Kenapa Stok Ikan Terbaru Jadi 12,5 Juta Ton Per Tahun? Ini Jawabannya

Kontroversi jumlah sumber daya ikan (SDI) yang dirilis Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) pada 2016 lalu semakin ramai diperbincangkan di kalangan akademisi dan praktisi kelautan dan perikanan. Jumlah SDI sebanyak 12,5 juta ton ikan pada 2016, dinilai tidak masuk akal karena penetapannya diduga tidak melibatkan sejumlah instansi berwenang seperti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Komnas Pengkajian Stok Ikan (Kajiskan) dan Balai Riset Sumber Daya Manusia (BRSDM) Kelautan dan Perikanan.

Guru Besar Ilmu Perikanan dan Kelautan Institut Pertanian Bogor (IPB) Rokhmin Dahuri di Jakarta, belum lama ini mengungkapkan, jumlah stok ikan 12,5 juta adalah jumlah yang mengada-ada. Dia bahkan menyebut, jumlah tersebut adalah kebohongan yang sudah dilakukan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti.

“Kenapa disebut bohong? Karena data tersebut tidak dikonsultasikan lebih dahulu dengan lembaga berwenang untuk SDI,” ucap dia.

 

 

Menurut Rokhmin, ada sejumlah alasan kenapa data yang dirilis KKP tersebut diragukan. Pertama, saat SDI dirilis pertama kali pada 1981, saat itu penghitungan masih dilakukan di angka kisaran antara 6,5 sampai 16 juta ton per tahun. Angka tersebut bergantung pada luasan area dan jenis-jenis ikan yang disurvei.

Kemudian, kata Rokhmin, setelah dilakukan penghitungan, angka potensi produksi lestari atau maximum sustainable yield (MSY) akhirnya ditetapkan di angka 6,5 juta ton per tahun dan terus berlaku hingga 2013. Penetapannya dilakukan karena keterbatasan teknologi dan dana.

Setelah kemajuan teknologi berlangsung, Rokhmin menjelaskan, pada 2014 KKP kemudian menetapkan angka MSY menjadi 7,3 juta ton per tahun berdasarkan rekomendasi dari Kajiskan. Dan, pada awal 2016, angka MSY kembali melonjak menjadi 9,93 juta ton per tahun.

Menanggapi tuduhan tersebut, KKP pada awal pekan ini langsung membeberkan alasan munculnya angka SDI 12,5 juta ton per tahun. Menurut Kepala BRSDM KP Zulficar Mochtar, kajian menghitung estimasi potensi SDI dilaksanakan dengan menggandeng pihak yang memiliki kapasitas dan otoritas. Penghitungan itu dilakukan dengan menggunakan metoda koleksi data dan proses analisa sains yang bisa dipertanggungjawabkan.

“KKP memandang perlu untuk mengklarifikasi pandangan bahwa KKP melakukan kebohongan publik terhadap angka potensi SDI tahun 2015 dan kajian estimasi terbaru tahun 2016,” ujar dia saat memberikan bantahannya di Jakarta, awal minggu ini.

 

Indonesia yang lautnya kaya akan ikan. Foto: Junaidi Hanafiah

 

Pembaruan Data

Zulficar menjelaskan, sebelum dirilis angka 12,5 juta ton per tahun, pada 2015 KKP lebih dulu merilis angka 9,9 juta ton melalui Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 47/2016 tentang Estimasi Potensi, Jumlah Tangkapan yang Diperbolehkan, dan Tingkat Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia.

Setelah itu, kata Zulficar, KKP melakukan pembaruan data kembali karena wilayah perairan laut Indonesia sudah mengalami kelebihan potensi tangkap atau overfishing atau dengan kata lain stok ikan yang ada di laut sudah semakin menyusut (overfished). Selain overfishing, alasan dilakukan pembaruan, karena KKP ingin menjamin laju penangkapan yang berkelanjutan di wilayah penangkapan perikanan (WPP) RI.

