Hanya Bahas Pidana, Kuasa Hukum DL Sitorus Protes Mongabay. Siahaan: Koperasi Menang Gugatan Perdata

Darianus Lungguk Sitorus, pemilik perkebunan sawit PT Torganda, di Padang Lawas, Sumatera Utara, protes pemberitaan Mongabay Indonesia. Melalui kuasa hukum Lembaga Bantuan Hukum Merah Putih, dia menuding pemberitaan Mongabay Indonesia keliru hanya memberitakan soal eksekusi lahan kebun sawit di hutan Register 40, bagian putusan pidana oleh Mahkamah Agung,  tanpa memasukkan soal gugatan perdata mereka.

Marihot Siahaan, kuasa hukum Sitorus, menulis surat kepada Mongabay dengan menekankan, Koperasi Parsadaan Simangambat Ujung Batu (“Parsub”) dan Koperasi Perkebunan Kelapa Sawit Bukit Harapan, mengajukan gugatan perdata dan menang di Pengadilan Negeri Padangsidempuan maupun Pengadilan Tinggi Sumatera Utara dalam perkara perdata No 37/Pdt.G/2015/PN.Psp dan No 46/Pdt.G/2015/PN.Psp di Pengadilan Negeri Padang Sidempuan dan Pengadilan Tinggi Medan pada tahun 2015.

Kini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, selaku pihak tergugat, mengajukan kasasi. Proses hukum masih berjalan.

“Keluarga DL Sitorus telah merasa sangat dirugikan, dipojokkan, seolah-olah DL Sitorus sebagai pihak yang tetap bersalah (padahal tidak),” begitu bunyi surat yang disampaikan Marihot Siahaan dari Lembaga Bantuan Hukum Merah Putih ke Mongabay pada 14 Juni 2017.

Duduk perkaranya berawal ketika Mahkamah Agung, lewat putusan Nomor 2642 K/Pid/2006 tertanggal 12 Februari 2007, menjatuhkan hukuman delapan tahun penjara kepada DL Sitorus, denda Rp5 miliar, subsider kurungan selama enam bulan. Mahkamah Agung juga memutuskan seluruh barang bukti berupa perkebunan sawit seluas 47.000 hektar bersama aset di atasnya dikembalikan ke negara Indonesia lewat Departemen Kehutanan –nama terdahulu dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Pada Januari 2015, Mongabay Indonesia, mendapat informasi bahwa eksekusi lahan dan aset di hutan Register 40, belum bisa berjalan dan mewawancarai Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara Muhammad Yusni. Ia diberitakan dengan judul “Parah! 8 Tahun Putusan MA Tumpul, Sawit Masih Kuasai Register 40. ”

Pada Juli 2015, Mongabay juga memberitakan pertemuan para menteri membahas eksekusi lahan, dalam berita berjudul “Eksekusi Hutan Sawit di Register 40 Berlarut, Ini Kata Para Menteri.”

Terakhir, Mongabay memuat berita soal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menetapkan DL Sitorus sebagai tersangka dan tahanan kota pada 17 Juni 2017, dua tahun sesudah berita sebelumnya, berjudul “Tetap Kuasasi Hutan Register 40 untuk Sawit, DL Sitorus Kembali Jadi Tersangka.”

Menunjuk kepada ketiga pemberitaan itu, Siahaan berpendapat Mongabay hanya memuat dari satu sisi atau tak cover both sides. LBH Merah Putih, dimana Siahaan bekerja, juga merupakan kuasa hukum gugatan perdata dari Koperasi Parsub dan Koperasi Perkebunan Kelapa Sawit Bukit Harapan. Siahaan juga menyebutkan bahwa Mongabay melakukan “penggiringan opini” untuk memojokkan kliennya.

Dalam suratnya, Siahaan menulis bahwa “secara de facto dan de jure” tak pernah ada hutan Register 40 karena belum ada tata batas dan penetapan kawasan yang disebut Mongabay maupun pihak pemerintah sebagai “hutan Register 40.”

