Meski Dilarang, Penyelundupan Rotan Alam Masih Saja Dilakukan

 

 

Sebuah kapal kayu sarat muatan bersandar di Dermaga Padang Tikar. Kapal itu hasil tangkapan Kantor Wilayah Bea Cukai Kalimantan Bagian Barat, pada Selasa, 6 Juni 2017. Kapal Layar Motor (KLM) Anugrah Maulana II ditahan karena mengangkut rotan, untuk dibawa ke Malaysia.

“Penangkapan dilakukan oleh Kapal Patroli Kanwil Bea Cukai Kalimantan Bagian Barat BC 8005, di kawasan perairan Padang Tikar, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat,” kata Kepala Kantor Wilayah Bea Cukai Kalimantan Bagian Barat, Saipullah Nasution.

Kapal itu mengangkut rotan sebanyak 2.800 bundel. Beratnya sekitar 120 ton. Dari pemeriksaan awal, kapal berlayar dari Kumai, Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah dengan tujuan Sibu, Sarawak, Malaysia. Penangkapan atas informasi masyarakat kepada petugas Bea Cukai. Nilai ekonomi rotan selundupan diperkirakan mencapai satu miliar Rupiah.

Saipullah mengatakan, penangkapan dilakukan karena rotan merupakan komoditi yang dilarang untuk diekspor, berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan No 35 tahun 2011. “Kita tetapkan seorang tersangka berinisial AJ, dengan dugaan pelanggaran UU Kepabeanan,” tambahnya.

AJ dijerat pasal 102A huruf e undang-undang kepabeanan No 10 tahun 1995 sebagaimana diubah dengan UU No 17 tahun 2006, dengan ancaman pidana maksimal 10 tahun serta pidana denda Rp50 juta hingga Rp5 miliar. Dari hasil pemeriksaan, diketahui ekspor rotan tanpa dokumen resmi ini merupakan pengiriman yang kedua.

Adanya larangan ekspor rotan bukan tanpa alasan. Kepala Perindustrian dan Perdagangan Kalimantan Barat, M Ridwan, mengatakan, adanya aturan, diharapkan penyerapan bahan baku rotan dalam negeri menjadi maksimal.

Namun, alasan terpenting kebijakan larangan ekspor rotan ini adalah untuk melestarikannya di alam. Sebelum keluarnya aturan, pemerintah pernah mengeluarkan aturan ekspor terbatas untuk komoditi rotan. “Tetapi, diperbolehkannya ekspor jenis rotan tertentu menjadi celah untuk penyelundupan.”

 

Meski dilarang, penyelundupan rotan alam masih saja dilakukan. Foto: Putri Hadrian

 

Bahan baku berkurang

Keberadaan rotan alam pun tidak serta merta terjaga dengan adanya aturan ini. Pasalnya, tempat tumbuh rotan kini telah beralih fungsi menjadi perkebunan kelapa sawit, atau tambang. Kabupaten Bengkayang, tempat kerajinan bidai atau tikar rotan yang terkenal di Kalimantan Barat, mulai mengeluhkan berkurangnya bahan baku.

Roslinda (45), pengrajin bidai di Bengkayang mengatakan, rotan alam di wilayah Kalbar sudah sulit didapat. Akibatnya, dia harus memasok bahan dari Kalimantan Tengah. Itu pun, belakangan ini, mulai sulit didapat. “Pengrajin dari Bengkayang, mereka menganyam sudah turun menurun,” katanya.

Motif anyaman mereka, asli yang diajarkan nenek moyang. Untuk tikar bidai, Roslinda membuat tiga tipe, ukuran kecil dengan lebar 1,5 m x panjang 2,10; ukuran sedang 1,8 m x 2,7 m; dan ukuran besar 2,1 m x 3 m. Selain tikar, rotan juga dijadikan bahan baku furnitur dan aksesoris interior.

Roslinda memulai usahanya pada 1999. Dia yang berbelanja bahan, sedangkan para pengayam dari warga sekitar. Upah disesuaikan dengan berapa anyaman yang dihasilkan. Pasarnya selain masyarakat lokal, juga daerah perbatasan di Jagoi Babang. Di Pasar Serikin, Sarawak, Malaysia, adalah pasar akhir pekan yang penjualnya mayoritas warga Indonesia. Setiap Sabtu, pasar ini dipadati para pedagang berbagai kebutuhan rumah tangga, hingga pakaian. Di pasar ini, nilai jualnya lebih tinggi. Bahkan bisa dua kali lipat. Hal ini yang menyebabkan para pedagang rela menempuh perjalanan jauh.

Pasar dalam negeri untuk tikar bidai cukup besar. Roslinda mengaku kewalahan untuk memenuhinya. Pesanan tikar selalu berdatangan. Bahkan, ada yang rela memanjar terlebih dahulu. Tetapi, langkanya bahan baku rotan menjadi salah satu kendala. Adanya penertiban dari pemerintah pengiriman rotan lintas daerah pun menjadikan salah satu penyebab harga bidai menjadi lebih tinggi.

