Kala Rusa Pulau Mare Tak Lagi Tersisa…

 

 

Hamparan ilalang mencapai 10 hektar di bagian Timur Gunung Mare itu merupakan hutan lindung. Ada juga pohon jambulang tumbuh liar bersama tanaman perdu lain. Tempat ini oleh warga dikenal dengan  Bilarung Makota, bahasa Tidore,  berarti tempat bermain rusa.

Warga menyebut, tempat bermain rusa, karena di sinilah  sekitar 15 tahun lalu bisa menyaksikan rusa-rusa  di Puncak Gunung  Pulau Mare.  Kini, rusa tak lagi terlihat.

“Kami sudah jarang bahkan tak lagi mendengar warga bercerita melihat  tanda kaki  rusa,” kata Hatta Hamzah, tokoh pemuda Mare Gam.

Dia meyakini, rusa langka, bahkan punah di Mare, penyebab utama perburuan liar.

Berdasarkan data Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Ternate-Tidore luas hutan lindung  Pulau Mare adalah 31,31 hektar, areal penggunaan lain 67,72 hektar dan hutan produksi Dikonversi  153,98 hektar.

Di pulau ini taka da lagi hutan perawan dengan pepohonan besar. Yang ada kebun warga dengan beragam tanaman  kelapa dan pala.

Di puncak didominasi perdu  dan ilalang.  Di Bilarung Makota  didominasi  ilalang dengan jambulang (Syzygium cumini).

Jambulang  adalah  sejenis pohon buah dari suku  jambu- jambuan dengan buah sepat masam. Dalam bahasa lokal Ternate  dan beberapa daerah lain di Maluku Utara disebut jambula.

Data Kementerian Kementerian Kelautan dan Perikanan, terkait pulau-pulau kecil menunjukkan,  Mare adalah  pulau berbatu yang sebagian hutan berubah jadi perkebunan. Sedang daerah landai untuk  perkampungan.

Kala saya mendatangi kawasan ini, dari Mare Gam sekitar 1,5 kilometer juga tak melihat  rusa.

Perjalanan  ini agak terhibur karena dari Puncak Mare pemandangan begitu indah. Kala memalingkan muka ke bagian timur terlihat laut indah dan  Gunung Kie Matubu Tidore.

Agak ke utara akan menyaksikan berjejer Pulau Maitara dan Ternate. Begitupun ke selatan , bisa melihat Halmahera memanjang dari utara dan selatan.

Kala memandang ke barat  bisa menyaksikan  gugusan Pulau Moti Makian  dan Kayoa  seperti terapung- apung dari kejauhan.

Cerita tentang Mare dan rusa kuat dalam ingatan warga terutama mereka yang berusia lebih 30 tahun. Pasalnya,  waktu masih kanak- kanak rusa liar banyak  bahkan  kadang masuk kampung.

 

Bilarung Mahkota, atau tempat bermain rusa di Gunung Mare. Kini hanya tersisa padang ilalang tanpa rusa. Foto: M Rahmat Ulhaz

 

Kini, cerita  warga  mengejar  rusa liar  saat turun ke pantai juga  tak ada lagi.  “Dulu, kalau ada yang cerita melihat rusa turun ke pinggir pantai, warga    20 sampai 25 orang berjejer dan mengepung lokasi itu,” kata Udin Hadi, warga Mare Kofo.

Udin bilang, memasuki tahun 2000-an,   di pulau ini masih ada rusa. Sekitar 2010 sampai kini tak ada lagi.

Syukur  Hadi warga Mare Gam, mengatakan, semasa kecil hampir setiap saat melihat rusa  turun dari  gunung  dan bermain di belakang rumah mereka.

“Dulu,   malam hari rusa   turun sampai belakang rumah,” katanya.

Memasuki  2005,  rusa masih tersia satu dua. Bahkan  jika mereka ke kebun masih melihat bekas pijakan  kaki.   Setelah tahun itu, katanya, tak lagi terlihat.

Dulu, setiap sore di ujung kampung bagian selatan Desa Mare Gam, ada bukit  yang menjadi tempat rusa  turun ke  tepi pantai untuk  minum air.

Ahmad Syarif,  tokoh masyarakat Mare Gam mengatakan, perburuan rusa di pulau kecil ini cukup lama.  Ada warga dari Tidore berburu rusa pakai anjing.

“Warga Tidore membawa puluhan ekor anjing  untuk  memburu rusa di pulau ini. Aktivitas hingga 2000-an. Sebelum mereka berburu,  terlebih dahulu meminta izin kepada tetua  kampung  membuat semacam ritual dengan mendatangi gubuk atau rumah  yang disebut rumah obat.”

Rumah obat   diyakini  menjadi  tempat  leluhur. Rumah itu memiliki beragam fungsi  untuk permintaan apa saja sepertii pengobatan  keluarga sakit atau  permintaan lain seperti berburu rusa.

“Rumah obat ini perantara meminta petunjuk yang maha kuasa. Para leluhur meneruskan permintaan kita,” ujar Ahmad.

Setelah selesai ritual, mereka masuk hutan buat berburu.  Saat ini, katanya,  sisa anjing buruan  masih hidup liar di Mare Gam. “Warga Mare ini tak memelihara anjing. Yang banyak itu anjing liar hidup  di kampung ini karena  ditinggalkan pemilik usai berburu.”

Dia bilang berburu dengan anjing,  hasil buruan tak terlalu banyak  kadang satu dua ekor saja. Yang membuat rusa habis, katanya, berburu pakai senjata.

Ahmad menceritakan, awal 2000 an ada warga dari Ternate,  berburu  di Pulau Mare pakai senjata. Dia  menembak 15 rusa dan dibawa ke Ternate.

Ada juga warga memasang jerat buat menangkap rusa. Berbagai aktivitas ini, katanya, membuat rusa di Mare, punah.

Ibrahim Tuhateru, Kepala Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Ternate-Tidore,  mengaku baru tahu kalau rusa punah di Mare.

Dia  bilang,  belum  mempelajari terlalu jauh karena lembaga mereka baru terbentuk seiring kewenangan Dinas Kehutanan kabupaten/kota ke provinsi. Rusa punah ini, katanya, persoalan serius.

“Kita akan membuat imbauan atau memasang pengumuman melarang penangkapan atau perburuan satwa  di pulau-pulau kecil di wilayah kerja kita,” katanya.

Wilayah kerja KPH Ternate–Tidore meliputi, Pulau Ternate, Pulau Moti, Pulau Hiri, Pulau Batang Dua, Pulau Tidore, Pulau  Mare, Pulau Maitara dan Pulau Filonga. “Pulau- pulau ini masuk kawasan lindung. Otomotis sesuai UU Kehutanan mengatur tak hanya hutann juga satwa di dalamnya.”

Dia mengakui, belum bisa berbuat banyak karena sebagai lembaga baru belum memiliki dokumen perencanaan baik jangka pendek maupun panjang.

 

Pemandangan dari puncak Gunung Mare. Foto: M Rahmat Ulhaz

 

 

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,