Pemerintah Harus Mulai Selektif Memilih Energi

Pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) unit II PT Cirebon Energi Prasarana (CEP) berkapasitas 1 x 1.000 MW terus dilakukan ditengah proses hukum yang sedang berlangsung. Setelah Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandung, secara resmi mencabut izin lingkungan. Namun, pengerjaan kontruksi dan pembuatan akses jalan menuju PLTU tetap dikerjakan.

Seperti diketahui, Izin Lingkungan PT CEP telah digugat dan dimenangkan oleh masyarakat dalam perkara No. 124/G/LH/2016/PTUN-BDG yang diputuskan 19 April 2017. Masyarakat menggunggat terkait izin lokasi PLTU unit II karena dirasa akan mengancam mata pencaharian mereka yang umumnya berprofesi nelayan dan petani. Terlebih dampak lingkungan yang ditimbulkan.

(baca :

Putusan Pembatalan Izin PLTU II Cirebon Disambut Gembira. Tapi Bagaimana Kelanjutannya?)

PLTU unit II PT CEP tersebut menggunakan lahan milik pemerintah seluas 200 hektare. Lahan tersebut milik Kementerian KLHK tapi telah melalui regulasi sesuai Permenkeu nomer 164 tahun 2014 tentang pemanfaatan lahan tidur negara yang tidak termanfaatkan.

 

 

Namun berdasarkan informasi yang didapat Mongabay, penetapan lokasi masih menjadi sengketa. Klaim PT CEP bahwa itu merupakan negara tetapi diizin lokasi dicantumkan tanah tersebut merupakan tanah adat.

Lokasi itu bersebalahan dengan PLTU unit I. Adapun yang menjadi sorotan beberapa pihak adalah proyek PLTU senilai Rp20 triliun itu tidak terdapat pada rencana tata ruang wilayah (RTRW) Kabupaten Cirebon. Sehingga putusan hakim menyatakan bahwa Izin Lingkungan PLTU unit II mengandung cacat yuridis. Sementara, PT CEP saat ini sedang mengajukan proses banding.

Respon tentang pengajuan revisi izin lingkungan tersebut ditanggapi beragam sejumlah pihak. Terutama masyarakat yang sudah dibuat gusar soal nasib kehidupannya dikemudian hari.

Selain itu, Manajer Kampanye Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Jawa Barat, Wahyu Widianto menilai, pengajuan permohonan revisi izin lingkungan merupakan upaya untuk mencederai proses hukum.

(baca : Proyek PLTU Unit II Cirebon Terus Berjalan, Ditengah Penolakan Masyarakat)

Pada putusan persidangan, PT CEP dianggap tidak mematuhi persyaratan tata ruang. Sehingga pengadilan mewajibkan pemberi izin–Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Jawa Barat untuk mencabut izin lingkungan.

 

Sejumlah nelayan Cirebon berunjuk rasa di depan Kantor Pengadilan Tata Usaha Negeri (PTUN) Bandung, Jabar, Kamis (19/04/2017) lalu. Gugatan mereka mengenai pencabutan izin lingkungan PLTU II Cirebon yang merusak lingkungan akhirnya dikabulkan majelis hakim. Foto : Donny Iqbal

 

Wahyu yang mewakili masyarakat terdampak mempertanyakan dasar dari permohonan revisi izin lingkungan. Pasalnya, kebijakan RTRW Kabupaten Cirebon yang dimaksud belum dilakukan perubahan.

Dari penulusuran WALHI, menunjukan tidak ada satupun hukum yang meligitimasi perubahan RTRW Kabupaten Cirebon. Dugaan sementara, PT CEP bisa saja melakukan kebohongan publik dengan dalih adanya perubahan tersebut.

Karena terjadi pelanggaran tata ruang –dalam dokumen AMDAL yang merupakan dasar dari izin lingkungan, harus dikembalikan ke pemrakarsa dan otomatis tidak dapat dinilai.

“Ada kejahatan tata ruang disini (PLTU II). Artinya juga terdapat ketidaklayakan izin lingkungan PLTU Cirebon yang sangat mendasar dan tidak dapat semata-mata diakali dengan revisi atas izin lingkungan,” tukas dia berdasarkan press rilis yang diterima Mongabay, belum lama ini.

