Ular Muncul di Perkebunan Sawit, Fenomena Apakah Ini?

 

 

Beberapa waktu lalu, pemberitaan mengenai perjumpaan dan konflik masyarakat dengan ular di area perkebunan sawit ramai menjadi perbincangan. Dari beberapa kasus yang mencuat, puncaknya adalah ditemukannya jasad seorang petani dalam perut ular piton sepanjang 4 meter lebih, di kawasan perkebunan sawit Dusun Pangeran, Desa Salubiro, Kecamatan Karossa, Mamuju Tengah, Sulawesi Barat, penghujung Maret 2017. Fenomena apakah ini?

Menurut Amir Hamidy, ahli herpetologi LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) mengatakan, salah satu penyebab banyaknya ular di area perkebunan sawit adalah karena keberadaan mangsanya. Ular-ular di kebun sawit yang umumnya memakan tikus memang datang untuk mencari mangsa. Karena sawit mengundang tikus, kemudian tikus melimpah, sehingga banyak ular yang akhirnya nyaman dan menetap.

“Pada prinsipnya, jenis ular seperti sanca, piton, kobra dan beberapa jenis lainnya itu mengikuti mangsanya. Di mana pun mangsanya berada, pasti mereka akan mendatanginya. Jadi, tidak mengherankan jika banyak ular ditemukan di sana,” katanya baru-baru ini saat dihubungi Mongabay Indonesia.

Amir menilai, keberadaan ular-ular itu wajar, karena perkebunan sawit telah menggantikan tatanan ekosistem yang dahulunya ada. Perkebunan sawit yang biasanya berada di tepi hutan primer atau sekunder telah merubah ekosistem kompleks yang alami sebelumnya, ketika berbagai jenis satwa tersebar, lalu berubah menjadi satu tipe ekosistem yang homogeny. Akhirnya, semua terpusat di area sawit. “Tikus-tikus berklaster (berhimpun), otomatis predator juga akan datang,” tambahnya.

Lebih lanjut, jika melihat hukum distribusinya, penyebaran ular idealnya, ada di semua tipe habitat. Namun sekarang, ular banyak terkonsentrasi di sawit karena mangsanya melimpah. Jadi kemungkinan, mencari ular di hutan akan lebih sulit ketimbang di kebun sawit. “Akibatnya, terjadi ketidakseimbangan ekosistem karena mengubah konsentrasi sebarannya.”

Meski di satu sisi keberadaan ular itu menguntungkan untuk mengontrol populasi hama, namun, jika hal itu terus terjadi, keseimbangan ekosistem akan terganggu. Jika populasinya meledak, maka keseimbangan ekosistem menjadi tidak wajar. “Bila kita lihat piramida makanan, ketika jumlah predator berlebihan maka petaka dalam ekosistem akan terjadi,” katanya.

 

Ular pucuk (Ahaetulla prasina) yang habitatnya di hutan primer dan sekunder dataran rendah, semak, kebun, dan taman sekitar rumah. Foto: Ciliwung Reptile Center

 

Senada, Akbar Muhtianda, Alumni Dewan Senior Kelompok Studi Herpetologi Fakultas Biologi UGM menjelaskan, ular umumnya dapat beradaptasi dengan mudah di berbagai tipe habitat, termasuk sawit. Kecuali pada ular yang mikrohabitatnya sangat spesifik seperti Sanca hijau (Morelia viridis). Menurutnya, selama mangsanya tersedia banyak, mereka dengan mudah beradaptasi. “Artinya, kemungkinan besar yang menyebabkan ular itu banyak di kebun sawit adalah makanannya yang melimpah.”

Akbar mengatakan, salah satu peran penting ular bagi ekosistem adalah fungsinya sebagai pengendali hama, khususnya bagi tanaman di area perkebunan dan persawahan. Sebagai top predator pada siklus rantai makanan, tentunya ular menjadi pemangsa bagi sejumlah jenis hewan.

“Ular cenderung sebagai pemangsa. Misalnya di kebun dan di sawah, ular memangsa hama seperti tikus dan burung-burung kecil. Ular yang masih kecil juga memangsa serangga sehingga bisa mengontrol ekosistem lingkungan.”

Ketiadaan ular di ekosistem, menurut Akbar, bisa menyebabkan populasi mangsa meledak, tidak terkendali. Pastinya, kestabilan lingkungan menjadi tidak sehat. “Selain menjadi pemangsa,  ular juga menjadi mangsa satwa lain seperti elang dan biawak.”

