Dari Diskusi Mongabay: Mengkritisi Draft Perda Zonasi Pesisir Sulsel

Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan kini tengah mendorong lahirnya Peraturan Daerah terkait Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K). Sayangnya, draft Perda ini dinilai masih memiliki banyak kekurangan sehingga perlu direvisi dan dikaji ulang. Ditekankan juga perlunya partisipatif secara luas dari masyarakat dan transparansi dalam pembahasannya.

Hal ini mengemuka dalam diskusi RZWP3K yang diselenggarakan oleh Mongabay Indonesia kerjasama dengan Ikatan Sarjana Kelautan Indonesia (Iskindo), Yayasan Konservasi Laut (YKL), Blue Forests dan Walhi Sulsel, di Hotel Jolin Makassar, Kamis (15/6/2017) lalu.

(baca : Ramai-ramai Menolak Tambang Galian Pasir Laut di Galesong)

Diskusi dimulai dengan pemaparan proses dimulainya pembahasan RZWP3K ini yang disampaikan oleh Azis Said, dari Dinas Kelautan dan Perikanan Sulsel sekaligus anggota Tim Pokja RZWP3K ini.

 

 

Menurut Azis, proses penyusunan RZWP3K ini sudah dimulai sejak tahun 2014 melalui pembentukan Tim Pokja dan serangkaikan FGD, survey dan pengambilan data di lapangan. Pada tahun 2015 prosesnya sempat terhenti karena keterbatasan anggaran dan dilanjutkan kembali di akhir 2016 menyusul adanya aturan baru, yaitu Permen Kelautan dan Perikanan No 23 tahun 2016.

Proses penyusunan dokumen di pembahasan kali ini berlangsung cukup cepat, dari Januari 2107 – Maret 2017. Pertemuan terakhir dilakukan pada 30 Mei 2017, berupa permohonan tanggapan saran yang melibatkan kementerian dan lembaga tekait.

“Kurang lebih 13 Kementerian dan lembaga terkait yang hadir di tempat itu dan masing-masing memberikan tangapan dan saran. Harapan kita bahwa RZWP3K ini bisa memberikan kepastian hukum di dalam pengalokasian ruang, khususnya para pengembang dan juga kepada aktivitas-aktivitas nelayan sehingga tidak akan terjadi konflik pengusaha dan masyarakat sekitarnya,” jelas Azis.

(baca : Aksi Warga Takalar Menolak Tambang Pasir: Jangan Paksa Kami Menjadi Teroris)

 

Salah satu perairan di Sulawesi Selatan. Edi Kurniawan dari LBH Makassar menilai bahwa Perda Zonasi ini seharusnya tidak sekedar untuk kepastian hukum namun lebih penting memberi jaminan perlindungan kepada nelayan tradisional yang ada di pesisir Sulsel. Foto: Wahyu Chandra

 

Sesi selanjutnya disampaikan oleh Setya Budi dari Tim Teknis, yang lebih banyak menjelaskan aspek-aspek teknis termasuk proses pengambilan data di lapangan. Setya juga memaparkan sejumlah alasan kenapa Perda Zonasi ini harus segera disahkan.

“Pertama, salah satu solusi dari Perda Zonasi ini adalah rujukan konflik. Kalau rujukannya tidak ada bagaimana kita menyelesaikan sebuah konflik. Ini yang menjadi persoalan. Kedua, sudah sepuluh tahun namun belum memiliki payung hukum di wilayah laut. Ketika berkonflik kita lemah. Saya sampaikan ke teman-teman NGO bahwa kita selalu lemah karena kita tidak punya rujukan di mana yang menjadi kitab suci kita,” katanya.

Pentingnya Perda Zonasi ini juga terkait dengan adanya kesepakatan KPK dengan Pemprov Sulsel yang ditandatangani pada tahun 2014 silam, di mana disepakati bahwa KPK tidak akan melakukan proses mengusutan selama Perda Zonasi belum selesai. Dalam hal ini, Sulsel diberi waktu hingga 2017 sebelum KPK melakukan supervisi.

