Punah, Sepertiga Megafauna Laut Tanpa Pernah Kita Ketahui

 

 

Kematian adalah bagian dari kehidupan. Kematian membuka jalan bagi kehidupan-kehidupan makhluk lain untuk tumbuh dan berkembang di Bumi. Sulit untuk diketahui bagaimana akhir kehidupan dari sloth air raksasa yang tidak lagi menjelajahi lautan untuk mencari rumput laut di zaman ini.

Manusia tak pernah menyaksikan secara langsung bagaimana makhluk ini merayap pelan-pelan dengan cakar depannya. Dan kita tak pernah ingin tahu bagaimana mereka punah. Selain itu, sudah banyak sekali makhluk-makhluk hidup dari seluruh dunia yang punah dan tak pernah kita lihat bentuknya. Jadi, mengapa sloth laut raksasa menjadi lebih penting dari yang lain?

Ada satu alasan mengapa kita perlu belajar pada kepunahan makhluk-makhluk masa lalu, yakni mereka punah sepenuhnya, dengan alasan yang sama dengan satwa-satwa moderen akan punah. Makin banyak yang kita ketahui dengan penyebab kepunahan mereka, makin baik kita untuk bersiap menghindari kepunahan satwa-satwa yang ada di masa sekarang.

Kembali pada zaman Pliosen dan Pleistosen, lautan mengalami perubahan. Waktu itu, bukan disebabkan karena manusia, namun iklim yang terus berubah memiliki dampak begitu besar pada lautan dan kehidupannya. Beberapa perubahan permukaan laut terbesar dalam 66 juta tahun terakhir terjadi selama masa-masa itu. Dan kejadian itu, menimbulkan dampak yang mengerikan bagi kehidupan di lautan.

 

Dunkleosteus, ikan yang hidup di Zaman Devonian, Zaman Ikan sekitar 400 juta tahun silam. Ilustrasi: Alain Benet eau/Pinterest.com

 

Para antropolog sepakat, sejumlah kepunahan terjadi di sekitar zaman itu dan meyakini bahwa kemungkinan besar dikarenakan perubahan kondisi lautan. Perubahan iklim tersebut merupakan bagian alami dari siklus pendinginan dan pemanasan yang telah dialami planet kita selama berjuta tahun.

Sayangnya, perubahan iklim di masa purba dan masa moderen tidak sama, perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia jauh berbeda dengan perubahan iklim alami di masa lalu. Emisi gas rumah kaca di masa kini  telah menyebabkan  peningkatan besar-besaran dalam tingkat pemanasan global.

Ini terjadi pada tingkat yang jauh lebih cepat daripada yang kita lihat dalam catatan iklim, dan itu berarti kabar buruk bagi spesies untuk beradaptasi dengan kondisi ini. Sementara, perubahan iklim alami di masa purba berlangsung perlahan, memamg membuat permukaan air laut naik saat es mencair. Namun, para ilmuwan meyakini bahwa hal itu berdampak pada populasi lokal, keanekaragaman hayati laut cukup tangguh bertahan dalam skala global.

Meski begitu, ternyata 36% megafauna laut mati pada akhir zaman Pliosen. Itu lebih dari sepertiga mamalia, hiu, kura-kura, dan burung laut yang mati saat iklim berubah waktu itu. Analisis yang dipublikasikan di Nature Ecology & Evolution baru baru ini, juga menemukan bahwa mamalia laut adalah yang paling menderita, sebagaimana dilansir dari Popular Science. Keanekaragaman hayati mamalia laut diperkirakan 55 persen lebih sedikit setelah era kepunahan, sedangkan hiu kehilangan 9 persen.

 

Kutu laut raksasa ini tubuhnya dapat mencapai ukuran 40,6 cm. Makhluk yang bentuknya mengingatkan kita akan film “Predator ” ini mampu bertahan hidup di dasar samudera hingga kedalaman 6.000 m. Sumber: Dailymail.co.uk

 

Tidak hanya keanekaragaman hayati yang berkurang, akan tetapi juga keragaman fungsional terdampak. Keanekaragaman fungsional memiliki dampak yang jauh lebih besar. Keanekaragaman hayati adalah tentang hilangnya spesies, bukan hilangnya peran fungsional dalam suatu ekosistem.

Jika satu spesies anjing laut hilang, tapi spesies anjing laut lain bisa mengisi ceruk yang sama dan jumlahnya bisa bertambah untuk menggantikan jumlah kehilangan anjing laut spesies yang punah, hal ini akan menimbulkan dampak yang tak sangat buruk.

Namun, jika tidak ada lagi yang memenuhi ceruk ekologi mereka, maka itulah akhir segelanya. Atau, paling tidak, itu membuat seluruh ekosistem menjadi lebih rapuh, dan lebih rentan berubah.

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,