 

Ular yang muncul di perkebunan sawit, dikarenakan mangsanya yaitu tikus banyak di wilayah tersebut. Foto: Rhett Butler

 

Prihatin

Menurut data yang dirilis International Society of Toxinology, Indonesia menempati urutan kedua dalam gigitan ular dengan angka 11.000 kematian pertahun. India berada dipuncak, sebanyak 15.000 kasus kematian pertahun.

Melihat angka tersebut, Mirza Kusrini, dosen dan peneliti herpetologi dari Institut Pertanian Bogor, merasa prihatin. Namun begitu, menurutnya, berbagai kasus gigitan ular yang terjadi dapat dipelajari, dipahami, sekaligus ditanggulangi, kenapa ular menyerang manusia.

Di Indonesia kata Mirza, saat ini hanya tersedia antivenom bagi tiga jenis ular saja yaitu Javan Spitting Cobra (Naja sputatrix), Pit Viper (Calloselasma rhodostoma) dan Banded Krait (Bungarus fasciatus). Sementara, pusat kesehatan masyarakat atau rumah sakit daerah, tidak semuanya memiliki atau menyimpan antivenom tersebut.

“Yang repot jika ada yang tergigit, penanganannya harus tepat. Jika tidak, korban bisa meninggal. Kita harus menyadari itu, karena di Indonesia tidak hanya tiga jenis ular saja yang berbisa, yang lain juga banyak dan kita belum punya antivenom untuk itu semua.”

Hal lain yang menjadi keprihatinan Mirza adalah maraknya komunitas-komuninitas pencinta reptil khususnya ular. Justru, urar-ular tersebut banyak disalahgunakan. Ada yang dilatih untuk menggigit, dilatih untuk berani, bahkan sampai ada yang dijadikan atraksi di atas panggung atau dipamerkan di jalanan.

Lalu di mana kecintaannya terhadap ular? Alih-alih hobi atau dijadikan sarana edukasi, perlakuannya malah tidak tepat, tidak sesuai standar. Ini jelas salah, komunitas justru tidak respect terhadap ular dan membiarkan mereka dalam bahaya. Akhirnya, banyak yang tergigit. “Ular itu bukan mainan, tidak juga asal dibunuh setiap kali bertemu. Ular memiliki fungsi ekologi,” urainya.

 

Tak kenal maka tak sayang. Begitulah jarak psikologis manusia dengan ular saat ini yang dijabarkan Nathan Rusli dalam bukunya Mengenal Ular Jabodetabek. Foto: Rahmadi Rahmad

 

Sebagai satwa melata, ular hampir ada di seluruh bentangan bumi mulai hutan, pegunungan, persawahan, pesisir pantai, hingga daerah berkapur. Suhu tubuh ular selalu mengikuti suhu lingkungan sekitar. Dipastikan, semua jenis ular merupakan jenis pemangsa yang memakan satwa lain.

Namun, sebagian besar masyarakat kita masih menganggap semua ular itu berbisa atau memiliki racun (venom). Padahal, dari sekitar 250 – 300 jenis ular yang ada di Indonesia, hanya 8 persen saja yang berbisa. Stigma yang masih berkembang ini yang menyebabkan ular akan diburu bila bertemu manusia, tanpa pernah dikenali dahulu apakah jenis itu beracun atau tidak.

Ular, pastinya takut dan menghindar bila bertemu manusia. Namun begitu, ia akan menyerang bila terancam. Riza Marlon, dalam bukunya “107+ Ular Indonesia” menjelasan, dikarenakan ular memiliki musuh, ular juga punya teknik pertahanan diri. Yang paling umum dan efektif adalah menghindar. Jenis ular pohon berwarna hijau atau coklat akan membaur dengan lingkungan sekitar sehingga tersamar.

Ada juga yang mendesis dan membusungkan tubuhnya supaya terlihat lebih besar dan lebih ganas dari penampakan aslinya. Beberapa jenis ular, pura-pura mati dengan posisi telentang dan lidah menjulur. Kondisi ini sering dibarengi bau busuk yang bersumber dari kelenjar dasar ekornya. Bila pertahanan ini gagal, ular bakal menggigit, meski sebenarnya tidak semua gigitan itu berbisa.

Sedangkan ular kobra, bila terancam akan berdiri dan mengembangkan tudungnya sebelum melancarkan serangan. Bila terus diganggu, ia akan menggigit dan menyuntikkan racunnya itu ke tubuh pemangsa. Semua itu, berupakan bentuk pertahanan diri.

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,