Tolak Tambang Pasir Laut, Warga Takalar Ramai-ramai Bakar Pantai

Minggu pagi, (2/7/2017), ada pemandangan tak biasa di sepanjang pantai Galesong Utara, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan. Asap hitam mengepul memenuhi udara. Di beberapa lokasi terlihat ban mobil yang terbakar mengeluarkan bau yang menyegat.

Pagi itu, sekitar pukul 7.45, ratusan warga Galesong dan Sanrobengi bersepakat ‘membakar’ pantai sebagai ‘aksi senyap’ menolak penambangan pasir kapal Fairway, di perairan Takalar dua bulan terakhir.

(baca : Ketika Laut Takalar Terus Terancam Tambang Pasir)

Menurut Amrul Daeng Nompo, salah seorang warga Desa Tamalate, Kecamatan Galesong Utara, pembakaran ban tersebut adalah simbol membakar pantai, di mana warga telah cukup frustasi dengan aktivitas pengerukan pasir yang dilakukan kapal Fairway milik perusahaan Boskalis dari Belanda tersebut.

“Inilah adalah bentuk penolakan warga atas tambang pasir yang telah menghancurkan laut sehingga nelayan semakin sudah untuk mendapatkan ikan,” ungkap Daeng Nompo.

 

 

Akhmad Kudri, salah seorang penggagas aksi tersebut mengatakan bahwa aksi tersebut dilakukan secara serentak di 21 desa yang ada di sepanjang pesisir Takalar. Ia memperkirakan ada sekitar 210 titik pembakaran ban di sepanjang 35 km membentang dari Galesong Utara hingga Galesong Selatan.

“Setiap desa ada sekitar 10 titik, jadi sekitar 210 titik dimana aksi dilakukan dengan cara membakar ban. Ini adalah aksi senyap dari kami menyuarakan penolakan atas tambang pasir yang telah merampas sumber penghidupan nelayan di sekitar Galesong, Sanrobone dan menyusul kemudian Tanakeke,” katanya.

(baca : Aksi Warga Takalar Menolak Tambang Pasir: Jangan Paksa Kami Menjadi Teroris)

Akhmad berharap dengan aksi ini bisa menggugah pemerintah provinsi Sulsel untuk mencabut izin penambangan yang telah ada dan tidak lagi melakukan penambangan pasir di daerah tersebut.

Amiruddin Daeng Sitaba, warga Desa Aeng Batu-batu, Kecamatan Galesong Utara, mengatakan aksi tersebut murni penolakan dari warga. Tidak ada unsur paksaan dalam memobilisasi warga.

“Kami sampaikan di masjid sepuluh menit sebelum aksi dan di luar dugaan ratusan warga datang ke pantai untuk bergabung dalam aksi tersebut. Antusias warga cukup besar,” katanya.

 

Mobilisasi warga Takalar untuk turun ke pantai diumumkan di masjid-masjid dan mendapat respon yang cukup besar. Ratusan warga di setiap desa menyatakan mendukung gerakan penolakan tambang pasir tersebut karena berdampak langsung dengan sumber mata pencaharian mereka. Foto: Wahyu Chandra

 

Joho Daeng Kinang, salah seorang istri nelayan dari Desa Tamalate, mengaku terlibat aksi tersebut karena sudah merasakan adanya dampak penambangan pasir tersebut terhadap berkurangnya tangkapan ikan nelayan.

“Sekarang ikan memang sudah susah. Sudah sebulan sudah susah dapat cumi-cumi. Kita juga susah mi dapat ikan katombo. Kalau dulu dalam dua hari bisa dapat dua basket ikan, sekarang paling banyak dua basket. Bahkan pernah hanya setengah basket. Padahal kita sudah pakai bahan bakar banyak,” ungkapnya.

Menurutnya, biasanya sekali melaut butuh waktu hingga berhari-hari, sehingga butuh bahan bakar dan bekal yang cukup banyak. Mereka setidaknya butuh 20 liter bensin untuk bahan bakar dengan harga Rp10 ribu per liter. Belum termasuk biaya-biaya lain sebagai bekal di laut. Nilainya sekitar Rp700 ribu. Harga ikan katombo sendiri antara Rp250 ribu -Rp300 ribu per basket (keranjang). Butuh tangkapan sedikitnya 4 basket agar bisa untung.

“Kalau tangkapan kurang terpaksa kita harus utang sama juragan. Nanti ada ikan baru dilunasi lagi,” katanya.

(baca : Penambangan Pasir di Perairan Galesong Terus Berlanjut, Warga Ultimatum Pemprov Sulsel)

Aksi warga Galesong menolak tambang telah berlangsung sejak Maret 2017 lalu. Mereka sempat melakukan pencegatan kapal yang sedang mengeruk pasir. Beberapa dialog dengan pemerintah daerah Takalar dan provinsi Sulawesi Selatan telah dilakukan, dengan kesepakatan aktivitas kapal akan dihentikan. Dalam kenyataannya aktivitas penambangan pasir masih tetap berlangsung.

Dalam pertemuan di Hotel Kolonial, Makassar, pada Kamis (22/6/2017) lalu, Kepala Dinas Pengelolaan Lingkungan Hidup Sulsel, Andi Hasbi juga menjanjikan untuk menghentikan aktivitas kapal Fairway. Pada kenyataannya, aktivitas kapal Fairway tidak berhenti, hanya berpindah lokasi ke perairan Tanakeke.

