Asosiasi Usaha Coba Usik UU Lingkungan, Walhi-ICEL Masukkan Gugatan Intervensi

 

Tak hanya Walhi dan ICEL, masih banyak organisasi masyarakat sipil sampai akademisi akan melakukan gugatan intervensi serupa ke Mahkamah Konstitusi, seperti AMAN, dan Sawit Watch.

Beberapa orang terlihat sibuk di depan loket Penerimaan Perkara Konstitusi di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (8/6/17). Tampak tumpukan berkas di meja ruang tunggu. Ada soal permohonan jadi pihak terkait langsung, surat kuasa, daftar bukti, identitas pemohon sampai surat kuasa hukum.

Mereka ini para aktivis lingkungan yang akan mengajukan gugatan intervensi atas peninjauan kembali (judicial review) APHI dan GAPKI terhadap UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan UU Kehutanan.

Adapun pasal-pasal yang kedua asosiasi bisnis itu ingin hapuskan merupakan pasal pamungkas penjerat pembakar hutan, yakni Pasal 69 ayat (2), Pasal 88, Pasal 99 UU PPLH dan Pasal 49 UU Kehutanan.

Sekitar pukul 13.30, kuasa hukum Walhi dan ICEL menyerahkan berkas kepada Mahkamah Konstitusi. Para advokat dan konsultan hukum tergabung dalam Tim Advokasi untuk Keadilan Lingkungan Hidup dan Kemanusiaan antara lain Andi Muttaqien, Isna Fatimah, dan Mualimin Pardi Dahlan.

”Hari ini Walhi dan ICEL daftarkan resmi sebagai pihak terkait dalam permohonan (uji materi) APHI dan GAPKI,” kata Nur Hidayati, Direktur Eksekutif Walhi Nasonal di Gedung MK.

Langkah ini, kata Yaya, biasa disapa, sebagai bentuk keprihatinan atas upaya pelemahan hukum bagi perlindungan lingkungan di Indonesia. UU Lingkungan Hidup ini, katanya, jadi hukum progresif dalam menindak kejahatan lingkungan. Tak hanya berbicara kebakaran hutan, juga ancaman pencemaran limbah bahan beracun berbahaya dan lain-lain.

Baca juga: Panas dengan Hukum Kebakaran Huran, Asosiasi Pengusaha Kayu dan Sawit Gugat UU Lingkungan

Henri Subagiyo, Direktur Eksekutif ICEL mengatakan, aksi asosiasi jadi langkah pelemahan hak asasi manusia, terutama hak warga negara atas lingkungan hidup bersih dan sehat.

”Kami mohon tetap mempertahankan pasal-pasal yang diajukan dalam uji materi ini,” katanya.

Pasal-pasal itu, katanya, jelas tak bertentangan dengan UUD 1945, hingga tak ada sebuah alasan majelis membatalkan keputusan ini.

Gugatan intervensi ini, katanya, hendak membantu majelis hakim dalam mendapatkan masukan dari berbagai perspektif terkait peninjauan kembali asosiasi.

”Jadi masukan bisa lebih kaya. Berharap putusan memihak pada hak konstitusional negara dan masyarakat atas lingkungan hidup.”

Andi Muttaqien, mengatakan, dengan ajukan intervensi sebagai pihak terkait, bisa mengajukan bukti dan argumentasi, saksi dan ahli dalam persidangan.

Mualimin bilang, pengajuan uji materil ini bisa jadi periode buruk bagi lingkungan di Indonesia karena jelas memperlihatkan pelaku usaha tak berkomitmen dalam upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan.

Kualitas lingkungan kian menurun dan bencana alam kerap terjadi, katanya, harus jadi pertimbangan hakim.

 

Pengacara lingkungan tengah masukkan berkas gugatan intervensi ke MK. Foto: Lusia Arumingtyas

 

 

Pertanyakan legal standing

Sedangkan Isna menyoroti legal standing. Kedua pemohon, Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) dan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), katanya,  bukanlah pihak yang mengalami kerugian konstitusional.

”Ada dua hal kami dalilkan, tak ada kerugian langsung dan kerugian mereka tak ada hubungan sebab akibat,” katanya seraya jelaskan yang dianggap alami kerugian adalah pelaku usaha, bukan asosiasi. ”Mereka tak penuhi unsur gugatan.”

Begitu juga, Pasal 69 ayat 2, pemohon menginginkan tak ada pengecualian pembakaran lahan, khusus oleh masyarakat adat. ”Artinya mereka menuding seluruh kebakaran karena masyarakat adat. Permohonan mereka ini prematur. Itu alasan yang mereka gunakan di pengadilan,” katanya. Seharusnya, pasal ini  digunakan saat persidangan umum, berdasarkan kasus per kasus.

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) pun akan mengajukan permohonan ke MK, khusus terkait pasal ini. Mereka sedang menyiapkan berkas intervensi khusus Pasal 69 ayat 2. ”Besok kita akan masukkan,” kata Muhnur Satyahaprabu, dari Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nasional.

Tim Advokasi Keadilan Perkebunan, terdiri dari Sawit Watch, Indonesian Human Rights Commitee For Social Justice (IHCS) pun sedang tahapan konsolidasi dengan koalisi untuk pengajuan permohonan sama.