“Maka pada tahun 2016 kembali dilakukan estimasi parameter, aplikasi model kajian, analisis kapasitas penangkapan, analisis risiko efek penangkapan, thematic mapping dengan melibatkan pakar dari Perguruan Tinggi, Komisi Nasional Pengkajian Stok Ikan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, dan peneliti KKP,” jelas dia.

Untuk mendapatkan angka yang akurat, Zulficar menyebut, pencacahan data dilaksanakan di basis pendaratan ikan oleh enumerator, yang terdiri dari data jenis dan struktur stok sumber daya ikan, struktur armada, Catch Per Unit Effort, durasi waktu per trip armada penangkapan ikan, dan sistem penangkapan.

“Tak lupa, kita tempatkan observer di kapal penangkap yang mendata produktivitas atau kemampuan tangkap, jenis, ukuran dan komposisi hasil tangkapan, sebaran geografis area penangkapan, sistem penangkapan,” papar dia.

 

Ikan laut hasil tangkapan nelayan yang biasanya dikumpulkan di tempat penampungan ikan untuk selanjutnya dijual. Foto: Junaidi Hanafiah

 

Dari kajian survei yang dilaksanakan pada 2016 oleh tim Balai Riset Perikanan Laut (BRPL) KKP itu, kata Zulficar, akhirnya angka potensi SDI menghasilkan 12,5 juta ton per tahun. Angka tersebut, klaim dia, sudah dibahas dan disepakati oleh Komnas kajiskan dan akan direkomendasikan kepada Menteri Kelatuan dan Perikanan sebagai angka potensi terbaru.

“Kajian ini dapat dipertanggungjawabkan, angka ini merupakan salah satu dampak kebijakan pemerintah saat ini yang telah mengusir ribuan kapal asing dan melarang kapal eks asing untuk melaut,” tandas dia.

 

Data Terbaik

Ketua Komisi Nasional Pengkajian Stok Ikan Indra Jaya membantah pernyataan Rokhmin Dahuri tentang kebohongan data yang sudah dirilis KKP. Menurut dia, angka 12,5 juta ton per tahun potensi SDI, merupakan hasil pengkajian stok ikan dengan menggunakan metodologi yang sudah mapan.

“Kita mencoba memanfaatkan data terbaik yang ada,” ungkap dia.

Indra Wijaya menjelaskan, sebelum menetapkan jumlah potensi SDI, pihaknya melakukan kajian dan diskusi secara mendalam dengan para pakar profesional seperti ilmuwan dari perguruan tinggi dan juga KKP. Orang-orang tersebut, diakuinya sudah membuka cakrawala tentang potensi SDI terkini.

“Secara objektif (kita) mengevaluasi dari waktu ke waktu sumber daya ikan. Apakah terjadi pemulihan dari kebijakan yang diambil KKP atau tidak. Sumber daya yang kita kaji adalah wilayah per wilayah karena karakteristik dari wilayah kita berbeda-beda,” urai dia.

 

Ikan laut hasil tangkapan nelayan di Pelabuhan Lampulo, Aceh. Foto: Junaidi Hanafiah

 

Secara agregat, menurut Indra, dari hasil kajian data dan diskusi bersama pakar, disimpulkan ada peningkatan atau perbaikan di berbagai wilayah perairan tertentu. Namun, kata dia, di waktu yang sama, di beberapa wilayah perairan yang lain ada kondisi yang memburuk.

Sementara, Deputi Bidang Statistik dan Produksi Badan Pusat Statistik (BPS) Pusat Adi Lukmasono menjelaskan, jika ada yang meragukan dengan data yang dirilis oleh BPS terkait sektor perikanan dan kelautan, itu sangatlah tidak masuk akal. Mengingat, setiap data yang dikeluarkan itu sudah melalui kajian bersama dengan pakar dari perguruan tinggi.

