Membersihkan Sampah, Menyelamatkan Ekosistem Laut dan Pesisir

Pulau Samalona sore itu tak seperti biasanya. Puluhan orang berjalan pelan menyusuri pantai sambil membawa kantong besar. Memungut sampah apa saja ada dari tempat yang dilaluinya. Sampah-sampah tersebut lalu dimasukkan ke dalam sebuah bak pembuangan sampah yang cukup besar di sekitar pantai.

Aksi bersih-bersih tersebut adalah rangkaian dari peringatan The Coral Triangle Day (CT-Day) yang bertepatan dengan 9 Juni yang dilaksanakan oleh Balai Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut (BPSPL) Makassar bersama mahasiswa dari Universitas Fajar, komunitas Marine Science Diving Club (MSDC) Universitas Hasanuddin, serta Yayasan Makassar Skalia.

(baca : Kebijakan Kelautan Indonesia Diluncurkan di AS, Apa Itu?)

 

 

Menurut Andry Indryasworo Sukmoputro, Kepala BPSPL Makassar, aksi bersih-bersih pantai ini dilakukan karena kebetulan temanya peringatan CT-Day tahun ini adalah Curbing Marine Debris – Reduce Your Plastic Waste! atau “Kurangi Sampah Plastik di Laut”.

“Tema ini diambil berdasarkan pada isu yang sedang berkembang, yang merupakan hasil penelitian bahwa tiga negara CTI-CFF, yaitu Indonesia, Malaysia dan Filipina merupakan penyumbang sampah plastik di laut terbesar di dunia,” kata Andri di Pulau Samalona, Makassar, Jumat (9/6/2017)

Menurut Andri, sampah, khususnya sampah plastik telah menjadi salah satu masalah utama laut dan pesisir. Sampah-sampah plastik tersebut biasanya berasal dari pesisir pantai tempat objek wisata yang dibuang dan terbawa gelombang.

(baca : Begini Komitmen Pemerintah Memerangi Sampah di Hari Laut)

“Ada juga berasal dari pelabuhan-pelabuhan pantai dan aktivitas nelayan di pelabuhan perikanan atau berasal dari rumah tangga di perkotaan kemudian dibawa oleh aliran sungai dan bermuara ke laut.”

Penumpukan sampah ini dinilai memberi dampak tersendiri bagi kelangsungan ekosistem laut dan pesisir. Ini karena sifat sampah yang sulit terurai dalam waktu yang sangat lama.

“Bahaya sampah plastik dapat mengakibatkan beberapa kerugian, seperti pencemaran tanah dan air yang berada di bawahnya, mengganggu rantai makanan, polusi udara dan dapat membunuh hewan,” katanya.

 

Penandatangan deklarasi untuk tidak membuang sampah di pantai dan di laut pada peringatan CT-Day di Pantai Samalona, Makassar. Kegiatan ini dinisiasi oleh BPSPL Makassar dan didukung oleh sejumlah komunitas mahasiswa. Foto: Wahyu Chandra

 

Dampak yang ditimbulkannya antara lain adanya zat beracun pada kemasan plastik berbahaya bagi kesehatan, membutuhkan biaya mahal untuk aksi penanggulangan dan penurunan kunjungan wisatawan ke lokasi.

Menurut Andri, sampah-sampah plastik ini juga bisa berdampak besar pada rusaknya ekosistem terumbu karang dan ekosistem lain yang ada di laut dan pesisir.

Luas terumbu karang di Indonesia sendiri kini mencapai 25 ribu km2, yang merupakan 10% dari total luas terumbu karang dunia. Dengan kekayaan jenis karang Indonesia meliputi 569 jenis dari 82 marga dan 15 suku dari total 845 jenis karang dunia.

Berdasarkan data LIPI 2017, status kondisi tutupan terumbu karang Indonesia 6,39 % kondisi sangat baik (76-100%), 23,40% kondisi baik (51-75%), 36,06 % cukup (26-50%), 35,15 % Jelek (0-25%), yang tersebar di seluruh Indonesia dengan titik pengamatan 435 stasiun di Indonesia bagian barat, 407 stasiun di Indonesia bagian tengah dan 222 stasiun di Indonesia bagian Timur.

“Kondisi Baik terbesar hanya 8,97 % di Indonesia bagian barat, sedangkan yang terjelek terbesar sebesar 37,10% berada di wilayah Indonesia Bagian Tengah,” jelas Andri.

Penyebab utama kerusakan karang adalah pemakaian alat tangkap yang tidak ramah lingkungan yang merusak terumbu karang, peningkatan pencemaran dan pemanasan global.

 

BPSPL KKP Makassar terus melakukan sosialisasi tentang pentingnya menjaga kebersihkan laut dan pantai dan pentingnya menjaga eksosistem penyu, yang keberadaannya merupakan indikator kondisi laut tersebut. Foto: Wahyu Chandra

 

Menurut Andri, diperingatinya 9 Juni sebagai CT-Day berawal dari pertemuan COP-8 CBD di Brazil tahun 2006 untuk menekankan arti pentingnya Coral Triangle yang merupakan pusat keanekaragaman hayati laut dunia. Para ilmuwan telah mengidentifikasi sebuah kawasan Coral Triangle di wilayah Indo-pasifik yang memiliki keanekaragaman hayati yang sangat tinggi, dan sumberdaya hayati laut yang sangat kaya dengan lebih dari 500 jenis karang di dalam wilayah perairannya.

