Ada Perkebunan Karet di Anambas, Kok Bisa?  

Pembukaan lahan di Pulau Jemaja, Kabupaten Kepulauan Anambas, Provinsi Kepulauan Riau, yang rencananya akan difungsikan sebagai perkebunan karet oleh PT Kartika Jemaja Jaya (KJJ) mendapat penolakan keras dari warga setempat. Penolakan muncul, karena bakal perkebunan seluas 36,05 kilometer persegi tersebut menyalahi peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk kepulauan eksotik tersebut.

Ketua DPP Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Marthin Hadiwinata menjelaskan, berdasarkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 1 Tahun 2014, seharusnya pemanfaatan pulau-pulau kecil tidak diprioritaskan untuk perkebunan monokultur seperti perkebunan karet.

“Klausul tersebut dimuat dalam Pasal 23 ayat (dua) UU Nomor 1 Tahun 2014,” ujar dia belum lama ini.

 

 

Menurut Marthin, untuk pulau-pulau kecil seperti Pulau Jemaja, seharusnya prioritas pemanfaatannya untuk kawasan konservasi, pendidikan dan pelatihan. Selain itu, juga penelitian dan pengembangan, budi daya laut, pariwisata, usaha perikanan dan kelautan, industri perikanan secara lestari, pertanian organik, peternakan, dan/atau pertahanan dan keamanan negara.

“Pemerintah harus bertindak tegas dalam kasus ini. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) harus segera merespon penolakan masyarakat tersebut,” tutur dia.

Munculnya penolakan warga di Anambas, kata Marthin, mencermikan ada yang tidak beres dalam pengawasan di daerah. Hal itu, karena peruntukkan pulau-pulau kecil sudah diatur dengan tegas dan detil dalam Undang-Undang. Tetapi, justru Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kepulauan Riau mengabaikan penolakan tersebut sekian lama.

“Protes warga berkaitan dengan pemindahan alat berat ke kawasan yang direncanakan menjadi kebun karet tidak mungkin tidak diketahui oleh pemerintah provinsi,” papar dia.

Marthin menyebutkan, model pemanfaatan perkebunan karet yang monokultur yang rencananya akan dilaksanakan di Jemaja, bertentangan dengan pola pemanfaatan pulau-pulau kecil berdasarkan kesatuan ekologis dan ekonomis secara menyeluruh dan terpadu dengan pulau besar di dekatnya. Kata dia, perkebunan karet akan berdampak buruk terhadap cadangan persediaan air di pulau Jemaja.

 

Cadangan Air

Menurut Marthin, jika kelangkaan air terjadi, maka itu akan menurunkan kualitas hidup warga dan juga lingkungan hidup di kawasan tersebut. Tak hanya itu, jika perkebunan karet tetap dibuka, maka itu akan berdampak buruk pada hutan asli Anambas yang di dalamnya terdapat tanaman kayu keras yang berusia puluhan hingga ratusan tahun.

“Alih fungsi hutan alami di Pulau Jemaja menjadi perkebunan karet sudah pernah mendapat penolakan oleh Bupati Anambas sejak setahun yang lalu dan beliau sendiri bahkan pernah memohonkan pembatalan izin perkebunan tersebut kepada Presiden Joko Widodo,” ungkap dia.

 

Kawasan pemukiman di Kepulauan Jemaja, Anambas, kepulauan Riau. Pulau ini terancam rusak karena alih fungsi lahan menjadi perkebunan karet. Foto : anambaskab.go.id

 

Munculnya penolakan tersebut dari Bupati, kata Marthin, tidak lain karena Kepulauan Anambas adalah wilayah kabupaten yang terdiri dari gugusan pulau-pulau kecil yang rentan terkena bencana dan juga perubahan iklim. Padahal, dengan luas wilayah daratan yang hanya 560 km2 dari total 46.664 km2, perubahan sekecil apapun akan berdampak sangat cepat.

Dengan luas hanya 78 kilometer persegi, Marthin menuturkan, Pulau Jemaja sangat rentan mengalami kerusakan alam. Apalagi, rencana perkebunan karet luasnya mencapai 36,05 kilometer persegi atau mencapai luas setengah pulau, itu akan berdampak sangat cepat.

