Ekosistem Bawakaraeng Menuju Kehancuran

 

Setelah menghabiskan sarapan di Pos 3 Gunung Bawakaraeng, dari arah Desa Lembanna, saya dan tiga rekan pendaki menapak tanjakan kedua yang curam menuju pos 4. Jalur-jalur air sudah kering. Puluhan orang dari rombongan pendaki lain telah mendahului. Beberapa jam kemudian, kami tiba di pos 5. Jumlah pendaki makin bertambah– mencapai ratusan. Ada yang menanjak,  ada menapak jalur turun.

Di pos 5 yang datar, saya menengadah melihat rute pendakaian menuju pos 6. Panas sudah makin menyengat. Badan  berkeringat. “Seperti jalur trek sepeda motor saja,” kata saya.

“Kayak bukanmi gunung,” kata Akbar, rekan pendaki saya.

Asap dari kobaran api masih melahap jalur itu. Para pendaki hanya mengandalkan sepatu atau mengambil beberapa potong kayu lalu memukul-mukul api yang menjilat. Kami cukup lama istirahat di pos 5, memperhatikan beberapa orang melakukan pendakian.

Ada satu rombongan membawa anak kecil usia sekolah dasar. Ada pendaki hanya pakai sendal jepit. Ada pula beberapa orang memanggul carier dengan wajan dan panci digantung di bagian luar tas. Atau bahkan matras yang bergelantungan. Terlihat tak ada persiapan matang.

Persiapan dalam olahraga penelusuran alam bebas memerlukan standar maksimal. Selain fisik terjaga, meminimalisir kecelakaan jadi sebuah pertimbangan paling utama. “Bagaimana kalau dia jalan, terus kaki kena batu. Atau tertusuk duri dan lain-lain. Bodoh sekali,” kata Akbar.

Kami mengunjungi Bawakaraeng pada Oktober 2015, ini bukanlah musim pendakian. Biasa pendakian massal dan massif menjelang Agustus. Ada ribuan pendaki berlomba-lomba menapak punggung kawasan itu, upacara bendera atau sekadar membuat foto sendiri lalu memamerkan di media sosial.

Beberapa orang pencinta alam bebas, menghardik kelakukan itu. Betapa tidak, sampah-sampah menumpuk di hampir seluruh kawasan Bawakaraeng. Ada sisa botol minuman keras. Ada plastik makanan instan sampai sisa pakaian. Akbar adalah seorang pendaki yang handal. Dia cerewet. Selama empat hari di kawasan itu, dia tak henti ngoceh.

Baginya, menatap Bawakaraeng membuat batin bergelora. Tutupan hutan rapat, rindang mulai tak tampak.

Dorothe Agnes Rampisela, pakar hidrologi dari Universitas Hasanuddin mengatakan, Bawakaraeng hampir tak memiliki kebanggaan, jadi gunung yang benar-benar sendiri.

“Di Jepang, bicara tentang Gunung Fuji semua masyarakat sangat antusias. Bagi orang Makassar, bicara Bawakaraeng pun sama membanggakan. Bedanya hanya di mulut. Hampir tak ada perhatian,” katanya.

Padahal, Bawakaraeng jadi sumber utama ketersediaan air di tujuh wilayah kabupaten: Makassar, Gowa, Takalar, Jeneponto, Bantaeng, Bulukumba, dan Sinjai. “Bawakaraeng adalah hulu. ia seperti payung dalam menjaga wilayah-wilayah itu. Ada ratusan ribu orang yang bergantung padanya setiap waktu.”

Sungai utama yang diciptakan Bawakaraeng adalah Jeneberang. Batang sungai ini bermuara di pesisir Makassar. Daerah Aliran Sungai (DAS) hampir meliputi semua kaki Sulawesi Selatan. Dari batang sungai inilah Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Makassar, menyedot air melalui bendungan Bili-bili.

Jika vegetasi sudah terbuka, kata Agnes, pasokan air ke DAS akan bermasalah. “Kemungkinan debit air tidak berkurang. Tingkat kekeruhan akin tahun meningkat,” katanya. “Jadi itu akan menambah beban pembiayaan pemerintah daerah.”

