Trump Lemahkan Perjanjian Paris, Obama Tekankan Perubahan Iklim Tantangan Dunia

 

 

“Siapa Kita? Kami Tidak Ada Mundur, Siapa Trump? Bencana Bagi Iklim.” Begitu seruan aksi terdengar di depan Kedutaan Besar Amerika Serikat (AS) di Jakarta, awal Juni lalu.  Aksi damai ini bentuk protes Amerika Serikat mundur dari Perjanjian Paris, yang diumumkan Presiden AS Donald Trump, 1 Juni 2017.

Sikap Trump menarik diri dari Perjanjian Paris ini pun sempat disinggung Presiden AS ke-44, Barrack Hussein Obama, dalam kunjungan ke Indonesia, kala memberikan pidato dalam Kongres Diaspora Indonesia keempat, di Jakata, Sabtu (1/7/17).

Pada era Obama, AS sudah menyepakati Perjanjian Paris untuk perubahan iklim pada 2015 di Paris. Obama mengatakan, ada empat tantangan global dihadapi setiap bangsa, yakni, ketimbangan sosial, migrasi manusia, terorisme dan perubahan iklim.

”Di Paris (Perjanjian Paris), kita punya kesepakatan melawan perubahan iklim, walaupun saat ini kami (Amerika Serikat) telah absen,” katanya.

Dia mendorong, setiap negara menggunakan energi ramah lingkungan dalam kehidupan bernegara sebagai upaya menekan pemanasan global.

”ASEAN jadi partner kami dalam menyelenggarakan industri dengan penggunaan energi ramah lingkungan. Ketika bekerja bersama, nanti pasti ada progres terjadi.”

Obama mengatakan, perubahan iklim masif menyebabkan merebaknya penyakit berbahaya bagi manusia, seperti ebola, TBC dan malaria.

 

 

Lepas tanggung jawab

Sebelumnya, Greenpeace Indonesia menyuarakan sikap Trump sebagai tak peduli pada kemanusiaan. ”Mundurnya Amerika ini, menunjukkan komitmen dari negara adidaya seperti Amerika pada keberlangsunga bumi sangat dipertanyakan,” kata Didit Haryo Wicaksono ditemui saat kampanye.

AS, katanya, negara penyumbang emisi terbesar kedua setelah Tiongkok, bahkan industri negara ini emiter terbesar sejak 1850-an (revolusi industri) hingga 2010.

Setelah mendapatkan keuntungan dari berbagai industri, katanya, seharusnya AS bertanggung jawab atas perubahan iklim.

Didit bilang, Trump seolah menutup mata terhadap dampak perubahan iklim, sepertibanjir, kekeringan, cuaca ekstrim di negara rentan dan lain-lain.

Melalui aksi itu, Greenpeace maupun mau mengingatkan pemerintah Trump bahwa, penyelamatan bumi harus dengan langkah-langkah bersama.

Tarik diri Trump bisa menyebabkan negara-negara dalam Perjanjian Paris memiliki tanggung jawab lebih besar. Pasalnya, mereka perlu memastikan emisi yang dihasilkan AS mereka tanggung. Kerja negara-negara di dunia pun makin berat.

”Ini jelas berbahaya karena saat ini saja untuk memastikan komitmen berjalan belum mampu sungguh-sungguh,” katanya.

Pengaruh lain sikap Trump, khawatir terjadi pada negara-negara yang merasa kesulitan memenuhi komitmen mereka. ”Mereka bisa gunakan alasan Trump untuk mundur.”

Di tengah melemahnya sikap AS, negara-negara besar lain seperti Uni Eropa, Tiongkok dan India tetap konsisten, bahkan memberi semangat kepada negara-negara yang memiliki komitmen lemah untuk tetap bertahan pada kesepakatan mereka.

Hindun Mulaika, Juru kampanye Iklim dan Energi Greenpeace mengatakan, Trump melepaskan diri dari tanggung jawab bencana di muka bumi. ”Ini langkah memalukan.”

Sementara itu, satu sumber emisi yang masih terus berkembang di Indonesia, yakni, bisnis batubara, baik mencari sumber tambang maupun sebagai energi.

Pemerintah Indonesia, katanya, akan sulit memenuhi komitmen Perjanjian Paris. Tiongkok membuktikan komitmen transisi dengan pembangunan 43.000 megawatt (MW) pembangkit energi surya sampai 2016 dan menghentikan pembangunan 104 PLTU batubara total kapasitas 120.000 MW.

Dia bilang, tak perlu lagi ada perdebatan soal mampu atau tidak sumber terbarukan memenuhi kebutuhan energi. “Terpenting, kemauan politik seorang pemimpin yang akan membawa negara pada jalur pembangunan rendah karbon,” ucap Didit.

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , ,