Petani Kecil Rentan, Berikut Usulan Pembangunan Desa Berbasis Sawit

 

Lembaga IRE Yogyakarta bekerja sama dengan Bijak– USAID, menggelar diskusi terfokus tentang “Mengembangkan Ekonomi Desa dan Kawasan Perdesaan Berbasis Sawit,” dua pekan lalu. Tujuan diskusi, merumuskan pemahaman bersama peran dan fungsi desa dalam pembangunan desa dan kawasan perdesaan yang memiliki area perkebunan sawit.

“Kami juga mengidentifikasi persoalan, potensi, tantangan dan kebutuhan yang harus dipertimbangkan dalam pengembangan Badan Usaha Milik Desa berbasis sawit,” kata Sukasmanto, peneliti IRE Yogyakarta, hari itu.

Diskusi ini menindaklanjuti hasil riset IRE-Oxfam di Kabupaten Tanjung Jabung Barat (Jambi) dan Sekadau (Kalimantan Barat), di  yang memperlihatkan, petani sawit skala kecil mengalami berbagai kerentanan mulai proses produksi hingga tata niaga.

Dari berbagai kerentanan ini, kata Sukasmanto, BUMDes bisa sebagai alternatif pelembagaan ekonomi di desa-desa berbasis sawit. Fokus utama, katanya, pemenuhan kebutuhan petani sawit.

“BUMDes perlu merumuskan peta jalan pengembangan BUMDes berbasis sawit yang menjangkau dua hal, pilihan jenis usaha dan model kemitraan dengan aktor-aktor terkait,” katanya.

Indonesia,  penghasil minyak sawit terbesar di dunia dengan penyebaran dari Aceh, pantai timur Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi hingga Papua.

Data Statistik Perkebunan Indonesia Komoditas Kelapa Sawit 2014–2016, areal dan produksi sawit berdasarkan status pengusahaan 2016, dari total 11.672.861 hektar, 41% perkebunan rakyat (smallholder), 53% perkebunan besar/swasta, dan 6% perkebunan besar negara.

Kondisi ini, katanya, menunjukkan areal perkebunan rakyat cukup besar dan bisa dipastikan terletak di banyak desa dan kawasan perdesaan.

UU Desa, katanya, mendudukkan desa sebagai subyek pembangunan dan pemangku utama.  Untuk pembangunan kawasan perdesaan, baik dalam UU Desa maupun UU Pemerintah Daerah, menyerahkan kewenangan kepada pemerintah daerah kabupaten/kota, dengan tetap melibatkan masyarakat.

Sisi regulasi, katanya, UU Desa memberikan pilihan kelembagaan ekonomi berbasis aset desa melalui BUMDes di tingkat desa dan BUMDes Bersama untuk pengembangan kawasan.

“BUMDes dan BUMDes Bersama berpotensi menyelesaikan masalah-masalah sosial ekonomi di desa dan perdesaan berbasis sawit,” kata Sukasmanto.

Sunaji Zamroni, Direktur IRE Yogyakarta mengatakan, perspektif UU Desa mendudukkan institusi desa dan penguatan kapasitas lokal.

“Tantangan dalam memperkuat kapasitas lokal, kebijakan negara seringkali harus dikritisi karena makin melemahkan kapasitas lokal yang dimiliki desa,” katanya.

Arya Hadi Dharmawan, Dosen Agraria dan Ekologi Politik IPB, mengatakan, pengembangan desa berbasis sawit tak bisa diseragamkan. Indonesia, katanya, menghadapi persoalan ekspansi perkebunan sawit terus menerus, perubahan tata guna lahan dan lanskap ekologis serta problem agraria sektor sawit.

Di desa-desa sawit, katanya, terjadi penunggalan basis nafkah ke sawit. Kondisi ini, katanya, berpotensi meningkatkan kerentanan terhadap turbulensi ekonomi.

Belum lagi dari aspek gender terjadi perubahan kerja perempuan dari sektor domestik ke publik, misal, di dua desa di Tanjung Jabung Barat.

Titok Hariyanto juga dari IRE Yogyakarta mengatakan, perlu ada penguatan institusi desa terutama berkaitan dengan komitmen desa merespon kehadiran perkebunan sawit. Juga sejauh mana BUMDes jadi pilihan kelembagaan sosial ekonomi desa dalam tata kelola sawit. Tak hanya itu, katanya, perlu penguatan organisasi petani menjadi bagian kehidupan berdesa.

“Peran kabupaten strategis  menyiapkan kerangka regulasi memandu desa dalam pengelolaan perkebunan sawit dan desain pembangunan kawasan perdesaan,” ucap Titok.

Inda Fatinaware,  Direktur Eksekutif Sawit Watch kala dihubungi  Mongabay, mengatakan, soal desa yang terlanjur bersawit atau desa dalam hak guna usaha sawit, katanya, harus didorong mengembangkan ekonomi masyarakat pedesaan. Salah satu upaya, katanya, melalui BUMDes atau BUMDes bersama agar tak terjadi kebocoran dan ketimpangan ekonomi.

Saat ini, data Sawit Watch, perkebunan sawit di Indonesia sangat luas dengan beragam masalah mulai kerusakan lingkungan, konflik sosial, kondisi buruh terabaikan, ancaman terhadap ketersediaan pangan dan lain-lain.

Luas perkebunan sawit di Indonesia sudah mencapai 16,18 juta hektar, namun produktivitas masih sangat rendah. Rata-rata produktivitas minyak sawit Indonesia hanya 3,7 ton per hektar per tahun. Pemerintah, ucap Inda, seharusnya melakukan intensifikasi guna meningkatkan produktivitas, bukan memperluas lahan.

Konflik agraria di perkebunan sawit, katanya, terus meningkat, terutama di ‘wilayah’ perusahaan. Ekspansi perkebunan sawit berkorelasi dengan konflik agraria.

“Konflik ini semestinya dapat di-rem dengan menghentikan pemberian izin baru bagi perkebunan sawit.”

 

 

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh