Ada Praktik Kartel dalam Tata Niaga Garam Nasional?

Praktik kartel dalam tata kelola niaga garam nasional diduga kuat masih terjadi dalam tata kelola niaga garam nasional. Dugaan itu muncul, karena hingga saat ini petambak garam rakyat masih belum mendapatkan kesejahteraan. Padahal, produksi garam rakyat setia tahun tidak pernah berhenti.

Tuduhan tersebut diungkapkan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menyikapi munculnya kasus dugaan penyalahgunaan izin impor yang dilakukan Direktur Utama PT Garam (Persero) Achmad Boediono. Susi mengatakan itu di Jakarta medio Juni.

Menurut Susi, praktik kartel yang ada di Indonesia sudah mengakar dengan kuat dalam perdagangan garam nasional. Akibatnya, walau Pemerintah sudah mengetahui praktik tersebut, namun itu masih sulit untuk dihentikan pergerakannya.

“Kita tahu kartel pangan di Indonesia luar biasa, tidak mudah untuk menghentikannya,” kata dia.

 

 

Akan tetapi, kata Susi, meski praktik kartel sulit dihentikan, Pemerintah tetap memiliki kewajiban untuk melindungi petambak garam dengan cara membantu mereka meningkatkan kesejahteraannya. Dengan cara seperti itu, petambak garam juga mendapat jaminan untuk tetap melakukan produksi sepanjang tahun.

“Sekarang adalah bagaimana PT Garam juga harus tetap bisa menjaga keseimbangan pasokan dan permintaan. Itu penting,” ujar dia.

Kata Susi, perlunya menjaga keseimbangan pasokan dan permintaan, karena industri garam nasional selama ini identik dengan kehadiran pengusaha di berbagai lini. Itu berarti, komoditas tersebut harus diatur sedemikian rupa agar tidak terjadi penyimpangan seperti yang terjadi saat ini.

Tentang kasus tersebut, Susi mengungkapkan, banyak kalangan yang menuduh dirinya sudah ikut bermain dalam pengaturan izin impor. Namun dia menegaskan, dalam kasus tersebut, posisinya adalah sebagai pemegang kebijakan untuk mengeluarkan rekomendasi impor garam seperti yang diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 125 Tahun 2015.

“Rekomendasi impor pun hanya diberikan kepada PT Garam saja sehingga lebih mudah dalam melakukan pengawasan,” ujar dia.

 

Garam yang sudah dipanen diangkut ke gudang sementara (lntang) atau ke gudang besar. Biaya transportasi ini cukup besar, bisa sekitar Rp 7 ribu sekali angkut. Ini cukup memberatkan petani karena bisa mengambil sebagian dari hasil produksi. Foto: Wahyu Chandra

 

Menurut Susi, dengan kebijakan seperti itu, maka industri garam akan sangat bergantung pada peran PT Garam. Pasalnya, jika stok garam konsumsi secara nasional berkurang, maka pihak yang berhak untuk mengimpor adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tersebut.

“Ini adalah mengubah dari dulu semua orang bisa impor, sekarang jadi satu pintu untuk mengontrol,” tegas dia.

 

Ada Jebakan

Berkaitan dengan kasus yang menimpa Achmad Boediono tersebut, Susi menyebut, ada indikasi jebakan yang dilakukan pihak lain. Indikasi tersebut muncul, karena sebelum ada kebijakan impor satu pintu oleh PT Garam, ada banyak importir yang bisa bebas mengimpor garam sepanjang tahun.

“Ini hanya dugaan ya. Karena saya belum melihat ada kesalahan. Jadi baru diindikasi ada permainan yang menjebak sana sini, dan itu kelihatan sekali,” ungkap dia.

Meski demikian, Susi pada kesempatan tersebut tidak menyebut siapa pihak yang disebut menjebak Achmad Boediono tersebut. Dia hanya menegaskan, bahwa kemungkinan itu paling besar dilakukan oleh pihak yang tidak senang dengan kebijakan satu pintu untuk impor garam.

“Saya melihat di sini kemungkinannya banyak, yang dulu biasa impor terus comfort zone hilang terus membuat pelaporan,” kata Susi.

 

Arifin sedang mengkristalkan air payau di tambak yang beratap agar bisa terus produksi saat musim hujan di Dusun Mencorek, Kecamatan Brondong, Lamongan, Jawa Timur. Siasat pelestari garam rakyat sekaligus menghijaukan tambak dengan bakau. Foto Anton Muhajir

 

Sementara itu, Peneliti Bidang Perdagangan Lembaga Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Hizkia Respatiadi mengatakan, terungkapkan kasus dugaan penyalahgunaan izin impor yang dilakukan Achmad Boediono, menjelaskan bahwa ada yang tidak beres dalam peraturan yang sudah ada.

Menurut Hizkia, agar penyimpangan tidak terjadi lagi di kemudian hari, satu-satunya cara adalah dengan merevisi peraturan tentang hak monopoli yang dimiliki PT Garam (Persero) dalam mengimpor garam. Hak monopoli itu, rentan juga terjadi dalam komoditas pangan yang lainnya di Indonesia.

“Pemerintah harus merevisi aturan yang ada, karena itu rentan disalahgunakan seperti yang terjadi pada kasus PT Garam. Perusahaan swasta yang memenuhi syarat juga harus diikutsertakan dalam impor,” jelas dia.

Akan tetapi, Hizkia buru-buru menambahkan, sebelum memberikan kesempatan kepada perusahaan swasta, harus ada proses seleksi yang ketat dan transparan sesuai dengan peraturan dan ketentuan yang berlaku.

“Dengan membuka akses bagi perusahaan-perusahaan kecil untuk ikut serta menjadi pelaku pasar, Pemerintah dapat membuat pasar bahan pangan menjadi lebih kompetitif, sehingga dapat mereduksi kemungkinan terulangnya kasus-kasus di atas,” kata dia.

 

Mafia Garam

Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan Abdul Halim menilai, tertangkapnya Achmad Boediono menunjukkan bahwa selama ini tata kelola melibatkan aktor mafia garam. Praktik itu bisa terjadi, karena Pemerintah selama mengabaikan kepentingan petambak garam.

“Juga karena longgarnya mekanisme perizinan yang terbagi ke dalam empat kementerian/lembaga Negara,” jelas dia.

 

Farihin merebus garam terakhirnya di Dusun Mencorek, Kecamatan Brondong, Lamongan, Jawa Timur. Farihin merupakan satu dari 5 rumah tangga pemasak garam yang tersisa di kampung tersebut. Foto Anton Muhajir

 

Halim memaparkan, dalam kasus penyalahgunaan impor garam, bisa ditelusuri bahwa dalam impor garam memang ada peluang besar untuk ‘bermain’. Hal itu bisa terjadi jika:

  • Data produksi garam nasional sulit diverifikasi;
  • Celah data ini dimanfaatkan oleh importir untuk mengajukan izin impor garam; dan
  • Surat rekomendasi KKP bisa dijadikan sebagai celah kedua apabila eksplisit menyebut alokasi garam impor untuk konsumsi.

Menurut Halim, karena garam impor pada umumnya berstandar garam industri, itu menegaskan ada permainan di tingkat importir dalam pengajuan izin dan PT Garam selaku eksekutor yang juga memanfaatkan peluang dagang ini.

Indikator adanya permainan dalam impor garam nasional, dipaparkan Halim sebagai berikut:

  • Belum ada pendistribusian kartu petambak garam, asuransi jiwa petambak garam, dan asuransi usaha pertambakan garam;
  • Pembukaan kran impor garam tanpa lebih memprioritaskan penyerapan garam rakyat; dan
  • Impor garam dilakukan justru dialokasikan untuk garam konsumsi, bukan industri.

Sebelumnya, Halim juga mendesak Pemerintah Indonesia untuk meninjau kembali kebijakan importasi garam yang akan dilaksanakan pada 2017. Peninjauan dilakukan, karena Pemerintah dinilai belum bisa menjamin penyerapan garam produksi rakyat di semua sentra produksi dan pergudangan rakyat.

“Pemerintah Indonesia dinilai gagal memberdayakan petambak garam nasional yang ada di sejumlah sentra produksi garam untuk memenuhi kebutuhan garam nasional sepanjang 2016. Akibatnya, produksi garam di tahun tersebut anjlok ke angka 118.054 ton saja dari target 3,2 juta ton,” ungkap dia pekan ini.

Imbas dari kegagalan produksi tersebut, Halim mengatakan, pada 2017 Pemerintah Indonesia melaksanakan impor garam sebesar 200 ribu ton yang dilaksanakan pada semester I oleh PT Garam (Persero).

Kegagalan produksi tersebut, dalam sudut pandang Halim, menjadi kegagalan kabinet kerja pimpinan Presiden RI Joko Widodo. Penilaian tersebut, karena bukan hanya gagal melakukan produksi, kebijakan importasi garam juga akhirnya dibuka dengan alasan yang sama.

“Besaran target produksi 2016 sudah diturunkan, dari 3,6 juta ton menjadi 3,2 juta ton. Ironisnya, kegagalan ini diperparah dengan kebijakan importasi garam yang merugikan kepentingan petambak garam rakyat,” ungkap dia.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,