Upaya Antisipasi Kebakaran Ditengah Deforestasi Hutan

Indonesia dihadapkan pada sengkarut persoalan pengelolaan hutan. Terutama  soal kebakaran hutan dan lahan yang terus mendera hampir setiap tahun. Fenomena kebakaran hutan seperti ironi, dimana luasan hutan Indonesia yang mencapai 133 juta hektare atau 46% dari luas daratan–secara perlahan berkurang.

Pendek kata, kebakaran hutan dan lahan menyebabkan kerugian ekonomi dan lingkungan hidup. Ihwal penyebab kebakaran hutan, sampai saat ini masih menjadi topik perdebatan, apakah karena alami atau karena kegiatan manusia.

Banyak spekulasi yang berkembang, seperti kegiatan pembalakan liar, pembukaan lahan dan pengaruh cuaca El Nino. Namun, tidak menutup kemungkinan adanya hubungan kebakaran dengan pengaruh aktivitas perusahaan perkebunan dan berbagai proyek pemerintah.

 

 

Kasus tersebut bukan saja terjadi di saat ini saja. Pada era Presiden Soeharto pun banyak tejadi kejadian demikian, bahkan mengukuhkan catatan tebal tentang buruknya pengelolaan hutan. Salah satunya, pembukaan hutan oleh para pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) untuk industri kayu maupun perkebunan kelapa sawit.

Dari pengamatan Bowen dkk (2001), ada lima periode kebakaran hutan dalam skala besar yang terjadi di Indonesia. Periode tersebut mulai dari tahun 1982-1983, 1987, 1991, 1994, 1997-1998 yang terjadi saat musim kemarau.

Adapun tahun 1982 – 1983, kebakaran terjadi hampir serempak di seluruh wilayah propinsi. 3,2 juta hektare hutan habis terbakar dan 2,7 juta hektare adalah hutan hujan tropis. Terlebih periode 1997 – 1998 kebakaran telah melenyapkan 10 juta hektare kawasan hutan.

Data terbaru menunjukan, dalam kurun waktu Juni – Oktober tahun 2015 lalu, 2.6 juta hektare kawasan hutan ludes terbakar. Luasnya hampir setara setengah luas Provisi Jawa Barat. Potensi kerugian negara akibat kebakaran tersebut ditaksir mencapai Rp221 triliun.

 

Manggala Agni.
Petugas dari Brigade Pengendalian Kebakaran Hutan Manggala Agni Daerah Operasi Pontianak, Rasau Jaya, berusaha memadamkan api di lahan gambut di Desa Kuala Dua, Kecamatan Sungai Raya, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat. Foto: Andi Fachrizal

 

Akibat masifnya kejadian kebakaran, pemerintah terus mengembangkan berbagai kebijakan dan menyempurnakan kelembagaan. Lembaga donor internasional pun meningkatkan dukungan mereka terhadap program yang berkaitan dengan kebakaran hutan. Sampai asosiasi negara-negara Asia Tenggara (ASEAN) membahas kebakaran hutan yang terjadi di Indonesia sebagai suatu masalah regional.

Presiden Joko Widodo juga telah menyerukan pengambilan tindakan. Pemerintah berjanji untuk memprioritaskan pengendalian kebakaran.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sebagai pemangku kebijakan menargetkan pengendalian kebakaran hutan dan lahan gambut menjadi fokus utama. Berkaca pada tahun sebelumnya, upaya yang kini dilakukan menggunakan paradigma baru yaitu pencegahan.

Tahun ini, KLHK membentuk unit patroli terpadu pencegahan kebakaran hutan sebanyak di 995 desa di 10 provinsi rawan kebakaran hutan dan lahan. Jumlah tersebut meningkat, setelah sebelumnya dibentuk di 731 desa tahun 2015. Patroli terpadu tersebut melibatkan unsur personil gabungan dari Manggala Agni, TNI, Polri, Pemda, dan masyarakat desa setempat.

“Kami sudah bergerak di 50 desa, Sumatera Selatan, 65 desa di Riau dan sudah mulai melakukan patroli. Selanjutnya akan dimulai juga di daerah – daerah yang lainnya,” kata Direktur Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan KLHK, Raffles Brotestes Panjaitan, seusai Rapat koordinasi pengendalian kebakaran hutan dan lahan di wilayah kerja BBKSDA Jabar, di Bandung, Senin pekan lalu.

 

KEBAKARAN HUTAN PINUS
Api yang membakar hutan kayu pinus di Saitbuttu Saribu, Kecamatan Pam Sidamanik, Simalungun, Sumut, Senin, 22 Agustus 2016. Kebakaran hutan kayu pinus tersebut diakibatkan warga setempat yang membakar untuk membuka lahan dan musim kemarau beberapa bulan terakhir.

 

Dia menjelaskan, program ini di prioritaskan di wilayah rawan kebakaran hutan khususnya Sumatera dan Kalimatan. Adapun wilayah lainnya termasuk Jawa Barat, patroli tetap dilakukan guna mengantisipasi potensi kebakaran. Mengingat Badan Meterelogi Klimatologi dan Geofisika memprediksi pada Juli mendatang sudah memasuki musim kemarau panjang.

Raffles menerangkan, pemicu kebakaran hutan dikarenakan masyarakat membuka lahan dengan cara mebakar. Kemudian adanya konflik di perbatasan hutan konservasi serta perambahan kawasan oleh perusahaan.