Selama ini, sudah banyak warga jadi korban kriminalisasi dari pembakaran lahan. Berdasarkan data Serikat Petani Kelapa Sawit, ada sekitar 629 warga menjalani proses hukum.

Pada persidangan lalu, pengusaha menuntut kesamaan perlakuan antara masyarakat adat dan asosiasi untuk sama-sama tak melakukan pembakaran lahan sedikitpun.

Gunawan dari Indonesian Human Rights Commitee for Justice mengatakan, aturan antara pengusaha dan masyarakat tak bisa disamakan. ”Secara konstitusional, menyamakan petani dan korporasi itu diskriminasi,” katanya.

Andry dari SPKS mengatakan, negara wajib melindungi petani karena keterbatasan mereka mengakses modal dan teknologi. Terlebih, katanya, bakar lahan oleh masyarakat jadi bagian siklus hidup.

Sandra Moniaga, Komisioner Komnas HAM menegaskan, bahwa ada Pasal 69 saja masih banyak rakyat kena kriminalisasi. “Apalagi kalau tidak.”

Dia bilang, Pasal 18 H UUD 1945 menyatakan, setiap orang berhak mendapat lingkungan hidup yan baik dan sehat. Prinsip HAM umumnya, merupakan kewajiban negara melindungi, menghormati dan memenuhi hak-hak masyarakat.

”UU 32/2009 sudah memberikan basis perlindungan. Kalau pasal-pasal dicabut, itu sebuah kemunduran besar.”

Dia bilang, Pasal 69 ayat 2 merupakan identitas, tradisi dan bagian dari peradaban berupa kearifan lokal yang perlu diakui dan dihormati negara. ”Para penegak hukum perlu memahami terkait kearifan lokal, mana praktik pembakaran lahan masyarakat yang menggunakan kearifan lokal dan tidak.”

Selain melalui proses hukum, kata Yaya, mereka akan memberikan pendidikan kepada publik tentang penting pasal-pasal krusial yang hendak di uji materi di MK. Kerugian tak hanya pada sosial ekonomi dan kesehatan masyarakat, juga pada beban pemerintah untuk biaya restorasi.

”Perlakuan pelaku usaha tak boleh dilimpahkan pada masyarakat, mereka (perusahaan) berbuat maka bertanggungjawab.”

 

Kebakaran hutan dan lahan bak jadi agenda rutin. Kini, Gapki dan APHI mengajukan gugatan peninjauan kembali UU Lingkungan Hidup ke MK, terkait pasal kebakaran hutan dan lahan. Kedua asosiasi kambinghitamkan warga sebagai penyebab kebakaran dan rugikan pengusaha karena harus tanggung akbat. Tudingan mereka langsung dapat banyak perlawanan. Foto: Sapariah Saturi

 

Lepas tanggung jawab dan kambinghitamkan warga

Rasio Ridho Sani, Direktur Jenderal Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengatakan, uji materi asosiasi merupakan upaya melepas tanggung jawab dan mengkambing-hitamkan masyarakat atas ketidakmampuan korporasi sebagai pemegang izin, dalam menanggulangi kebakaran hutan dan lahan di konsesi mereka.

Judicial review APHI dan GAPKI ini refleksi ketakutan terhadap tindakan tegas pemerintah atas kejahatan pembakaran hutan dan lahan yang mereka lakukan,” katanya melalui pesan singkat.

Sebagai asosiasi, seharusnya APHI dan GAPKI menjadi mitra pemerintah dalam membangun perilaku korporasi taat hukum. ”Bukan malah menyalahkan pasal-pasal dalam UU dengan melakukan JR(judicial review-red).”

Dia jelaskan, penerapan pasal strict liability (tanggung jawab mutlak), Pasal 88 UU Lingkungan sangat membantu penggugat dalam mengajukan gugatan ganti rugi dan atau tindakan pemulihan lingkungan hidup. ”Ini kemunduran apabila penerapan strict liability dihilangkan.”

Adapun, beberapa perkara perdata yang didorong menggunakan strict liability seperti kasus kebakaran hutan dan lahan, PT Bumi Mekar Hijau (dikabulkan Pengadilan Tinggi Palembang), PT Waringin Agro Jaya (dikabulkan PN Jakarta Selatan). Kasus sedang proses persidangan, PT Palmina Utama dan PT Ricky Kurniawan Kertapersada.

Gugatan KLHK murni menggunakan strict liability dan masih proses persidangan, yakni PT Waimusi Agroindah (PN Palembang) dan PT Agro Tumbuh Gemilang Abadi (PN Jakarta Utara).

Adapun, gugatan yang dikabulkan dan sedang persiapan eksekusi seperti PT Merbau Pelalawan Lestari (Rp16,2 triliun), PT Kalista Alam (Rp360 miliar), PT Jatim Jaya Perkasa (Rp491 Miliar), dan PT National Sago Prima (Rp1,072 triliun).

Selain itu, kata Roy, sapaan akrabnya, tindak pidana kelalaian dalam Pasal 99 juga memudahkan penegak hukum melaksanakan tugas, terutama tindak pidana korporasi.

 

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , , , , , , ,