rudianto mengatakan, para pemburu selalu memanfaatkan warga desa yang berdekatan dengan hutan. Hal itu terjadi, katanya, karena jaringan pemburu satwa dilindungi menganggap banyak warga desa tak tahu ada satwa dilindungi. “Memanfaatkan ketidaktahuan masyarakat desa sekitar hutan, membuat mereka bisa bebas menjalankan aksi,” katanya.

Ketika ada operasi penindakan, yang ditangkap hanya warga desa, otak pelaku dan jaringan bebas berkeliaran serta terus menjalankan aksi.

“Banyak ditangkap sebatas pemburu, notabene warga desa sekitar hutan. Otak pelaku lepas. Mereka ini yang tahu kalau aksi mereka salah, melanggar UU.”

 

Warga datang menyerahkan trenggiling yang ditemukannya. Foto: Ayat S Karokaro

 

Untuk Desa Rumah Kinangkung, ucap Rudianto, mereka sudah berulang kali memberikan penyadartahuan kepada masyarakat  dan dianggap sangat berhasil. Warga desa mulai mengerti.

Warga sudah tahu bahaya kalau menangkap satwa dilindungi. Rumah Kinangkung,  bisa jadi contoh bagi desa-desa lain yang dekat hutan bagaimana membantu menjaga kawasan dari ancaman perburuan dan perdagangan satwa dilindungi.

“Ini tidak bisa dilakukan ISCP sendiri. Perlu bersama pihak lain. Kampanye langsung ke basis sangat penting, agar mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Kami akan terus lakukan ini, bukan saja di desa ini.”

 

Serahkan trenggiling

Kala kampanye ISCP itu, tiba-tiba seorang warga desa dengan santai menenteng satu trengiling. Tim terkejut. Pria itu mendekati Rudianto, tetap tanpa bicara mengangkat trenggiling agak tinggi.

Pria bernama Putra Alam Tarigan ini lalu berucap kalau ingin menyerahkan trenggiling pada ISCP untuk dilepasliarkan ke alam.

Rudianto langsung menerima, dan menyerahkan pada petugas BKSDA yang ikut hadir. Tim medis memeriksa kesehatan trenggiling betina dan kondisi sangat sehat. ISCP merekomendasikan agar BKSDA segera merilis satwa ke alam.

“Saya kira tadi abang itu mau marah. Rupanya sebaliknya. Dia sadar betul kalau satwa ini dilindungi.”

Putra Alam Tarigan, kepada Mongabay mengatakan, dulu, sebelum ada kampanye perlindungan satwa, trenggiling salah satu buruan karena harga mahal.

Satwa bernama lokal wiskir ini banyak ditemui di desa, terlebih kala usai hujan turun. Harga per kilogram mencapai Rp600.000, jadi pemicu sasaran buruan. Mungkin sudah ratusan ekor terjual kepada para penampung yang khusus datang ke desa mereka, termasuk Putera.

Dia bilang, pembeli datang modus macam-macam, seperti bawa mobil bak terbuka, berisi ikan, di bawah tong ikan ada tempat khusus menyimpan trenggiling baik mati ataupun hidup.

Dia sempat melihat dalam drum plastik viber, puluhan trenggiling mati sudah dikuliti. Para pembeli dulu datang kapan saja jika dihubungi sejumlah warga desa yang menemukan trenggiling.

“Itu dulu. Sekarang udah enggak lagi. Walau saya dengar-dengar ada yang jual sembunyi-sembunyi. Kalau aku tahu aku ingatkan dia. Kalau bandel ku adukan petugas.”

Dia sempat mengetahui kalau satwa dilindungi ini, dibawa ke Belawan. Disana pengumpulan satwa-satwa ini lalu ke luar negeri seperti Tiongkok, melalui pesisir Thailand.

“Sekarang kami sudah sadar kalau satwa-satwa ini perlu dilindungi dari ancaman kepunahan.”

 

Trenggilng serahan warga di kandang sementara. Foto: Ayat S Karokaro
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,