Tata Kelola Keuangan Buruk? Ini Jawaban Kementerian Kelautan dan Perikanan

Sejak mendapatkan opini Tidak Menyatakan Pendapat (TMP) atau Disclaimer dari Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI), Kementerian Kelautan dan Perikanan hanya memiliki waktu selama 60 hari untuk memberikan tanggapan. Selama waktu terbatas itu, KKP harus mempelajari semua rekomendasi yang diberikan BPK RI dan memenuhinya dengan sempurna.

Inspektur Jenderal KKP Muhammad Yusuf di Jakarta pekan ini mengatakan, dengan memenuhi semua rekomendasi yang diberikan BPK RI, pihaknya berharap ada komunikasi lanjutan tentang Disclaimer yang sudah diterbitkan.

“Jika sudah terkumpul semua rekomendasi yang disyaratkan, ya kita serahkan kembali ke BPK RI. Nanti kita tunggu feedback dari mereka,” ungkap dia.

Menurut Yusuf, dengan dilakukannya komunikasi lanjutan dengan BPK RI, dia yakin bahwa status Disclaimer yang sudah diterbitkan bisa digantikan. Pasalnya, dia yakin bahwa status tersebut keluar bukan karena ada masalah pidana, melainkan karena masalah administrasi saja.

 

 

“Dengan cara begitu, kita bisa menunjukkan kepada publik bahwa KKP itu bersih, nggak ada korupsinya. Karena ini hanya masalah administrasi saja,” jelas dia.

Yusuf mengatakan, sejak KKP menerima laporan hasil pemeriksaan (LHP) yang dirilis pada Mei 2017, sejak saat itu kerja keras langsung dilakukan. Hal itu, karena waktu yang diberikan hanya sampai 31 Juni saja. Oleh itu, dalam satu bulan ini hingga akhir Juni 2017, pihaknya menargetkan semua rekomendasi sudah selesai dipenuhi.

Jika rekomendasi sudah selesai dipenuhi, Yusuf menyebutkan, langkah berikutnya yang akan dilakukan adalah melakukan konsultasi ulang dengan BPK RI. Konsultasi dilakukan untuk menemukan persepsi yang sama tentang Disclaimer yang sudah diterbitkan.

 

Perbedaan Nilai

Tentang hasil Disclaimer yang sudah diterbitkan BPK RI, Yusuf kembali menegaskan bahwa ada perbedaan penilaian antara KKP dengan lembaga pengawas tersebut. Perbedaan itu muncul, karena KKP saat diperiksa BPK RI masih belum memiliki data yang lengkap.

Menurut Yusuf, saat pejabat BPK RI datang ke KKP, mereka meminta data-data tentang keuangan KKP secara lengkap. Akan tetapi, saat diminta tersebut, pejabat KKP tidak bisa memenuhinya karena data yang diperlukan belum tersedia.

Salah satu penilaian yang diberikan BPK RI itu, kata Yusuf, adalah proyek pengadaan kapal senilai Rp209,22 miliar. Proyek tersebut dinilai janggal, karena antara pembayaran dan realisasi barang tidak ada sinkronisasi. Akibatnya, proyek tersebut diduga mengandung dana yang fiktif.

“Dari situ, timbullah pendapat dari BPK ada pengeluaran uang yang diyakini tidak dapat kewajarannya. Kenapa? Karena dokumen pendukung tidak ada,” ujar dia.

 

Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti berbincang dengan awak yang sedang mengubah struktur kapal. Susi bersama Satgas 115 melakukan inspeksi mendadak (sidak) ke Pelabuhan Benoa, Bali, pada Selasa (03/08/2016), dan menemukan 56 kapal eks asing telah memanipulasi struktur badan kapal dari fiber ke kayu. Foto : Humas KKP

 

Di sisi lain, Yusuf menambahkan, meski penilaian dari BPK RI masuk di akal, tetapi sebenarnya ada masalah administrasi yang menyebabkan penilaian tersebut muncul. Dia menyebutkan, salah satu yang menjadi kendala adalah Berita Acara Serah Terima (BAST) berkaitan dengan perpanjangan waktu pengerjaan kapal dari batas maksimal 31 Desember 2016 menjadi Maret 2017.

“Anda bayangkan, ini menyangkut dengan 56 galangan kapal. Menyebar di banyak tempat. Ada di Ambon (Maluku), NTT (Nusa Tenggara Timur), Sulawesi, Jawa, Kalimantan. Kemudian kapal-kapal yang jadi tadi, distribusinya pun luas. Ada yang ke Natuna, Papua, NTT. Ini perlu usaha yang besar,” papar dia.

Akibat lokasi yang berjauhan, Yusuf menyebut, pada saat BPK mengaudit, bukti data kapal belum ada. Hal itu, karena berita acaranya itu harus dibuat oleh koperasi yang menerima. Sehingga, itu sangat menghambat pengiriman data.

“Anda bayangkan kalau itu koperasinya ada di Natuna. Pas musim ombak tinggi. Bisa dibayangkan itu sulit,” tambah dia.

 

Audit Internal

Dengan segala keterbatasan tersebut, Yusuf mengaku saat ini pihaknya sedang bekerja keras untuk menunjukkan kepada publik bahwa KKP itu bersih dan bebas dari praktik korupsi. Selain itu, dia juga mengaku sedang membangun audit internal yang dilakukan sejak awal hingga akhir untuk setiap program kerja yang dilaksanakan pada setiap tahun buku.

“Kita tanyakan seperti apa detilnya. Anggarannnya, pelelangannya, dan lain-lain. Harapan saya, dengan cara begitu, kalaupun ada kesalahan, sejak dini kita bisa perbaiki. Kalau kemarin kan tidak,” tegas dia.

Dengan menerapkan audit seperti itu, Yusuf berharap, kekurangan yang muncul seperti jaringan belum terbangun antara pejabat dengan galangan kapal bisa diatasi. Dengan demikian, saat BPK RI melakukan penilaian, hasilnya diharapkan tidak seperti tahun ini.

 

Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti melihat langsung Kapal Pengawas Perikanan KKP Orca 1. Menteri KP meresmikan pengoperasian empat kapal baru pengawas perikanan di Dermaga Komando Lintas Laut Militer (Kolinlamil), Tanjung Priok, Jakarta, pada Jumat (08/04/2016). Foto : M Ambari

 

“Memang ada perencanaan kita waktu itu karena waktu yang sempit dan target yang keluar. Kita ingin berkontribusi bagi makmurnya negeri ini, khususnya nelayan. Nah, kapasitas mereka membuat kapal itu, ternyata tidak seperti yang kita perkirakan, lambat,” tutur dia.

Kendala seperti di atas, kata Yusuf, harusnya bisa diatasi jika audit internal dilakukan sejak awal. Karena belajar dari proyek kapal 2016, sistem yang diterapkan adalah pembuatan baru kemudian pembayaran. Itu berbeda dengan sistem yang berlaku adalah e-katalog yang meminta barang harus segera dibayar.

“Akibatnya, duitnya keluar, Desember (tanggal) 23 itu, duitnya diminta oleh mereka, tapi kapal baru 58 selesai. Dalam arti, kalau diputus, maka jadi mangkrak. Terpaksa dibayarlah. Karena mereka butuh modal,” tandas dia.

 

Pertimbangan Lain

Anggota BPK RI Rizal Djalil menjelaskan, pemberian opini TMP atau Disclaimer diberikan kepada KKP bukan didasarkan pada program pengadaan kapal yang dilaksanakan kementerian tersebut pada 2016. Melainkan, ada hal lain yang menjadi pertimbangan.

Di antara yang menjadi pertimbangan, kata Rizal, adalah realisasi belanja barang per 31 Desember 2016 yang menjadi batas akhir tahun buku. Dalam laporan tersebut, realisasi belanja barang dilaporkan sebesar Rp4,49 triliun.

Dalam realisasi belanja barang tersebut, Rizal menyebut, sebesar Rp209,22 miliar dihabiskan untuk membayar proyek pembangunan kapal perikanan yang akan diberikan kepada nelayan. Akan tetapi, pembayaran untuk pembangunan kapal tersebut yang sudah dilakukan secara tuntas, pada pengerjaan fisiknya justru belum tuntas terlaksana.

 

Suasana pengolahan ikan di Pelabuhan Perikanan Nizam Zachman Muara Baru, Jakarta Utara pada November 2016. Foto : Junaidi Hanafiah

 

Dari berita acara serah terima yang dilakukan pada 31 Desember 2016, Rizal menjelaskan, dari 756 kapal yang akan dibangun, baru 48 kapal yang berhasil diserahterimakan dari galangan kepada koperasi yang menjadi kelompok nelayan penerima bantuan kapal.

Akan tetapi, menurut Rizal, pihaknya kesulitan menentukan penilaian untuk angka yang dirilis resmi KKP tersebut. Pasalnya, dalam kaitan dengan realisasi belanja barang tahun buku 2016 tersebut, BPK RI tidak mendapatkan bukti pemeriksaan yang cukup dan tepat tentang kewajaran nilai tersebut.

Selain dari pengadaan kapal, Rizal merinci, BPK memberikan Disclaimer, juga karena pihaknya tidak bisa memberikan penyesuaian untuk angka proyek pengadaan mesin kapal perikanan yang nilainya mencapai Rp99, miliar. Nilai tersebut diproyeksikan untuk membuat 834 unit mesin kapal perikanan.

“Jumlah rupiah untuk mesin kapal itu adalah bagian dari saldo KKP hingga 31 Desember 2016 yang besarnya mencapai Rp854,1 miliar. Dari 834 unit, 467 unit berada di lokasi galangan, dengan 391 unit di antaranya tanpa berita acara penitipan,” papar dia.

Menurut Rizal, dari laporan saldo tersebut, BPK juga tidak mendapatkan bukti pemeriksaan yang cukup. Akibatnya, BPPK tidak bisa menentukan apakah diperlukan penyesuaian terhadap angka tersebut di atas ataupun tidak.

Faktor lain yang juga tak luput dari penilaian BPK RI, kata Rizal, adalah nilai aset tanah milik KKP yang mencapai Rp2,2 triliun per 31 Desember 2016. Dari nilai tersebut, terdapat aset tetap yang belum dilaporkan yang berasal dari perjanjian tukar guling atau ruislag tanah yang belum terselesaikan.

Tanah yang ditukar guling itu adalah seluas kurang lebih 469.870 m2 yang terletak di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Akan tetapi, dari data yang ada, tanah tersebut belum dicatat, disajikan, dan diungkapkan dalam laporan keuangan per 31 Desember 2016.

Untuk permasalahan tersebut, BPK RI juga mengklaim tidak bisa mendapatkan bukti pemeriksaan yang cukup dan tepat. Pasalnya, aset tanah tersebut tidak tersedia dalam bentuk informasi apapun di KKP. Akibatnya, untuk kasus tersebut, BPK juga tidak bisa menentukan apakah diperlukan penyesuaian terhadap angka tersebut ataukah tidak.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,