Berdasarkan fakta-fakta yang ada di lapangan tersebut, KNTI mendesak Pemerintah Pusat untuk segera merespon penolakan masyarakat Kabupaten Kepulauan Anambas terhadap rencana pembukaan perkebunan karet oleh PT KJJ.

Untuk itu, Marthin mengatakan, Pemerintah Pusat harus segera membekukan dan memberikan sanksi terhadap Izin Lingkungan perkebunan karet di Jemaja. Selain itu, segera lakukan audit lingkungan hidup terhadap proyek tersebut yang berpotensi menimbulkan dampak buruk di Pulau Jemaja.

“Menteri Kelautan dan Perikanan (harus) melakukan pengkajian dan analisis menyeluruh terhadap dampak lingkungan, sosial-ekonomi atas rencana perkebunan karet di Pulau Anambas. Mengingat, salah satu kewenangan yang dimiliki terkait dengan pengelolaan pulau-pulau kecil ada di tangan dia,” tandas dia.

 

Eksotisnya Kepulauan Jemaja, Anambas, kepulauan Riau. Sayang pulau ini terancam rusak karena alih fungsi lahan menjadi perkebunan karet. Foto : wisatalova

 

Evaluasi Investasi

Sementara itu Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Moh Abdi Suhufan menerangkan, sebagai pulau kecil, Pemerintah harusnya bisa menegaskan regulasi untuk penananaman investasi, baik bagi investor dalam negeri ataupun asing. Dengan demikian, tidak akan ada permasalahan seperti di Pulau Jemaja yang terjadi saat ini.

Abdi Suhufan mengatakan, rencana dan kegiatan investasi PT KKJ di pulau Jemaja sebenarnya sudah dimulai sejak 1987 atau 30 tahun silam. Perusahaan tersebut mendapatkan izin lokasi pembangunan perkebunan tanaman karet dari Bupati Anambas pada 2009, dan persetujuan prinsip pencadangan kawasan hutan produksi pada tahun yang sama dari Menteri Kehutanan.

Akan tetapi, setelah mendapatkan berbagai izin, Abdi menyebutkan, perusahan tersebut sepanjang 2009 hingga 2016 tidak melakukan kegiatan investasi yang signifikan di lapangan. Tidak itu saja, dalam kurun waktu tersebut, perusahaan bahkan mengubah bentuk penanaman modal dalam negeri (PMDN) menjadi penanaman modal asing (PMA).

“Padahal jangka waktu perizinan yang diberikan oleh Pemerintah sangat terbatas. Izin lokasi yang dikeluarkan oleh Bupati Anambas hanya berlaku tiga tahun saja sejak dikeluarkan,” jelas dia.

Dengan segala permasalahan tersebut, Abdi menilai, sangat wajar jika masyarakat melakukan penolakan terhadap rencana investasi tersebut. Pasalnya, warga menilai tidak ada manfaat bagi lingkungan dan masyarakat atas kehadiran perkebunan karet tersebut.

“Pemerintah Pusat seakan menutup mata atas kegelisahan dan penolaKan masyarakat lokal, termasuk Pemerintah Kabupaten Kepulauan Anambas yang sudah setahun ini meminta agar persetujuan rencana pembukaan perkebunan karet di pulau Jemaja agar ditinjau ulang,” kata Abdi.

Menurut Abdi, penolakan muncul karena masyarakat pulau Jemaja menyadari dampak negatif yang akan terjadi jika perkebunan karet dibiarkan ada. Dampak tersebut terutama pada ekosistem pulau yang terancam akan rusak. Oleh itu, masyarakat kemudian memilih investasi untuk usaha perikanan dan kelautan, serta untuk wisata bahari jika ada investor yang berminat menanamkan modal.

Untuk diketahui, Kabupaten Kepulauan Anambas terbentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2008 tentang Pembentukan Kabupaten Kepualaun Anambas. Luas wilayah Kabupaten Kepulauan Anambas adalah 46.664.14 km2 atau 2.47 persen dari luas Indonesia yang mencapai 1.890.754 km2.

Di Pulau Jemaja sendiri, terdapat dua wilayah administrasi kecamatan, yakni Kecamatan Jemaja dan Jemaja Timur. Di pulau tersebut, juga terdapat bandar udara Anambas yang menjadi penghubung antara wilayah kepulauan tersebut dengan Batam, kota terbesar di Provinsi Kepri.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,