Pemrov Jabar dan Pemda Kabupaten Cirebon diminta melakukan kajian lingkungan hidup strategis (KLHS) dalam revisi RTRW Kabupaten Cirebon sebagaimana amanat UU 32 tahun 2009 tentang lingkungan hidup.

Tertulis bahwa setiap dokumen perencanaan kebijakan rencana program (KRP) untuk memastikan konsep pembangunan berkelanjutan sudah terintegrasi kedalam dokumen RTRW.

 

PLTU batubara di Cirebon, ada di depan perkampungan nelayan. Mereka khawatir kala PLTU unit II bakal dibangun. Foto: Indra Nugraha

 

Pemerintah Harus Konsisten

Berdasarkan data Kementerian ESDM, proyeksi produksi batubara nasional sekitar 413 juta ton tahun 2017. Dari jumlah itu, 121 juta ton diperuntukan untuk pemenuhan dalam negeri termasuk bahan baku PLTU. Sejauh ini, andalan pemenuhan kebutuhan energi listrik dan target nasional 35.000 MWT, 50% masih didominasi oleh PLTU dengan kebutuhan batubara rata – rata 80 – 90 juta per tahun. Sisanya 25% BBM dan 25% dari energi baru terbarukan (EBT).

Pertamina juga memprediksi minyak bumi akan mengalami defisit mencapai angka 800.000 barel setara minyak per hari (BOEPD) tahun 2020. Sementara perhitungan terbaru cadangan minyak bumi sekitar 3.3 miliar barel serta cadangan gas bumi sekitar 101 triliun kaki kubik.

Pada tahun-tahun mendatang bakal mengalami defisit pasokan dan kebutuhan minyak bumi akan semakin lebar seiring menipisnya cadangan. Hal itu dikarenakan kebutuhan konsumsi yang terlampau membesar.

(baca : Oase Batubara untuk PLTU Bisakah Dihentikan?)

Anggota Komisi VII DPR RI Tjatur Sapto Edy di Bandung mengatakan, pemerintah sudah harus mulai selektif memilih energi yang tidak ramah lingkungan. Disampang itu juga perlu memperhatikan alternatif energi menggantikan cadangan energi fosil yang kian habis.

Perihal batubara, memang ekspolitsinya cenderung tidak terkendali dan terlalu boros. Selama ini terjadi cara pandang yang salah mengenai batubara.

Menurut politisi PAN tersebut, pada prinsipnya batubara harus masuk prinsip energi bukan prinsip mineral. Sehingga UU 4 Tahun 2009 tentang pertambangan sedang direvisi.

“Soal energi (Indonesia) masih banyak yang murah. Batubara hanya 2,6 persen dari cadangan minyak. Eksploitasi di Indoensia terbesar di dunia. Jadi batubara dengan UU yang sedang dirancang akan diperketat regulasinya,” kata dia kepada Mongabay beberapa waktu lalu.

 

Spanduk setop penggunaan batubara di crane Pelabuhan PLTU Cirebon oleh Koalisi Break Free, yang berujung para aktivis diamankan polisi. Foto: Greenpeace Indonesia

 

Tjatur menuturkan, pemerintah juga mesti konsiten dalam menentukan pola kebijakan strategis. Kebijakan jangan berubah – ubah setiap pergantian menteri, dikhawatirkan pemerintah hanya berkutat pada kondisi yang stagnan.

“Untuk EBT visible-nya dilakukan diluar Jawa yang KKP (pajak) tinggi. Kalau di Jawa susah karena mahal. Tapi kuncinya ada di pemerintah. Kebijakannya harus konsisten,” katanya menambahkan.

Perjanjian Paris tahun 2015 merupakan kesepakatan global dalam menghadapi perubahan iklim. Komitmen antara negara maju dan berkembang ini dinyatakan melalui Nationally Determined Contribution (NDC) untuk 2020-2030, ditambah aksi pra-2020

Pasca perjanjian tersebut Indonesia diwajibkan menurunkan emisi rumah kaca hingga 29% di tahun 2030. Jika dibantu oleh negara lain, Indonesia diharapkan mampu menurukan emisi hingga 41%. Mengingat pertumbuhan industri dalam negeri dijadwalkan akan terus meningkat. Perlu antisipasi mengatasi perubahan iklim.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,