Ekspedisi Ini Buktikan Karst Jatiluhur, Banyak Goa, Ponor dan Sungai Bawah Tanah

 

Minggu pagi, 9 April lalu, delapan remaja dari organisasi Bara Rimba memulai perjalanan Ekspedisi Panca Tahap II dari Rengasdengklok menuju Ciampel,  Kabupaten Karawang, Jawa Barat. Mereka ekspedisi mencari informasi dan fakta Formasi Jatiluhur ialah kawasan karst berfungsi sebagai daerah resapan air.

Arip Munawir, Kepala Satuan Bara Rimba para remaja ini. Dia bilang, beban berat ekspedisi ini membuktikan Formasi Jatiluhur merupakan karst. Karena banyak ahli karst pesimis.

“Perjalanan tak mudah, bukan karena medan tapi karena banyak ahli pesimis,” kata Arip Munawir, kepada Mongabay.

Tim berjalan kaki sekitar enam kilometer menyusuri punggung perbukitan, dari hutan dataran rendah terakhir di Karawang. Jalan berlumpur tak bisa dilalui kendaraan konvesional.

Tim menembus hutan dan perbukitan Tanjakan Pacul, bukit hijau di antara himpitan kawasan industri. Hingga menjelang sore, tim tiba di Base Camp Expedisi di Kuta Meriam. Keletihan terobati bersihnya air di Hulu Sungai Cisubah, yang tak terjamah polusi dan limbah.

Kuta Meriam, katanya, satu dari tujuh kuta di Kuta Tandingan.  Adapun Kuta Tandingan ialah kawasan berbukit, menghampar diantara Desa Parung Mulya dan Desa Mulya Sejati di Kecamatan Ciampel, Karawang.  Kuta Tandingan terdiri dari Kuta Meriam, Kuta Gombong, Kuta Kulambu, Kuta Masigit, Kuta Barang, Kuta Jati dan Kuta Pohaci.

Menurut penduduk Kuta Meriam, katanya, tak ada batas jelas bagi masing-masing kuta di Nagara Kuta (red: Kuta Tandingan). Kuta adalah paseur atau pusat dari sebuah kawasan, seperti Kuta Meriam pusat di Goa Muara.

“Kuta Masigit dengan paseur tebing setinggi tiga meter, dan Kuta Kulambu pusat pohon besar tumbuh di bebatuan,” katanya.

Identifikasi mata air Cikebo. Foto: Tim Ekspedisi Panca

 

***

Kicau burung begitu nyaring mencari makan di kiara besar (Ficus sp) pada 10 April 2017. Tim rimbawan tampak sibuk. Mereka mengemas bekal dan sebagian menajamkan golok tebas untuk membuka jalur di hutan. Mereka bersiap mencari bentukan eksokarst di Formasi Jatiluhur, yaitu karakter karst di permukaan tanah.

“Hari ini, kami akan menyusuri tebing Kiara Kumpai sebelah timur,” kata Reynaldi leader rimbawan Expedisi Panca.

Tim rimbawan bergerak ke timur dari base camp dan caving bergerak ke selatan menuju Goa Parigi. Ini goa pertama yang akan disusur. Goa horizontal berkarakter kering dengan habitat kelelawar. Mulut goa berukuran 0,5×1 meter dengan kedalaman 0,8 meter, memaksa tim bergerak fleksibel. Salah melangkah kepala bisa terbentur atap gua atau terpeleset karena sepatu boots menginjak lumut.

Reynaldi bercerita, di dalam Goa Parigi berjarak sekitar 10 meter dari mulut goa, ada bungkusan kain putih, dikenal sebagai pocongan. Puluhan pocongan berisi kepala hewan seperti kerbau atau kambing jadi persembahan.

“Kuncen atau juru kunci Goa Parigi mengatakan banyak orang datang untuk meminta kekayaan atau bertapa,” katanya.

Lorong Goa Parigi tak bercabang, lurus mengarah ke utara, terkadang meliuk ke Timur Laut antara 80⁰-90⁰ dari kompas. Tinggi lorong antara dua sampai empat meter, lebar antara satu sampai dua meter dan beberapa genangan air berisi ikan paray (Rasbora sp) dan kepiting (Parathelphusidae sp).

Kondisi ini menjelaskan, ikan dan kepiting di kedalaman 100–200 meter dalam Goa Parigi. Kemungkinan genangan ini dari banjir sungai permukaan yang masuk ke goa dan membawa ikan-ikan hingga terjebak.