“Jadi tidak semata-mata karena KKP. Di BPS ada Forum Masyarakat Statistik yang terdiri dari pakar-pakar dari perguruan tinggi. Bila ada ketidakpercayaan, akan dipanggil BPS untuk menjawabnya. Kami tidak akan merilis data tanpa melalui metodologi yang baik dan benar, dan telah dijamin kebenarannya,” tutur dia.

Di sisi lain, bagi Direktur Jenderal Perikanan Tangkap KKP Sjarief Widjaja, dengan dirilisnya data terbaru potensi SDI menjadi 12,5 juta ton per tahun, maka pihaknya harus bisa mengatur populasi ikan di setiap WPP RI. Selain itu, kata dia, bagaimana agar komposisi kapal bisa menangkap ikan dengan menerapkan prinsip-prinsip berkelanjutan.

“Kajian ini dapat dipertanggungjawabkan, angka ini merupakan salah satu dampak kebijakan pemerintah saat ini yang telah mengusir ribuan kapal asing dan melarang kapal eks-asing untuk melaut,” pungkas Sjarief.

 

Kajian Potensi SDI

Untuk menjawab keraguan dari berbagai pihak atas data potensi SDI 12,5 juta ton per tahun, KKP menjabarkan dengan detil bagaimana angka tersebut muncul. Awalnya, tim KKP bersama University of California, Santa Barbara (UCSB) pada 2016 melakukan kolaborasi riset pemodelan bioekonomi dengan menggunakan data time series produksi skipjack tuna dari Ditjen Perikanan Tangkap KKP (DJPT) selama kurang lebih 30 tahun terakhir.

Model bioekonomi tersebut secara dinamik memproyeksikan trajektori dari catch, profits dan biomass dari perikanan tuna skipjack tersebut. Dari pendekatan ini, kemudian muncul analisa dampak dari kebijakan pemberantasan IUUF dan reformasi perikanan yang dilakukan oleh KKP terhadap perikanan Indonesia, terutama untuk biomass, profits dan catch dari perikanan tuna.

Data dari Satuan Tugas IUU Fishing menunjukkan bahwa sekitar 1132 kapal eks asing telah dibekukan izinnya dan itu menyebabkan terjadinya penurunan usaha dalam eksplorasi perikanan. Dari data tersebut, tim menganalisa dan mengestimasi berapa penurunan effort untuk perikanan tuna skipjack.

Dari analisa, diketahui bahwa purseiner yang terdaftar izinnya di pusat prosentasenya sekitar 82 persen. Dari data kolaborasi tersebut, kemudian diperoleh estimasi pengurangan effort untuk skipjack tuna akibat moratorium kapal penangkap ikan eks asing hingga 35 persen. Data ini ditunjang oleh data dari Google yang menggunakan cahaya dari kapal sebagai objeknya.

 

Kapal penangkap ikan berlabuh di Pelabuhan Tanjung Luar, Lombok Timr, Nusa Tenggara Barat. Foto : Jay Fajar

 

Lebih jauh, jika menggunakan algoritma, terdapat sekitar penurunan jumlah kapal dalam kurun waktu 1 tahun tersebut sebesar 30-35 persen di perairan Indonesia.

Dari data tersebut, model bioeconomic kemudian digunakan untuk mengestimasi long term catch dari beberapa skenario.

  1. Jika   kebijakan   IUUF   dikombinasi   dengan   reformasi   perikanan   domestik   dan pengendalian effort pada level sustainable, maka long term biomass akan meningkat sejumlah 25 persen dibandingkan dengan status quo (seperti rate eksploitasi sebelum ada moratorium ek -kapal asing).
  2. Jika kebijakan IUUF (moratorium) saja, tanpa diikuti oleh domestik reformasi dalam managemen perikanan skipjack di Indonesia, maka akan terjadi penurunan long term biomass sebesar 26 persen.
  3. Jika tanpa kebijakan IUUF dan tanpa reformasi perikanan tangkap untuk skipjack, maka akan terjadi penurunan long term biomass mencapai 81 persen dibandingkan kondisi saat ini.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,