 

Para nelayan di Takalar mengeluhkan sudah meradakan dampak dari penambangan pasir laut dengan hilangnya cumi-cumi dan kurangnya tangkapan ikan katombo yag dulunya banyak ditemukan di perairan tersebut. Foto: Wahyu Chandra

 

Warga Kepulauan Tanakake Turut Menolak Tambang Pasir

Tidak hanya warga Galesong dan Sanrobengi, warga Kepulauan Tanakake, yang berada di Kecamatan Mappaksunggu, Takalar, turut menolak penambangan pasir tersebut.

Nutta RK, salah seorang warga Tanakeke menyatakan mereka terlambat bergerak karena baru menyadari keberadaan tambang pasir tersebut dalam dua minggu terakhir.

“Sudah lama kita lihat ada kapal besar, terutama di sisi utara Dusun Lantangpeo, tapi warga pikir itu hanya sekedar lewat dan singgah saja tanpa aktivitas pengerukan pasir, karena memang dari jauh tidak kelihatan adanya adanya aktivitas,” ungkap Nutta.

(baca : Tolak Tambang Pasir, Masyarakat Galesong Utara Lapor ke KPK)

Menyadari adanya ancaman tersebut, Senin pagi, 26 Juni 2017, puluhan warga Tanakeke sempat melakukan pencegatan dan pengusiran kapal Fairway menggunakan perahu jolloro.

Siangnya, di hari yang sama, warga dan pemerintah desa Tompotanah dan Rewatayya melakukan pertemuan membahas keresahan mereka terkait penambangan tersebut.

 

Menggunakan perahu tradisional jolloro, puluhan warga Tanakeke berusaha mencegat dan mengusir kapal Fairway untuk melakukan pengerukan pasir di sekitar perairan Tanakeke, 26 Juni 2017. Foto: Nutta RK

 

Menurut Rustam, Pelaksana Tugas Kepala Desa Tompotanah, pertemuan tersebut menghasilkan beberapa catatan dan kesimpulan yang rencananya akan disampaikan kepada pihak yang terkait untuk ditindaklanjuti dan dijadikan pegangan.

“Pada intinya masyarakat merasa resah dengan adanya penambangan tersebut karena lokasi penambang pasir laut tersebut merupakan wilayah penangkapan ikan masyarakat Tanakeke. Sumber utama mata pencaharian masyarakat kami,” katanya menyampaikan hasil dari pertemuan tersebut.

Sejumlah kekhawatiran dengan adanya penambangan tersebut antara lain bahwa Kepulauan Tanakeke merupakan pusat pengembangan rumput laut yang membutuhkan kualitas perairan dan tingkat kekeruhan perairan yang rendah.

“Pengerukan pasir bisa menyebabkan tingkat kekeruhan perairan meningkat karena disedot oleh kapal pengeruk. Ini bisa menganggu budidaya yang sedang dikembangkan masyarakat.”

Kekhawatiran lain, arah datang ombak dan angin di perairan adalah barat dan barat daya, mengambil atau menghilangkan pasir di kawasan utara dapat menyebabkan pasir atau sedimen di sekitar perairan Tanakeke berpindah ke sana, karena arah arus perairan berasal dari barat dan barat daya di mana Kepulauan Tanakeke berada.

“Ini diduga dapat mengancam stabilitas pulau dan menyebabkan abrasi atau erosi. Ini juga dapat mengganggu pertumbuhan mangrove atau bangko di pulau ini,” tambah Rustam.

Kepulauan Tanakeke juga merupakan habitat kuda laut dan daerah migrasi beberapa jenis dugong, yang merupakan biota laut yang terancam dan dilindungi.

“Apalagi untuk kuda laut habitat utamanya adalah di Dusun Lantangpeo, sangat dekat dari lokasi di mana kapal biasa berada. Resiko akibat pengerukan pasir bisa diduga dapat mengancam ekosistem mereka. Kajian dalam harus dilakukan memastikan estimasi dampak penambangan ini pada kuda laut tersebut,” ungkap Rustam.

Hal lain, Pemerintah Desa dan masyarakat se-Kepulauan Tanakeke tidak pernah mendengar rencana penambangan pasir laut di lokasi di mana kapal sering datang. Tidak pernah ada sosialisasi atau diskusi, konsultasi ataupun pelibatan Pemdes dan masyarakat dalam pengkajian tambang pasir laut tersebut.

“Padahal kami menganggap ini masuk wilayah kelola tradisional masyarakat Tanakeke dan dampaknya mengancam masyarakat. Selain itu, Kepulauan Tanakeke dan sekitarnya dimasukkan dalam Kawasan Konservasi dan Wisata dalam RTRW Kabupaten Takalar, sehingga ini jelas tidak sesuai dengan peruntukannya.”

Dengan berbagai pertimbangan tersebut, Pemdes dan warga di dua desa tersebut menyampaikan sikap antara lain, pertama, menganggap bahwa aktifitas penambangan pasir yang dilakukan oleh kapal Fairway Boskalis adalah ilegal dan melanggar hak kelola tradisional masyarakat, tanpa adanya penyampaian informasi dan pelibatan masyarakat di dalamnya.

“Kedua, meminta penjelasan kepada para pihak terkait dengan keberadaan aktifitas ini dan bagaimana prosesnya sehingga aktifitas penambangan pasir laut ini bisa dibiarkan dan tanpa penjelasan sama sekali langsung melakukan aktifitas di wilayah kelola masyarakat. Dan ketiga, agar seluruh aktifitas penambangan pasir laut di Tanakeke dihentikan.”

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,