“Kalau kita selalu menunda-nunda kita akan selalu status quo. Ini siapa yang diuntungkan. Jadi mungkin kita bisa melihat ke arah mana, siapa yang diuntungkan kalau tidak ada dokumen zonasi kita ini,” tambah Setya.

(baca : Tolak Tambang Pasir, Masyarakat Galesong Utara Lapor ke KPK)

Terkait penambangan pasir, Setya berdalih bahwa wilayah tambang yang direkomendasikan telah melalui kajian mendalam di mana kawasan tersebut memiliki sumber daya pasir yang merupakan sedimen yang terbawa arus dan telah tercuci dengan baik.

“Dari Bawakaraeng sudah dicuci, masuk di Bili-bili, berapa kali sudah pencucian, sampai di laut sana pasti tetap ada sedimennya. Masih ada lumpurnya. Itulah yang menyebar ke sekitarnya. Itulah tanah tumbuh dan sebagainya. Pasti yang besar-besar akan ikut arus, itulah sumber sedimen untuk sumber tambang pasir kita. Inilah sumber daya kita. Ini adalah anugerah kita juga. Harus dimanfaatkan, namun kembali lagi tidak semua mau dipakai.”

 

Kapal pengeruk pasir Fairway setelah sempat menghentikan pengerukan pasir selama tiga hari kembali beraktivitas dengan pengawalan dari Polair. Foto: NT/ist

 

Ia menjamin wilayah tambang pasir masih relatif aman dengan merujuk pada Permen 12 junto 28 tahun 2004 sebagai turunan dari Kepmen No 23 tahun 2016 yang mensyaratkan 15 meter untuk kedalaman perairan untuk wilayah pengambilan pasir.

“Kami di zonasi ini mengambil di atas 20 meter karena kehati-hatian. Ini sudah ditolak teman-teman pengusaha. Kami dorong ke depan. Kami tidak mau bermain di 10 dan 15. Apalagi di 15 itu masih ada karang lamun dan sebagainya,” tambahnya.

(baca : Ketika Laut Takalar Terus Terancam Tambang Pasir)

Menanggapi penjelasan Tim Pokja dan Tim Teknis, Edi Kurniawan dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar, menilai bahwa dalam penetapan RZWP3K seharusnya tidak hanya untuk sekedar memberikan kepastian hukum tetapi juga memberikan keadilan dan manfaat bagi nelayan sepanjang pesisir Sulsel.

Edi mencurigai getolnya pemerintah mempercepat penetapan RZWP3K ini semata untuk memberi legalitas aktivitas penambangan pasir di perairan Takalar untuk kebutuhan reklamasi kawasan Centerpoint of Indonesia (CPI).

“Saya sih kalau mau menghubungkan tambang pasir di Galesong ini untuk reklamasi di wilayah Makassar. Sehingga sekali lagi kecurigaan kami jangan sampai proses penggenjotan Perda Zonasi ini untuk memberikan legalitas terhadap kegiatan tambang pasir di Galesong. Kecurigaan ini berdasarkan fakta-fakta pengalaman,” katanya.

 

Sekitar 100-an perahu jolloro dari Galesong Kabupaten Takalar, Sulsel, menduduki kawasan CPI. Membentangkan spanduk penolakan tambang pasir. Mereka mulai berangkat dari Kampung Beru, Galesong Utara, sejak pukul 06.00 dan tiba di Pantai Losari sektar pukul 07.30. Foto: Wahyu Chandra

 

Asmar Exwar, Direktur Walhi Sulsel, menyatakan bahwa Walhi Sulsel termasuk pihak yang meminta agar penetapan Perda Zonasi ini ditunda dengan berbagai pertimbangan.