Hal ini sebutnya sesuai dengan hasil laporan pemerintah dalam hal ini hasil laporan tim Interdept 2005 (Tim antara lain terdiri dari Departemen Kehutanan, Departemen Dalam Negeri, Badan Pertanahan Nasional, Pemerintah Daerah dalam Provinsi Sumut) menyatakan sebagai fakta terdapat 43 perusahaan di lokasi yang disebut-sebut sebagai Register 40.

Dia sebutkan, bahwa putusan pidana dari Mahkamah Agung adalah tentang kawasan hutan Register 40 yang disebut seolah-olah berdasarkan Gouvernement Besluit No. 50 tertanggal 24 Jun 1924 (GB50). Juga kebun sawit yang dikelola Persub dan KPKS Bukit Harapan seolah-olah terletak di lima desa di Padang Lawas: Desa Aek Raru, Janji Matogu, Langkimat, Paranpadang dan Desa Mandasip.

”Padahal tidak betul, dan hal tersebut dibuktikan dalam sidang pembuktian dan sidang pemeriksaan di lokasi dalam perkara perdata,” kata surat Siahaan.

Koperasi Parsub dan KPKS Bukit Harapan mengajukan gugatan perdata, menurut Siahaan, yang mereka menangkan sampai Pengadilan Tinggi Sumatera Utara.

Dalam putusan itu, menurut Siahaan, KPKS Bukit Harapan dan Koperasi Parsub, tak berada dalam lima desa seluas sekitar 6.000 hektar, “Sedangkan dalam dakwaan dan putusan (pidana) menyatakan luas kebun sawit yang dikelola Persub dan KPKS Bukit Harapan seluas 47.000 hektar di dalam lima desa itu.”

Siahaan menulis, “GB50 itu sendiri tak pernah bisa menjadi dasar hukum untuk penetapan kawasan hutan Register 40, karena tak pernah masuk dalam sistem hukum Republik Indonesia.”

Jadi, katanya, di lokasi yang disebut-sebut sebagai Register 40 tak pernah ada kawasan hutan. Yang ada, “… banyak kebun-kebun sawit milik masyarakat, yayasan, perusahaan dalam negeri dan asing, koperasi, sampai BUMN.”

Menurut Siahaan, eksekusi terhadap putusan kasasi di dalam lima desa itu telah terlaksana pada 29 Agustus 2009 di kantor Kejaksaan Tinggi Medan. “Eksekusi tersebut sebagai pelaksanaan putusan pidana dimaksud terhadap kebun sawit di lima desa. Sedangkan kebun sawit Persub dan KPKS Bukit Harapan tak pernah ada di lima desa itu,” tulisnya.

Dengan begitu, menurut Siahaan, sebenarnya secara hukum, putusan pidana dari Mahkamah Agung tak dapat dieksekusi karena belum ada penetapan kawasan Register 40, bukan permainan kejaksaan atau Kementerian Kehutanan, seperti dalam berita.

 

Tanggapan Mongabay

Ridzki R Sigit, Program Manager Mongabay Indonesia, mengatakan, Mongabay Indonesia, adalah media khusus lingkungan hidup hingga liputan banyak soal kehutanan.

“Pada Januari 2015, ketika wartawan kami di Medan mengetahui dari Muhammad Yusni, Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara, bahwa ada kesulitan dalam menjalankan keputusan Mahkamah Agung soal Register 40, kami tentu memuatnya,” katanya.

Yusni mengacu pada putusan Mahkamah Agung nomor 2642/K/PID/2006, yang sudah berkekuatan hukum dan memutuskan DL Sitorus, bersalah melakukan penguasaan terhadap hutan negara, lewat perusahaannya, PT Torganda dan PT Torus Ganda.

Putusan kasasi itu menyebutkan:

  1. Perkebunan kelapa sawit seluas ± 23.000 ha, yang dikuasai Koperasi Perkebunan Kelapa Sawit Bukit Harapan dan PT. Torganda, beserta seluruh bangunan yang ada di sana, dirampas untuk negara lewat Departemen Kehutanan;
  2. Perkebunan kelapa sawit seluas ± 24.000 ha, yang dikuasai Koperasi Parsadaan Simangambat Ujung Satu dan PT. Torus Ganda, beserta seluruh bangunan yang ada di sana, juga dirampas untuk Negara lewat Departemen Kehutanan.