Kawasan yang berbentuk segitiga ini mencakupi seluruh atau sebagian dari wilayah zona ekonomi eksklusif enam negara, antara lain Indonesia (bagian tengah dan timur), Timor Leste, Filipina, Malaysia (Sabah), Papua Nugini, dan Kepulauan Solomon.

Menindaklanjuti pertemuan COP 8 tersebut, kemudian dilakukan pertemuan -pertemuan setingkat menteri hingga pada 15 Mei 2010 dilanjutkan penandatanganan CTI Leader Declaration oleh 6 negara yaitu Indonesia, Malaysia, Philipin, Papua New Guenia, Salomon Island, dan Timor Leste.

“Agar isu konservasi laut dalam melindungi dan melestarikan kawasan segitiga karang ini tetap berlanjut maka oleh Presiden RI saat itu Bapak Soesilo Bambang Yudhoyono, tanggal 9 Juni 2009 tersebut ditetapkan sebagai Coral Triangle Day atau biasa disingkat dengan CT-Day,” jelas Andri.

 

Peringatan World Oceans Day di Galesong Utara

Selain peringatan CT-Day, BPSPL juga memperingati World Oceans Day yang dipusatkan di Kampung Beru, Desa Aeng Batu-batu, Kecamatan Galesong Utara, Kabupaten Takalar, sehari sebelumnya, Kamis (8/6/2017). Selain aksi bersih pantai juga dilakukan sosialisasi tentang bahaya sampah bagi eksosistem laut dan pesisir khususnya terhadap keberlangsungan hidup penyu.

“Kita memilih tempat ini untuk dibersihkan karena berdasarkan informasi dari warga bahwa pantai ini menjadi salah satu tempat pendaratan penyu untuk bertelur. Makanya ini harus dibersihkan untuk menjaga habitatnya,” katanya.

(baca : Memprihatinkan, Satwa Laut di Bali dan NTB Makin Beresiko Keracunan karena Ini)

Menurut Andri penyu perlu dijaga karena menjadi indikator bagus tidaknya sebuah perairan. Laut yang di dalamnya masih banyak ditemukan penyu menandakan masih bagusnya laut tersebut. Selain itu, penyu juga dilindungi, antara lain melalui UU No.5/1990, UU No.31/2004 serta Peraturan Pemerintah No. 7 dan 8 tahun 1999.

“Secara Internasional perlindungan penyu juga telah dimasukan dalam Appendix 1 CITES, yang berarti bahwa penyu telah dinyatakan sebagai satwa terancam punah dan tidak dapat diperdagangan dalam bentuk apapun juga.”

Menurut Andri, kita patut berbangga karena dari 7 jenis penyu yang ada di dunia saat ini 6 di antaranya terdapat di Indonesia. Keenam jenis penyu tersebut antara lain penyu hijau (Chelonia mydas), penyu sisik (Eretmochelys imbricata), penyu lekang (Lepidochelys olivacea), penyu belimbing (Dermochelys coriacea), penyu pipih (Natator depressus) dan penyu tempayan (Caretta caretta).

Meski demikian penyu masih kerap diburu untuk berbagai kepentingan, baik untuk konsumsi daging dan telurnya ataupun untuk bahan aksesoris atau kerajinan tangan. Sejumlah masyarakat adat juga menjadikan penyu sebagai makanan wajib dalam ritual-ritual adat.

(baca : penyu

Kondisi Pantai Kampung Beru yang menjadi lokasi aksi bersih-bersih ini cukup memprihatinkan, dipenuhi gundukan sampah, bukan hanya berasal dari laut tapi juga memang dijadikan warga sebagai tempat pembuangan sampah.

Irwan Nojeng, salah seorang warga mengakui sulitnya mengajak warga untuk membersihkan tempat itu, karena selain memang dari dulu telah menjadi tempat pembuangan sampah disebabkan tidak adanya tempat pembuangan sampah di desa itu, juga akibat sikap apatis warga terhadap kondisi yang ada.

“Katanya meski selalu dibersihkan tetap saja tempat ini akan kotor dengan sampah berasal dari laut,” jelas Irwan.

 

Pantai Kampung Beru, Kecamatan Galesong Utara, Kabupaten Takalar, selama ini dipenuhi sampah yang berasal dari limbah masyarakat dan terbawa arus dari laut lepas. Padahal pantai ini ternyata merupakan salah satu tempat pendaratan penyu untuk bertelur. Foto: Wahyu Chandra

 

Pantai Kampung Beru sendiri sebenarnya sangat cocok untuk dijadikan sebagai kawasan konservasi penyu. Selain karena memang sudah menjadi daerah pendaratan penyu, juga terkait kepercayaan masyarakat yang menjadikan penyu sebagai satwa laut yang sakral.

Menurut Irwan, masyarakat setempat ketika menemukan penyu di jaringnya pasti akan segera dilepaskan. Penyu dan lumba-lumba adalah satwa laut yang telah menyelamatkan nenek moyang mereka dahulu.

“Memang ada cerita kalau dulu nenek moyang kami itu diselamatkan penyu dan lumba-lumba ketika tenggelam di laut. Dijadikan seperti pelampung yang membawa mereka ke tepian. Makanya mereka tak boleh diganggu. Kalau ditemukan harus segera dilepas.”

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,