Tim rimbawan menyusuri tebing timur Kiara Kumpay. Penamaan Kiara Kumpay berdasarkan kiara besar tumbuh di tebing. Akarnya menjuntai ke dasar tebing, maka dinamakan kumpay. Penelusuran menemukan tiga ponor dan satu mata air di Leweung Cikarang.

Di Leweung Cikarang ,ada mata air dan alur sungai berisi bebatuan karst ukuran kecil. Ada banyak pohon gebang (Corypha utan), sejenis palma tinggi besar dari dataran rendah. Habitat pohon gebang mulai terdegradasi oleh perkebunan warga berupa jeruk, jengkol dan sawah huma.

“Padahal, jarang sekali kita menemukan gebang hidup di perbukitan seperti ini,” katanya.

 

Hipposideros-sp, yang ditemukan dalam goa. Foto: Tim Ekspedisi Panca

 

 

***

Pada 11 April 2017, mereka mengubah strategi, tak membagi tim. Tim bersatu menuruni empat goa sekaligus. Hujan dini hari jadi alasan perubahan strategi, selain kekurangan anggota tim caving.

Nuraidah, tim ekspedisi mengatakan, tim rimbawan diberdayakan membabat mulut goa yang ditumbuhi gulma dan tim caving menelusuri gua. Jika cuaca buruk,  tim rimbawan memberi sinyal dengan prusik (tali) kepada tim caving. Tim rimbawan juga menyisir dan mencari bentukan eksokarst di sekitar empat goa itu.

Penelusuran pertama Goa Muara. Memiliki mulut vertikal sedalam tiga meter dan muara dari jaringan sungai bawah tanah. Goa Muara di tepian Sungai Cisubah, jadi karakter goa penyuplai air permukaan. Air dari Goa Muara keluaran sungai bawah tanah terintegrasi dengan goa lain.

“Debit keluaran dari sungai bawah tanah Gua Muara 0,018675 M³ per detik atau sama dengan 18,675 liter per detik,” kata Nuraidah.

Tim bergeser ke timur sekitar 100 meter, ada Goa Berlian. Goa yang menurut warga memiliki batuan berkerlap-kerlip seperti cahaya berlian. Ini jadi daya tarik tim. Mereka beranggapan batuan berkerlap-kerlip ialah ornament goa hasil proses karstifikasi atau pelarutan batuan karst.

“Jika anggapan kami benar, ini akan jadi data baru lagi untuk Formasi Jatiluhur,” kata Nuraidah.

Goa Berlian memiliki mulut goa vertikal, lebih dalam dari Goa Muara, mencapai lima meter. Di dasar goa, tim langsung disuguhkan ornament goa hasil karstifikasi seperti stalagtit dan stalgmit bundar sebesar kepalan tangan. Ditemui juga habitat kelelawar dan beberapa kalacemeti serta jangkrik goa.

Goa Berlian memiliki sungai bawah tanah masih satu jaringan dengan Goa Muara. Debitnya 0,0732 M³ per detik atau sama 73,2 liter per detik.

Selanjutnya ke Goa Jasman. Menurut Nuraidah, air sungai bawah tanah goa ini untuk konsumsi warga. Air Goa Jasman bening dan segar.

Di Kuta Meriam maupun Kuta Tandingan secara umum, ketika kemarau susah mencari air konsumsi. Satu-satunya sumber air ialah Sungai Cisubah yang tak pernah kering, karena suplai sungai bawah tanah pegunungan karst.

Dalam penelusuran, pipa berwarna putih seukuran jempol kaki menjulur panjang diantara lorong goa penuh kubangan air bekas hujan semalam. Saat tim masuk 20 meter ke goa, dari luar tim rimbawan memberi sinyal cuaca memburuk. Kondisi sampah tersangkut di langit-langit goa dan dinding goa berlumpur. Tim khawatir dengan banjir cepat.

“Nyawa kami bergantung pada seutas tali pemberi sinyal dari tim rimbawan, setiap detik begitu berharga” kata Nuraidah.

Sebelum keluar goa, katanya, tim berhasil menghitung terlebih dahulu debit dari sungai bawah tanah Goa Jasman. Debitnya 0,114 M³ per detik atau sama 114 liter per detik. Keadaan ini,  menjelaskan pola jaringan sungai bawah tanah antara Goa Jasman, Goa Berlian dan Goa Muara sebagai muara. Posisi sungai bawah tanah Goa Jasman lebih besar dibanding sungai bawah tanah Goa Berlian.

