Amdal Bandara Baru di Kulon Progo Tak Layak Lanjut, Mengapa?

 

 

Proses pembangunan bandara baru Yogyakarta di Kabupaten Kulon Progo atau New Yogyakarta International Airport (NYIA) terus dikebut. Dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) masih proses penyusunan. Walhi Yogyakarta bersama Aliansi Jogja Darurat Agraria dan Komite Bersama Reformasi menilai, dokumen Amdal, rencana kelola lingkungan/rencana pemantauan lingkungan (RKL/RPL) tak layak lanjut.

“Dokumen Amdal tak layak lanjut. Selain pembangunan bandara tak sesuai tata tuang, Andal tak memuat kajian risiko bencana tsunami,” kata Halik Sandera, Direktur Eksekutif Walhi Yogyakarta, pekan lalu kepada Mongabay.

Pembangunan bandara, katanya, tak sesuai tata ruang terutama rencata tata ruang wilayah provinsi, sesuai Perda Nomor 2/2010 dan bertentangan dengan prinsip kehati–hatian dalam pengurangan risiko bencana.

Pembangunan bandara,  mempunyai implikasi perampasan lahan produktif, penggusuran pemukiman, mata pencaharian hilang di tapak rencana dan di lokasi infrastruktur pendukung. Bahkan, katanya, tak ada kajian pengurangan sisiko bencana tsunami dalam pernyusunan Amdal, hingga tak ada jaminan keselamatan.

Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Nomor: 07/G/2015/PTUN tertanggal 23 Juni 2015, kata Halik, mengabulkan gugatan warga atas Surat Keputusan Gubernur Yogyakarta Nomor: 68/KEP/2015 tentang Penetapan Lokasi Pembangunan Bandara. Hal ini membuktikan, rencana pembangunan bandara tak sesuai tata ruang.

“Putusan kasasi Mahkamah Agung yang memenangkan tergugat, tak menjawab aspek kesesuaian tata ruang hingga bertentangan dengan RTRW provinsi.”

Perda RTRW Yogyakarta, menetapkan, pesisir Kulon Progo jadi salah satu kawasan rawan bencana tsunami. Dalam rencana mitigasi bencana tsunami tertuang dalam dokumen Amdal, tak ada kepastian rencana tindakan dan bukti kajian menyeluruh tentang dampak pembangunan terhadap perubahan lingkungan.

“Ini membuktikan PT. Angkasa Pura I tak siap dalam mitigasi bencana dan tak siap membangun dengan kesadaran lingkungan,” katanya.

Pembangunan bandara di Kulon Progo, katanyam juga tak sejalan dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015–2019, yang mengatur arah kebijakan umum pembangunan nasional yakni meningkatkan kualitas lingkungan hidup, mitigasi bencana dan penangan perubahan iklim.

Pembangunan bandara baru, katanya, akan menghilangkan lahan produktif.  Kulon Progo,  salah satu sumber penghidupan petani, dan distribusi pertanian beberapa wilayah selama ini bergantung dari sana.

Seharusnya, ucap Halik, tak boleh ada pengembangan mengubah bentang alam, karena risiko bisa lebih besar. Penetapan lokasi bandara di kawasan lindung geologi dari bencana alam tsunami, katanya, tak sesuai peruntukan ruang.

“Dalam strategi pengembangan prasarana lingkungan, lokasi bandara ialah  kawasan lindung geologi dari bencana alam tsunami dan banjir.”

 

Tulisan penolakan pembangunan bandara du Palihan, Temon. Foto: Nuswantoro

 

 

 

Pembangunan berisiko tinggi

Keputusan Menteri Perhubungan Nomor : KP.1164 Tahun 2013 menyebutkan, luasan rencana pembangunan bandara 637 hektar, namun dalam studi Amdal luasan hanya 587,261 hektar.

Lokasi mencakup lima desa, yakni Jangkaran, Sindutan, Palihan, Glagah dan Kebonrejo, Kecamatan Temon, Kulon Progo. Lahan ini merupakan wilayah pertanian dan pemukiman.

Himawan Kurniadi dari Jogja Darurat Agraria mengatakan, dampak langsung pembangunan bandara yakni mata pencaharian warga hilang. Jangka pendek, katanya, kemiskinan meluas menyusul konsumsi tak terencana.

“Jangka panjang, penurunan kualitas hidup pada berbagai aspek, terkhusus lahan pertanian produktif,” kata Himawan.

Implikasi lebih besar, katanya,  terjadi dari pembangunan bandara dengan konsep Kota Bandara dan infrastruktur pendukung, yakni kereta api, jalan tol, pelebaran jalan nasional dan arteri.

Warga terdampak, akan makin banyak, perampasan lahan produktif meluas, penggusuran permukiman, mata pencaharian hilang dan meningkatnya biaya hidup.

Tak hanya tapak bandara, pembangunan Jalan Jalur Lintas Selatan (JJLS) juga menggunakan studi Amdal. Buntut rencana pembangunan bandara, rencana jalur JJLS berubah.

“Perubahan jalur berimplikasi terhadap pemborosan keuangan negara dan Amdal. Ini ciri pembangunan infrastruktur tidak berkelanjutan,” kata Kurniadi.

Sebelumnya Senin, 19 Juni 2017, di Ruang Adikarta, Kompleks Pemkab Kulonprogo dilakukan pembahasan dokumen Amdal bandara baru Yogyakarta.

Kepala Bidang Lalu Lintas Dinas Perhubungan (Dishub) Yogyakarta, Anna Rina mengatakan, Angkasa Pura I belum melengkapi dokumen pembangunan, dokumen Amdal lalu lintas. Ketentuan dokumen Amdal lalin harus dipenuhi, rekomendasi langsung dari Kementerian Perhubungan.

“Ada delapan item perlu dilengkapi Angkasa Pura I soal Amdal lalin,” katanya.

AP I, katanya,  harus memaparkan jumlah truk melintas jalan menuju lokasi proyek, termasuk asal material bangunan.

“Jangan sampai ketika truk pengangkut material lewat, material jatuh di jalan dan berpotensi membahayakan pengguna jalan lain.”

Perwakilan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Yogyakarta mengatakan, dokumen pembangunan belum dilengkapi rencana penanggulangan bencana, keberadaan peringatan dini bencana tsunami, gempa dan banjir.

Badan BPBD Jateng juga menyoroti hal sama, NYIA berada di lokasi rawan bencana tsunami hingga meminta jadi perhatian khusus.

Dokumen Amdal harus memperhatikan aspek efek berlapis dari NYIA terhadap Jateng, mengingat kehadiran bandara ini bisa memberikan efek untuk pariwisata ke Borobudur dan sekitar.

Safety Health and Environment Department Head Angkasa Pura I, Dedi Ruhiyat mengatakan, target penyusunan KA-Andal selesai 75 hari dan penyusunan Amdal 75 hari. Amdal, kata Ruhiyat, dinilai Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Penolakan warga akan menjadi bahan kajian penyusunan.  Amdal disusun melalui proses penilaian sekaligus bisa menjadi solusi atas penolakan.

Terpisah, Kepala Kantor Lingkungan Hidup (KLH) Kulon Progo,  Suharjoko, mengatakan, pembangunan bandara NYIA merupakan proyek strategis nasional. Penyusunan Amdal, merupakan bagian perizinan ini juga termasuk program percepatan.

“Penyusunan KA-Andal dipercepat, dibatasi lebih cepat dari biasa yang 150 hari,” katanya.

Penyusunan KA-Andal, katanya,  diharapkan benar-benar berkualitas hingga tak lepas dari masukan masyarakat terdampak.

“Kami juga menerima masukan tertulis. Dalam penyusunan KA-Andal juga akan dipetakan potensi-potensi dampak dari pembangunan bandara NYIA, terutama lingkungan. Juga dampak lain,  sosial dan ekonomi.”

Pimpinan Proyek Pembangunan NYIA, Sujiastono memilih menyerahkan beragam masukan dalam pemaparan Amdal kepada konsultan, untuk mempertajam kembali.  Masalah kehilangan lahan sawah bukan semata-mata tanggung jawab Angkasa Pura I, melainkan pemerintah.

“Terkait alih fungsi lahan memang beralih dari pertanian ke bandara, AP I dan pemda sudah dan terus cari solusi, baik dengan pelatihan dan lain-lain,” katanya.

Bupati Kulon Progo, Hasto Wardoyo mengatakan, dalam okumen Amdal  ada bahasan tiga dampak pembangunan NYIA, mulai fisik, ekonomi dan sosial. Kajian dampak ekonomi dan fisik, katanya, sudah tak masalah. Untuk kajian dampak sosial, katanya,  perlu cari cara penyelesaian.

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,