Belum lagi, dia harus bersaing dengan para pengusaha dari Jawa yang memesan bahan baku rotan dalam skala besar. Hasilnya, produk rotan tersebut dijual kembali ke daerah dengan harga yang tinggi. “Mudah-mudahan pemerintah bisa mencari jalan keluarnya. Paling tidak ada yang membudidayakan rotan, tidak hanya mengandalkan rotan alam saja,” tambahnya.

Selain itu, pemerintah juga dapat membantu para pengrajin dengan memberikan permodalan dengan bunga rendah. Khusus untuk pemerintah daerah, agar produk rotan yang dihasilkan bisa berkompetisi dengan produk dari daerah lain, dibutuhkan peningkatan kapasitas para pengrajin. Jika diperkuat disemua lini, kata Roslinda, bukan mustahil produk rotan Kalimantan Barat kembali menjadi produk unggulan daerah, dari hasil hutan bukan kayu.

 

Hasil kerajinan rotan yang dibuat tas dan aksesoris lainnya. Saat ini para pengrajin mengeluhkan sulidnya bahan baku rotan. Foto: Putri Hadrian

 

Yayasan Dian Tama (YDT) adalah salah satu organisasi sipil kemasyarakatan yang memberikan dampingan pada kelompok tani untuk menanam rotan. “Kami juga menerima produk rotan kerajinan masyarakat, untuk dititipjualkan di workshop kami,” tukas Nurul Meutia, dari Yayasan Dian Tama. Beberapa desa yang didampingi YDT ini untuk mengadvokasi hasil hutan bukan kayu di wilayah tempat tinggal warga.

Tak hanya rotan, warga juga memanfaatkan bambu, pandan, kulit kayu serta keladi air untuk kerajinan. Dengan advokasi ini, warga diharapkan tetap mempertahankan hutan. Produk yang dihasilkan selain tikar adalah keranjang, tas, tempat pensil, dan lain sebagainya.

Dibanding kayu, keunggulan rotan adalah lebih cepat tumbuh dan mudah dipanen. Modal usaha untuk memanen rotan lebih murah ketimbang menebang kayu. Secara tidak langsung, keuntungan ini dapat menjadi kunci kampanye menjaga kelestarian hutan. Rotan yang tumbuh tunggal, pemanenan hanya dilakukan sekali setelah berumur 20 – 30 tahun. Sedangkan yang tumbuh berumpun, pemanenan dilakukan setelah berumur 10-15 tahun. Untuk selanjutnya, pemanenan dapat dilakukan selang 2 hingga 4 tahun.

Di daerah Kabupaten Sanggau, terdapat beberapa desa yang telah membudidayakan rotan. Rotan irit (Calamus trachycoleus) merupakan tanaman endemik Kalimantan. Sifatnya tahan terhadap tanah yang macak, lamanya masa penggenangan dan mempunyai keasaman tinggi. Ciri khas tanah rawa gambut. Tanah dengan karakter seperti ini, sulit digunakan untuk budidaya pertanian. Namun, cocok untuk rotan.

Jenis lainnya, rotan sega (Calamus caesius) ditanam sebagai tanaman di areal yang sudah dibersihkan, sambil menunggu lahan tersebut siap digunakan kembali untuk budidaya pertanian. Namun, rotan alam pun harus bersaing dengan bahan sintetis. Belakangan pasar furnitur di Kalimantan Barat dibanjiri produk sintetis rotan.

Kementerian Perdagangan melansir, hingga 2015, Indonesia merupakan negara penghasil rotan terbesar di dunia. Sekitar 85 persen konsumsi rotan dunia dipasok dari Indonesia. Produk rotan Indonesia mengalahkan eksportir lain seperti Malaysia, Filipina, dan negara-negara Asia lainnya. Daerah penghasil rotan alam di Indonesia antara lain; Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi, selebihnya merupakan hasil budidaya. Di Indonesia terdapat delapan marga rotan yang terdiri dari sekitar 306 jenis, namun yang biasa dimanfaatkan ada 51 jenis.

Kementerian Kehutanan juga mengungkapkan hasil penelitian dari International Tropical Timber Organisation (ITTO), rotan yang dapat diproduksi lestari sebesar 530.000 ton rotan mentah dan kemudian dikonversi dalam rotan kering menjadi 2,5 berbanding satu kilogram rotan kering. Sehingga jumlahnya menjadi 210.000 ton. Kemudian menjadi rotan asalan sebesar 126.000 ton, dan dari rotan asalan menjadi rotan setengah jadi (50 persen) sebesar 63.000 ton.

Untuk memasuk kebutuhan dalam negeri, dibutuhkan 62.921 ton bahan baku rotan. Dari jumlah tersebut, sebanyak 60 persen rotan murni dan 40 persen rotan kombinasi. Jika dikonversi; satu ton mebel rotan sama dengan 1,2 ton rotan bahan baku. Bahan baku untuk mebel rotan kombinasi sebesar 30 persen, dan anyaman 10 persen.

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,