Pendekatan penegakan hukum, lanjut dia, sudah ditegakkan dan akan ditindak tegas. Didukung dengan berlakunya sanksi administratif dan pidana. Untuk program ini, KLHK menyiapkan dana Rp 173 milyar dan bantuan dari Badan Restorasi Gambut sebesar Rp800 miliar.

 

Selain Ancaman Kebakaran

Sementara, persoalan kebakaran di Wilayah Jawa Barat, terbilang sedikit. Menurut data BBKSDA, dari 50 kawasan konservasi, 10 diantaranya rawan kebakaran. Kerusakan tertinggi terjadi tahun 2015 lalu, sekitar 2400 hektare.

Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 195/Kpts-II/2003 tentang Penunjukan kawasan hutan dan perairan di wilayah Propinsi Jawa Barat adalah seluas 816.603 hektare, dimana 132.180 hektare dikelola oleh Kementerian Kehutanan (BBKSDA dan Balai Taman Nasional) dan 684.423 ha oleh Perum Perhutani.

Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS), menilai kerusakan hutan di Jawa Barat lebih didominasi oleh deforestasi dan alih fungsi. Ada sekitar 650 ribu hektare lahan kritis dan 50 ribu hektare sangat kritis baik di dalam kawasan maupun luar kawasan hutan.

 

Kebakaran hutan terjadi di wilayah Tegal Alun, Gunung Papandayan, Jawa Barat, pada ketinggiann 2500 mdpl. Sedikitnya 326 hektare hutan di kawasan Gunung Papandayan habis terbakar. Foto : Engkus Kusnadi

 

Sedangkan menurut keputusan Gubernur tentang penetapan data dan peta lahan kritis di Jawa Barat tahun 2013. Luas lahan kritis berdasarkan kriteria kritis dan sangat kritis di Kabupaten/Kota dan wilayah DAS seluas 342.966 hektar serta di fungsi kawasan lindung 216.770 hektar.

Dihubungi terpisah, Kadiv Infokom DPKLTS Taufan Suranto mengatakan, permasalah kerusakan hutan di Jabar tentu berbeda dengan Sumatera ataupun Kalimantan. Persoalan yang dihadapi justru kian meluasnya lahan kritis. Fatalnya, lokasi tersebut berada di daerah yang berfungsi melindungi kawasan bawahannya.

“Faktanya kondisi hutan di Jabar sudah tidak sesuai pada peruntukannya. Akibat dari alih fungsi lahan yang tak terkendali. Kalau dilihat dari Citra Satelit tahun 2016 lalu, menunjukan bahwa penurunan kawasan hutan sudah sangat signifikan,” katanya, saat dihubungi Mongabay via telepon.

Bukti banyaknya kejadian bencana banjir, banjir bandang dan longsor di beberapa daerah–mengindikasi bahwa hutan memang dalam kondisi rusak. Hal itu diakibatkan fungsi hidrologi hutan tidak optimal menampung air.

Dia mengatakan, ketika bicara lahan kritis–acapkali pemerintah beranggapan lahan kritis menurun dan diklaim membaik. Tetapi data di lapang menunjukkan hasil yang bertolak belakang. “Pemerintah juga jangan melupakan upaya reboisasi hutan. Jangan klaim data sepihak, seolah kondisinya membaik,” ujarnya.

Tantangan kedepan, Indonesia akan mengalami bonus demografi. Secara parsial akan memicu tingginya tekanan terhadap lahan. Apalagi 60% manufaktur berada di Jabar. Ancaman yang sebentar lagi dihadapi dan sudah terjadi adalah krisis air. Bila daya dukung dan daya tampung lingkungan tidak segera dibenahi. Situasi ini bisa saja makin buruk.

 

Kawasan bunga Edelweis di wilayah Tegal Alun, Gunung Papandayan, Jawa Barat, berketinggiann 2500 mdpl yang terbakar habis. Sedikitnya 326 hektare hutan di kawasan Gunung Papandayan habis terbakar. Foto : Engkus Kusnadi

 

Sementara itu, Kepala BPBD Jabar, Dicky Somari menuturkan, desakan tata ruang begitu tinggi seiring pertumbuhan penduduk. Penting untuk memperhatikan indeks resiko pada tata kelola ruang. Namun, kelemahannya terletak pada tahap penerapan aturan sesuai RTRW.

Berdasarkan data BPBD, hampir semua bencana terjadi di Jabar. Tahun 2016, tercatat 400 kejadian bencana. Termasuk bencana geologi, hidrometeorologi dan lingkungan. Upaya mitigasi awal dapat dilakukan dengan cara mengendalikan ruang – ruang sesuai fungsinya dari ancaman degradasi.

  

Adanya konflik

Dari pengamatan Mongabay, konflik lahan juga masih terjadi di Jabar. Hal itu diakui Dedi warga Desa Seda, Kecamatan Mandirancan, Kuningan. Kebakaran hebat pernah terjadi di Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC) tahun 2015. Lebih dari 120 hektare kawasan konservasi terbakar.

Menurut Dedi, kebakaran tersebut dipicu perebutan lahan antara masyarakat dengan pihak taman nasional. Sehingga ada dugaan hutan sengaja dibakar untuk pembukaan lahan. Dia menambahkan, perambahan hutan masih dilakukan masyarakat secara sembunyi-sembunyi.

Lebih lanjut, Dedi yang juga anggota masyarakat mitra polhut mengatakan, hal itu dilatarbelakangi kecemburuan masyarakat. Karena dulunya hutan TNGC dikelola Perhutani bersama masyarakat. Lalu ada perubahan pengelolaan kewenangan ke taman nasioanal. Hingga berunjung konflik berkepanjangan.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,