Agnes mencoba memberikan ilustrasi saat terjadi runtuhan di Bawakaraeng, 26 Maret 2004. Material runtuhan dicatat membawa sebanyak 192 juta meter kubik  dan ketika bercampur air aliran bertambah jadi 231 juta meter kubik. “Tiga hari sebelum runtuhan itu terjadi, tak ada hujan sama sekali. Namun tingkat kekeruhan tercatat di PDAM Makassar malah meningkat.”

Besarnya volume runtuhan itu, mengubah fisik kawasan. Puncak Gunung Sorongan, yang dilalui ketika dari pos 7 menuju pos 8, lenyap tak tersisa. Runtuhan terjadi karena medan gelincir sudah lepas.

Dalam kajian geologi, vegetasi terbuka membuat tanah dan struktur batuan terpapar langsung oleh matahari dan hujan.

Di permukaan tanah, Adi Tonggiro, Geolog Universitas Hasanuddin mengatakan, batu terpapar matahari terlhat begitu kuat. Ketika disiram hujan, unsur Fe (besi) lepas dan membuat lapisan tanah mengembang. “Dari sini, air masuk ke dalam tanah. Vegetasi yang hilang membuat air dengan mudah menembus lapisan tanah batuan.

Maka medan gelincir menjadi goyang dan labil. “Inilah yang membuat terjadinya runtuhan itu,” katanya.

 

Anis gunung, di antara sampah di Gunung Bawakaraeng. Foto: Eko Rusdianto

 

 

Ekosistem rusak

Oktober hingga November 2016, selama tiga pekan, tujuh peneliti dari berbagai disiplin pengetahuan dari Lembaga Ilmu Pengetahun Indonesia (LIPI) menyambangi Bawakaraeng. Di Sulawesi Selatan, Bawakaraeng, merupakan salah satu gunung tertinggi, 2.830 MDPL.

“Ini perwakilan pegunungan di semenanjung Sulawesi yang memiliki komposisi fauna unik,” kata Pungki Lupiyaningdyah, peneliti capung dan serangga air dari LIPI.

Alasan lain memilih Bawakaraeng, untuk mencatat dan merekam potensi keragamanhayati, yang disebabkan laju kerusakan hutan cepat. Persawahan dan perkebunan, telah mencapai ketinggian 1.300 m dpl. “Sebaiknya, hutan tersisa dipertahankan. Batas hutan lindung dan hutan pemanfataan harus lebih dipertegas,” katanya.

Selama penelitian di Bawakaraeng, Pungki mendapatkan 20 jenis capung, dua marga endemik, masing-masing Celebargiolestes dan Drepanosticta. Capung-capung ini ditemukan di dataran rendah.

Capung adalah jenis serangga tergolong predator di alam. Larva atau nympha-nya memakan jentik nyamuk, lalat dan beberapa hama wereng di persawahan. Jika vegetasi makin terbuka, keragaman capung dapat berkurang. Hanya ada beberapa jenis memiliki toleransi terhadap perbuahan lingkungan termasuk dari penggunaan pestisida masif.

Indikator lain, tutupan vegetasi, kondisi basah dan ketersediaan air tawar. Beberapa jenis capung tertentu hanya berada di habitat hutan rapat dan vegetasi pinggir sungai rimbun. Beberapa jenis lain spesifik di area terbuka atau dekat perkampungan.

“Jadi makin baik kondisi air tawar, makin jernih dan berbatu maupun berpasir suatu perairan, capung yang ditemukan biasa makin beragam. Sebaliknya, sumber air sering untuk keperluan sehari-hari, tempat pembuangan pestisida/herbisida, hingga sampah, capung hanya sedikit dan merupakan jenis umum dan toleran terhadap polusi,” ucap Pungki.

Bagaimana jika capung lenyap? “Sudah pasti ekosistem tak akan seimbang lagi. Capung hilang menyebabkan hilangnya salah satu sumber pakan ikan, kodok, kadal dan burung.”

Senada diungkapkan Mohammad Irham, peneliti burung LIPI. Tim yang dia pimpin melihat dan mengamati burung di Dusun Tassoso, Sinjai Barat. Hingga ketinggian 2.000 m dpl, Bawakaraeng adalah vegetasi hutan sekunder. “Dari sisi Tassoso, hutan masih cukup baik. Vegetasi masih dapat menampung beberapa jenis burung,” katanya.