 

Goa Pangimbaran. Foto: Tim Ekspedisi Panca

 

 

***

Jam menunjukkan pukul 14:32. Cuaca di timur jauh terlihat awan mendung menggelayut, menakut-nakuti tim akan banjir cepat di lorong goa. Target empat goa tersisa satu belum ditelusuri. Tim bingung. Antara ingin mencapai target namun pertaruhkan nyawa atau mencari aman namun beban target esok hari bertambah berat. Cuaca tak bisa diprediksi.

Diskusi dengan warga dan anggota tim lain, akhirnya diputuskan tim caving turun ke goa keempat. Goa Masigit yang seharusnya disusuri berubah jadi Goa Pangimbaran, lebih aman banjir cepat. Memperhitungkan posisi Goa Masigit, sempit dan termasuk tipe saluran, jadi pertimbagan keselamatan tim.

Goa Pangimbaran, lebih aman, kondisi kering, ada di dataran tinggi. Pangimbaran horizontal, penamaan pangimbaran berasal dari ruangan di goa yang mengarah ke kiblat. Ruangan seperti mushola, ada ruangan imam untuk shalat, disebut Imbar atau Pangimbaran. Keindahan ornament goa lebih menakjubkan dibanding Berlian, banyak stalagtit dan stalagmit berkembang. Ada kelelawar disini.

Tim rimbawan menyisir permukaan berhasil mengidentifikasi tiga goa baru, diantara Goa Berlian dan Jasman. Masing-masing goa diberi nama anggota tim dengan kesepakatan warga lokal. Nama ketiga goa tersebut yakni Goa Somawijoyo, Panca, dan Dzuhur.

Keesokan hari, 12 April 2017, tim ekspedisi kembali dibagi dua, caving ke Goa Masigit dan rimbawan menyusuri Tebing Kiara Kumpay ke barat sebagai titik awal penelusuran, dan titik akhir dekat Goa Muara.

Dari penelusuran bentang barat, tim rimbawan temukan dua ponor. Tim juga menemukan jebakan dipasang pemburu untuk menangkap hewan hidup-hidup. Menurut penuturan warga, lokasi ini habitat kancil dan kelinci Jawa.

Tim caving berencana menyusuri Goa Masigit mendapat kendala lapangan. Hujan dini hari membuat bikin goa banjir. Tipe goa conduit flow menyebabkan air permukaan masuk ke goa. “Tim tidak mungkin pulang ke base camp, target harus identifikasi satu goa,” ucap Nuraidah.

Di tengah kegelisahan, salah satu anggota tim melihat ada beberapa mulut goa vertikal dekat Masigit. Setelah diselidiki, itu goa berbeda namun satu jaringan dengan Masigit. Ia memiliki dua mulut vertikal dan dua horizontal. Salah satu mulut goa horizontal bisa dimasuki walau genangan air menenggelamkan setengah tubuh.

Melihat faktor cuaca mendukung, tim memutuskan menelusuri goa ini. Goa bercabang dua dan air menggenang sedalam satu sampai 1,5 meter. Tim langsung pemetaan dan identifikasi sebagai koleksi data. Di tengah lorong sedalam 20 meter, genangan air makin dalam, hampir dua meter. Atas dasar faktor keselamatan, pemetaan tak dituntaskan sampai mulut vertikal kedua yang berjarak enam meter.

Goa memiliki lorong berbeda walau satu jaringan dengan Masigit, tim sepakat memberi nama baru ini Goa Tenggelam, atas dasar banyak genangan air yang hampir menenggelamkan goa.

 

Rimbawan sedang identifikasi ponor. Foto: Tim Ekspedisi Panca

 

Pada 13 April 2017, sehari sebelum ekspedisi usai, dua anggota tim bergerak ke Kuta Masigit. Jarak Kuta Meriam dan Kuta Masigit kurang lebih dua kilometer. Perjalanan bersepeda motor, melewati Kuta Barang, Gombong dan Kuta Kulambu. Kala tiba di Kuta Masigit, ternyata gugusan tebing seperti Tebing Kiara Kumpay juga ditemui.

Tebing di Kuta Masigit terbentang dari titik awal sampai ke Kuta Gombong, berakhir di Kuta Barang, gugus paling barat. Ini pertanyaan bagi tim, apakah Formasi Jatiluhur adalah plato? Menurut Nuraidah, belum ada jawaban tepat atas kemungkinan ini sebelum ada eksplorasi lebih jauh di Formasi Jatiluhur.

