Penegakan Hukum Harus Menjamin Upaya Konservasi

Penyitaan 14 satwa liar dan 7 satwa dilindungi terancam punah menambah deretan kasus perdagangan dan perburuan yang terjadi di Wilayah Jawa Barat. Keseluruhan satwa tersebut merupakan hasil dari Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jawa Barat bersama Satreskrim Polres Cianjur, di Pos Kontrol Bus, Desa Mareleng, Kecamatan Ciranjang, Kabupaten Cianjur, pada Rabu (14/6/2017).

AN (20) dan DR (30) berhasil diamankan petugas berikut dengan barang bukti. Berdasarkan data yang diterima Mongabay, kedua pelaku termasuk sindikat perdagangan ilegal melalui media sosial Facebook. AN yang berstatus mahasiswa salah satu perguruan tinggi di Bandung bertugas sebagai pengedar. Sedangkan DN berperan sebagai pengumpul, pemilik dan penyuplai.

 

 

Penangkapan terhadap AN dan DR dilakukan berkat adanya informasi dari masyarakat. Dirjen Penegakan Hukum KLHK, Rasio Ridho Sani mengapresiasi keterlibatan masyarakat dalam memerangi kejahatan lingkungan hidup termasuk perburuan dan perdagangan satwa dilindungi secara illegal.

“Bagi masyarakat yang memelihara satwa dilindungi agar dapat menyerahkannya kepada kantor BKSDA terdekat, mengingat tindakan itu merupakan tindak pidana,” katanya melalui siaran pers.

Kedua pelaku melanggar pasal 21 ayat 2 huruf a dan huruf b Jo pasal 40 ayat 2, Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 Jo PP Nomor 8 Tahun 1999 dengan ancaman hukuman pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000.

Hingga pertengahan tahun 2017, BBKSDA Jabar berhasil mengamankan puluhan satwa dilindungi dari berbagai spesies. Mulai dari penyerahan hingga penyitaan. Namun, jumlah tersebut tidak sebanding dengan upaya konservasi. Antara angka perburuan, perdagangan dan pemeliharaan lebih tinggi dari langkah rehabilitasi dan konservasi.

Secara luas, perdagangan satwa liar ilegal telah memberi kontribusi yang signifikan terhadap kepunahnya satwa. Bahkan satwa yang disita atau dipelihara masuk kategori sangat kritis versi IUCN. Seolah – olah satwa yang terancam punah memiliki nilai prestisius yang tinggi terutama bagi kelompok pencinta satwa berkedok animal lover.

 

Berbagai jenis satwa yang berhasil disita di Pos kontrol bus, Desa Mareleng, Kecamatan Ciranjang, Kabupaten Cianjur, Jabar, pada Rabu (14/6/2016). Foto : BBKSDA Jabar.

 

Wildlife Conservation Society (WCS) Indonesia menilai perdagangan satwa liar makin marak karena lemahnya hukum yang ada di Indonesia. Padahal, dalam Undang Undang (UU) No 5 tahun 1990 tentang konservasi keanekaragaman hayati dan ekosistemnya pada pasal 20 dan 21 tegas menjelaskan larangan kepemilikan satwa liar dilindungi.

Terkait banyaknya satwa dilindungi yang disita oleh BKSDA, Program Manager Conservation International (CI) Indonesia Anton Ario mengatakan, praktek perburuan dan perdagangan satwa liar masih marak terjadi.

Upaya penyitaan merupakan salah satu bentuk penegakan hukum yang dilakukan BKSDA. Tetapi, jika amanat undang-undang dalam hal melestarikan keanekaragaman hayati benar-benar dilakukan, tentunya upaya penyitaan tidaklah terjadi.

“Suatu fakta yang tidak mungkin dielakkan bahwa kepemilikan satwa liar di masyarakat masih ada hingga saat ini, dan upaya penegakan hukum harus dijalankan,” kata dia kepada Mongabay.

 

Salah satu jenis satwa yang disita di Pos kontrol bus, Desa Mareleng, Kecamatan Ciranjang, Kabupaten Cianjur, Rabu (14/6/2016). Foto : BBKSDA Jabar.

 

Konservasi satwa merupakan tanggung jawab pemerintah, sedangkan lembaga-lembaga konservasi nirlaba (LSM) yang peduli akan pelestarian satwa liar sifatnya hanya membantu pemerintah. Persoalan yang menonjol terkait penyelamatan satwa liar dari kepemilikan masyarakat adalah terbatasnya fasilitas-fasilitas penampungan, terlebih satwa dilindungi yang tidak untuk dilepasliarkan.

Persoalan maraknya satwa dilindungi dimiliki masyarakat, kata dia, selain disebabkan adanya permintaan (demand), juga dikarenakan lemahnya upaya penegakan hukum dan rendahnya kesadaran masyarakat. Penyitaan, merehabilitasi dan meleparliarkan kembali satwa tentunya tidak perlu ada apabila ada upaya maksimal dalam perlindungan.

Anton menjelaskan, persoalan ini terus menjadi polemik, disatu sisi langkah mengembalikan satwa liar ke habitat alami terus dilakukan, namun disisi lainnya satwa liar terus berdatangan ke pusat penyelamatan atau pusat rehabilitasi satwa.

Sebaik – baiknya program rehabilitasi yang dilakukan akan lebih baik lagi bila menjamin keberlangsunngan satwa liar tetap di habitat alaminya. Perlindungan keanekegaraman hayati yang ada di hutan akan lebih efektif apabila ditingkatkan.

 

Salah satu jenis satwa yang disita di Pos kontrol bus, Desa Mareleng, Kecamatan Ciranjang, Kabupaten Cianjur, Rabu (14/6/2016). Foto : BBKSDA Jabar.

 

“Merehabilitasi dan melepasliarkan kembali satwa liar tidaklah semudah membalikkan telapak tangan,” kata dia menambahkan. Hal terpenting lainnya adalah jaminan lokasi pelepasliaran aman dan dapat mendukung keberlangsungan hidup setelah dilepasliarkan. Pemantauan dan pengamanan kawasan tidak terlepas dari upaya ini. Karena jangan sampai satwa liar yang telah dilepasliarkan akan kembali ditangkap dan menjadi satwa peliharaan.

 

Revisi Aturan

Saat ini, pemerintah sedang merancang UU konservasi keanekaragaman hayati dan ekosistemnya sebagai pengganti UU No.5 tahun 1990 tentang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Proses legislasi sudah masuk dalam prolegnas (program legislasi nasional) DPR RI tahun 2017.

 

Kucing hutan, salah satu jenis satwa yang disita di Pos kontrol bus, Desa Mareleng, Kecamatan Ciranjang, Kabupaten Cianjur, Rabu (14/6/2016). Foto : BBKSDA Jabar.

 

Substansi perubahan UU ini penting dikawal untuk melengkapi berbagai kelemahan dan kekurangan yang ada sebelumnya. Yang menarik, dalam rancangan UU ini paradigma sumber daya alam hayati berubah menjadi keanekaragaman hayati. Satu sisi perubahan itu memberikan harapan posisi bagi upaya konservasi.

Forum Komunikasi Kader Konservasi Indonesia (FK3I) berharap UU baru mampu menjawab pelbagai isu dan masalah keanekaragaman hayati Indonesia. Terutama tentang keterancam dan perusakan ekosistem di pesisir, hutan, rawa, gambut hingga habitat spesies.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,