“Kami minta ditunda bukan ditolak sehingga bisa dikuatkan data-data dari masyarakat Galesong Takalar sehingga datanya lebih banyak. Termasuk dimasukkan gejolak-gejolak yang ada di masyarakat baik terkait tambang pasir ataupun reklamasi,” katanya.

Asmar juga mempertanyakan alokasi ruang tambang yang cukup besar dari RZWP3K tersebut, lebih dari setengah dari luas laut Sulsel.

“Dari 94 ribuan hektar laut yang ada di Sulsel sekitar 60 ribuan hektar diperuntukkan untuk kawasan tambang. Ini besar sekali. Harus jelas sumber kajiannya ini darimana,” katanya.

Rijal Idrus, akademisi dari Universitas Hasanuddin, menilai pemerintah seharusnya menerima tuntutan banyak pihak agar proses penetapan Perda ini ditangguhkan meskipun banyak tekanan dari pusat.

“Himbauan saya untuk dinas kita legowo saja, meskipun dari pihak pemerintah nasional ada tekanan bisa diselesaikan cepat.”

Rijal memperkirakan tekanan percepatan pengesahan Perda ini terkait one map policy yang bisa segera direalisasikan merujuk pada penyampaian Presiden Jokowi dan Menteri Perekonomian Darmin Nasution beberapa waktu sebelumnya, yang isinya salah satunya terkait RZWP3K.

“Targetnya memang Juni 2017 one map policy, tapi kita harus realistis. Kalau persoalannya seperti ini kita harus menekankan transparansi dan berusaha agar semua bisa ikut dalam gerbong itu jangan ada yang ketinggalan.”

 

Kawasan CPI yang akan ditimbun menggunakan pasir dari perairan Takalar diperkirakan membutuhkan 22 juta kubik pasir. Tujuh perusahaan telah mengajukan izin untuk melakukan penambangan pasir. Meski belum diberi izin secara resmi beberapa perusahaan telah melakukan penambangan pasir dan mendapat penantangan dari warga Galesong, Takalar. Foto: Wahyu Chandra

 

Menurut Andry Indryasworo Sukmoputro, Kepala Badan Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut (BPSPL) Makassar, Perda Zonasi ini memang merupakan dokumen yang perlu terus menerus selalu dicermati dan direvisi karena inti dari dokumen zonasi ini adalah pada kemufakatan-kemufakatan.

Menurutnya, dalam draft RZWP3K tersebut memang terdapat beberapa hal harus dicermati terkait dengan zona pertambangan dan lainnya.

“Kami hanya ingin mengingatkan saja bahwa di zona yang memang diperuntukkan tadi ada jalur optik dipertimbangkan, karena ada jalur kabel fiber optik dan pipa itu yang memang harus di-enklave. Sehingga tidak dialokasikan sebagai zona pertambangan.”

Kedua, tambahnya, harus juga dipertimbangkan biota-biota laut sekitar yang perlu perlindungan, khususnya pada alur-alur yang sebenarnya menjadi alur migrasi biota-biota laut tersebut.

“Kalau di sekitar sebelah barat Tanakeke itu informasinya ada hampir lebih dari seratus lumba-lumba yang sering ada di sana. Ini harus diperhatikan. Manakala mungkin nanti daerah-daerah tersebut nanti akan terganggu oleh adanya aktivitas-aktivitas kegiatan-kegiatan yang bisa merusak perairan sekitar situ. Ini yang mungkin perlu dipertegas dalam bentang zonasi yang sedang disusun ini.”

Yusran Nurdin Massa menyoroti ruang untuk kawasan konservasi yang sangat sedikit, hanya sekitar 2,7 persen dari luas ruang yang ada.

“Kita akan dorong agar luas kawasan konservasi ini bisa di atas 10 persen lah. Kita akan sampaikan hasil diskusi kita ini sebagai masukan bagi tim teknis,” ungkapnya di akhir acara.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,