Kuta Masigit, memiliki mata air dan goa kecil, memaksa penelusur merangkak dan bergerak fleksibel. Mata air di Masigit bernama mata air Cai Kebo atau Cikebo. Tepat di atas mata air, ada lahan pertanian sawah huma subur dengan tanah merah. Kebutuhan air dari dua alur sungai. Alur sungai mendekati titik mata air, airnya berkurang dan hilang seakan terhisap habis ke tanah.

Mata air Cikebo, terbentuk dari rekahan batu gamping dipenuhi semak belukar. Air deras keluar dari celahan batu. Keluaran mata air ditampung dalam kolam penampungan buatan. Menurut penuturan warga, mata air tak kering di musim kemarau, hanya debit tak sederas penghujan.

Goa di Kuta Masigit tepat di atas tebing, akar pohon mencengkram batuan. Tim harus naik ke tebing berpegangan akar pohon dan batuan sebagai pijakan. Mulut goa berukuran 60×70 centimeter, lorong berkelok-kelok dan sempit sekali. Ornamen goa mengering, aroma kotoran kelelawar, kalacemeti dan jangkrik goa hidup di langit-langit.

Warga sekitar mengatakan, goa tak memiliki nama. Tim mengajukan nama Goa Tinggi, karena posisi di atas tebing.

Titi Bachtiar, anggota Kelompok Riset Cekungan Bandung mengatakan, penamaan yang bukan istilah geologi bisa saja dilakukan berdasar pada kesepakatan warga dan belum ada nama.

Menurut Titi,  terkait penamaan geografis untuk tempat bisa sesuai keadaan bentang alam seperti bentukan, warna, ciri khas tumbuhan. Kemudian ada juga karena kawasan beralih fungsi karena dikerjakan manusia.

 

Miniopterus-sp, ditemukan kala penelusuran goa. Foto: Tim Ekspedisi Panca

 

 Kuatkan status karst

Dihubungi terpisah Budi Brahmantyo, dosen Institut Teknologi Bandung (ITB) mengatakan, menurut peta terbaru dirilis Badan Geologi, Formasi Jatiluhur ialah batu pasir anggota Jatiluhur (Mdq). Di atas kertas tak mungkin menemukan jaringan goa dan sungai bawah tanah di Formasi Jatiluhur.

Budi mengatakan, Formasi Jatiluhur biasa hanya sisipan-sisipan tipis batu gamping, jadi umumnya karst tak berkembang.

“Namun Formasi Jatiluhur bisa masuk ke Kawasan Bentang Alam Karst bila memang betul ada sungai bawah tanah,” katanya.

Eko Teguh Paripurno, dosen Geologi Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta mengatakan, jika data valid, bisa dipetakan, dideskripsikan dengan baik, bisa diusulkan jadi anggota batu gamping dari Formasi Jatiluhur.

Terkait peta terbaru dari Badan Geologi yang menyatakan, Formasi Jatiluhur adalah batu pasiran, katanya, setinggi apapun kecanggihan alat, hanya alat bantu, yang penting  apa yang ada di kepala pemeta. KBAK Sukolilo dan Gombong,  dapat jadi contoh kesalahan pemetaan.

Atas data dan informasi hasil ekspedisi, dan keinginan tim ekspedisi bahwa Formasi Jatiluhur diakui sebagai KBAK, Tantan dari Badan Geologi mengatakan, data ini bisa jadi bagian peninjauan.

Meskipun begitu harus dilengkapi data lain secara menyeluruh sesuai Permen 17/2012 dan RTRW Karawang, status lahan dan RPJMD. “Pemda yang tahu mau diarahkan kemana daerahnya,” kata Tantan.

Kepala Bappeda Karawang terkait status hutan Kuta Tandingan mengatakan, status lahan  hutan produksi. Terkait perubahan RTRW Karawang akan dilakukan 2018.

Soal kekhawatiran kereta cepat akan melintas di Kuta Tandingan, dia bilang, masih menunggu aturan RTRW nasional.

 

Pengukuran Sungai Cisubah. Foto: Tim Ekspedisi Panca
Rhapidophora-sp. Foto: Tim Ekspedisi Panca
Tim di Goa Tenggelam. Foto: Tim Ekspedisi Panca

 

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,