Selama penelitian, Irham menemukan 40 jenis burung, salah satu endemik, hanya ada di Pegunungan Bawakaraeng dan Lompobattang yakni, sikatan lompobatang (Lompobattang flycatcher).

Vegetasi Bawakaraeng terbuka akan memberi dampak pada rantai ekosistem di dalamnya. Pakan burung, kata Irham, bersumber dari tumbuhan dan satwa lain. Jika iklim mempengaruhi proses atau musim berbunga dan berbuah, maka burung-burung pemakan nektar, biji dan buah akan ikut terdampak. Begitu juga pemakan serangga, karena serangga tergantung vegetasi.

Selain itu, secara global, iklim akan mempengaruhi musim hingga mengubah perilaku burung-burung yang  bermigrasi.

Ketika kunjungan ke Bawakaraeng, saya ikut menyaksikan burung yang lebih senang bermain di tanah. Di camp kami pos 7, pagi hari burung mendekat dan cukup jinak. Melompat-lompat dan berjalan.

Beberapa pendaki, selalu memberi makanan. Entah membuang biskuit, sisa nasi, bahkan roti. Warna merah kelabu dengan kominasi hitam. Beberapa pendaki bilang pada saya, kalau tersesat bisa mengikuti burung itu, akan membawa ke jalur pendakian.

Irham berpandangan lain. Kebiasaan memberi makan burung dan hewan liar akan mengubah perilaku. “Memberi makan burung liar bisa saja menimbulkan potensi penyakit pada hewan itu,” katanya.

 

Hulu Sungai Jenebrang yang tertutup material longsoran tahun 2004. Foto: Eko Rusdianto

 

Burung jenis Turdus poliocephalus (island trush/anis gunung) umum teramati di sepanjang jalur pendakian terutama sekitar ketinggian 2.000 m dpl ke atas. Burung ini tersebar hampir di seluruh Indonesia, namun memiliki habitat spesifik di pegunungan.

Begitu juga dikatakan Muhammad Rizaldi Trias, peneliti tikus dari Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan Makassar.  Dia bilang, tikus, salah satu penghuni Bawakaraeng,  sebagai konsumen tingkat satu dalam ekosistem, juga mengalami tekanan. Satwa ini harus mampu menyesuaikan diri. “Mereka makin terdesak,” katanya.

Pada September-Desember 2013, dia penelitian di wilayah ini untuk menyelesaikan magister di Institut Pertanian Bogor (IPB).

Dalam rentang masa penelitian, dia mendapatkan 227 tikus, 10 jenis endemik Sulawesi. Salah satu tikus Paruromys dominator yang diamati mulai beradaptasi pada lingkungan baru. Tikus ini mengalami fase terdesak hingga mencapai ketinggian 2.200 m dpl.

Padahal secara umum, jenis ini hanya menghuni dan bermain di ketinggian 1.500 m dpl–di semua hutan Sulawesi. “Artinya vegetasi di Bawakaraeng memberikan kita informasi terhadap individu tikus bahwa ketinggian 1.500 m dpl yang merupakan habitat layak untuk Paruromys, sudah tidak layak,” katanya.

 

 ***

Saya bertemu Muhammad Fadli Alim, seorang pencinta olahraga alam bebas. Tak terhitung berapa kali dia manapak Bawakaraeng. Pada Maret 2017, dia bersama beberapa rekan menyambangi kawasan itu dan mendokumentasikan keadaan gunung. Mereka menghasilkan video pendek berdurasi tiga menit.

Saya menonton, tercengang. Vegetasi mulai tak berbentuk, telihat lapang. Pohon kering dan mati. Sampah tergantung dengan tali-tali– yang kemungkinan disengaja.

Beberapa tahun terakhir, Fadli mendaki memotong dari Bulu Baria. “Rute sangat menanjak, langsung menembak pos 5. Setidaknya itu mengurangi stres melihat Bawakaraeng jika harus melalui Lembanna, lalu pos 1 dan seterusnya,” katanya.

Bagaimana menyelamatkan Bawakaraeng? Siapakah yang masih peduli? “Mungkin kita hanya benar-benar menunggu kehancurannya. Saat kita di Makassar, kekuarangan air untuk wudhu, mandi dan lain-lain, baru kemudian mengeluh dan sadar…,” kata Fadli.

 

 

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,