Kesulitan menjalankan keputusan Mahkamah Agung itu, lalu dibahas dalam rapat kabinet antar-kementerian, pada 30 Juni 2015, dihadiri Menteri Koordinator Bidang Hukum dan Keamanan Tedjo Edhy Purdijatno, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya dan Menteri Agraria dan Tata Ruang Ferry Mursyidah Baldan. Mereka membahas sejumlah kasus agraria dan pertanahan termasuk Hutan Register 40.

Sesudah rapat selesai, banyak wartawan yang bertugas di Manggala Wanabakti, tempat rapat diadakan, diundang mendengarkan perkembangan kasus itu.

“Wartawan kami juga meliput jumpa pers itu. Nara sumbernya adalah anggota kabinet,” katanya. Ia sesuai kriteria sumber dalam proses verifikasi, yang diterangkan buku The Elements of Journalism karya Bill Kovach dan Tom Rosenstiel.

Pada Agustus 2015, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya mengeluarkan PERMEN-LHK RI No.P.47/Menlhk-Setjen/2015 guna mengambil alih kedua lahan itu guna diserahkan ke sebuah badan usaha milik negara.

Sebelumnya pada 2009, Menteri Kehutanan mengeluarkan surat Keputusan Menteri No. 696/697 tertanggal 19 Oktober 2009 yang menunjuk Badan Pengelola Sementara Eks Aset Terpidana DL Sitorus di Kawasan Hutan Register 40 Padang Lawas, yang terdiri dari  Badan Pengawas dan Badan Pelaksana pengelolaan yaitu PT Inhutani IV (Persero).

“Pada 2009, PT Inhutani IV ditunjuk sebagai badan pengawas dan pelaksana pengelolaan. Pada 2015, saat berita dibuat, PT Inhutani IV sudah holding dengan Perhutani. PT Inhutani I, II, III, IV, dan V telah bergabung ke Perhutani sejak 17 September 2014. Itu setelah Perhutani ditetapkan sebagai holding BUMN bidang kehutanan. Maka, Perhutani disebut dalam artikel itu,” ucap Ridzki.

Dua keputusan menteri ini juga digugat oleh KPKS Bukit Harapan, sampai tingkat kasasi, namun ditolak Mahkamah Agung lewat putusan Nomor 143 K/TUN/2011.

Pada Mei 2017, Direktur Jenderal Penegakan Hukum KLHK  Rasio Ridho Sani mengadakan pertemuan pers dan memberikan keterangan resmi soal status DL Sitorus, menjadi sebagai tersangka dan tahanan kota. Sani mengatakan Sitorus masih menguasai Register 40, mengacu pada putusan kasasi 2007.

Direktorat Penegakan Hukum adalah pihak berwenang di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan buat melakukan penyelidikan dan penyidikan kasus-kasus lingkungan dan kehutanan. Mongabay memberitakan keterangan Rasio Ridho Sani sebagai sumber terverifikasi yang tahu dan berada persis di pusaran persoalan hukum ini.

Soal tuduhan Mongabay menggiring opini, kata Ridzki, perlu diletakkan dalam pemahaman jurnalisme. Walter Lippmann, seorang pemikir jurnalisme, menulis buku Public Opinion pada 1922 bahwa jurnalisme memang menciptakan opini publik. “Tanggungjawab jurnalisme adalah mencari kebenaran fungsional. Soal opini yang timbul, ia sepenuhnya berada dalam pemahaman masyarakat.” Ridzki mengatakan, dalam ketiga pemberitaan Mongabay tersebut tak keliru. Mereka sudah dikerjakan dengan standard jurnalisme yang baku.

Terkait dengan rencana liputan langsung lapangan, ia menyebut memang Mongabay belum pergi ke lapangan di Padang Lawas. “Kami baru bikin laporan-laporan pendek. Surat LBH Merah Putih membuat kami berpikir bikin laporan khusus tentang sengketa lahan di Register 40. Kami akan senang bila pihak DL Sitorus membuka akses informasi kepada Mongabay buat liputan tersebut.”

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh